Bab 15 House Of Reminten
Bab 15 House Of Reminten
Perjalanan menuju angkringan dipenuhi celotehan Agnes, gadis itu super riang malam ini. Berkali-kali melirik Agung yang duduk di sisinya, ragu-ragu ia ingin menyentuh tangan Agung tapi beberapa kali mengurungkan niatnya. Takut jika Agung merasa tidak nyaman dengan tindakannya itu. Apalagi sejak masuk ke mobil Agung tidak mengeluarkan satu patah kata pun.
"Dia tidak suka ya?" batin Agnes, menatap profil Agung dari samping, menatap hidungnya yang tinggi dan bulu matanya yang lentik. Meskipun ruangan dalam mobil remang-remang, tapi ia masih bisa melihat Agung mengerjab pelan dan berkali-kali.
"Gung," bisik Agnes, akhirnya memberanikan diri menyentuh ujung-ujung jari Agung. Pemuda itu menoleh.
"Kamu tidak suka, ya? Maaf," bisiknya lagi.
Agung memaksakan diri untuk tersenyum, "Tidak apa-apa Nes. Aku senang kok," jawabnya pelan.
"Tapi kamu dari tadi diam saja, ada apa?"
"Tidak apa-apa, aku hanya sedikit mengantuk," jawab Agung penuh dusta. Tidak ada dalam kamus Agung mengantuk sebelum tengah malam. Ia yang terbiasa mengisi malam-malamnya dengan mencoret-coret sesuatu di kertas atau membuat lukisan-lukisan kecil.
"Kalau begitu, nanti tidak usah terlalu lama di sana ya," ujar Agnes. Agung tertawa kecil.
"Ya, tergantung mereka," ujarnya, melirik dua orang di depan mereka. Agnes menepuk keningnya.
"Iya, ya. Mau tidak mau harus ikut mereka," ia terkikik. "Maaf," sambungnya kemudian.
"Tidak apa-apa," sambung Agung.
"Um, harusnya kita membawa kendaraan sendiri ya tadi," sesal Agnes.
"Tidak apa-apa, ikut mereka saja," ujar Agung.
"Berarti nanti ada waktu kita jalan-jalan lagi?" Agnes menatapnya penuh harap. Agung terpaksa menyeringai dan mengangguk pelan.
Angga berhenti di sebuah angkringan bernuansa semi kafe, angkringan modern dua lantai itu terlihat cukup ramai karena memang angkringan ini termasuk paling digemari oleh kawula muda Yogya. Tidak hanya karena tampilannya yang modern, menu-menunya yang unik juga menjadi daya tarik tersendiri. Belum lagi kehadiran beberapa wanita yang membatik di salah satu sudut angkringan, menjadi hiburan bagi pengunjung.
"Di sini enak lho," ujar Agnes pada Agung setelah mereka turun. Gadis itu menarik tangan Agung untuk mencari tempat, disusul Angga dan Rintan. Agnes memilih duduk di lantai dua dan agak terpisah dari pengunjung lain.
Agung yang tidak pernah datang ke angkringan ini senyum-senyum sendiri saat membaca beberapa poster menggelitik di dinding. Agnes menatapnya riang. "Benar kan, suasana di sini memang sangat nyaman. Mbak Rintan memang jago memilih tempat makan yang enak," ujarnya, memeluk lengan Agung dengan sedikit ragu-ragu.
Agnes duduk di sisi Agung, meletakkan tas kecilnya dekat dengan tangan pemuda itu. "Di sini tidak terlalu panas," ujarnya, tersenyum riang pada Agung yang sedikit kaku karena harus duduk berhadapan dengan Rintan.
Entah mengapa, gadis itu memilih duduk di hadapannya dan sesekali menatap padanya. Agung merasa tidak nyaman dan memilih berbincang dengan Agnes. Mengangguk atas semua yang dikatakan gadis itu.
"Kamu mau makan apa?" tanya Agnes ketika salah satu pramusaji yang mengenakan pakaian jawa menghampiri mereka. Agung menatap menunya dengan bingung, ia menoleh pada Agnes. Gadis itu lantas menunjukkan satu per satu menu dengan sedikit penjelasan.
"Ayam koteka ya," ujarnya menyebut salah satu menu andalan angkringan itu. Kening Agung terlipat mendengar nama menu aneh itu. Agnes tertawa melihat wajah bingungnya. "Ayam dan beberapa bahan lainnya dimasak dalam bambu, mau coba?" tawarnya.
"Boleh," jawab Agung. Agnes memesan menu yang sama diikuti Rintan.
"Minumnya?" tanya Agnes. Lagi-lagi pemuda di sisinya itu terlihat bingung.
"Terserah, ikut yang kamu pesan saja," ujar Agung pasrah. Rintan tertawa kecil melihat wajah pasrahnya, membuat Angga menoleh dan mengernyit melihatnya. Ia mengikuti tatapan tunangannya yang tertawa kecil bersama Agnes.
"Dimaklumi saja Agung, mereka memang senang melihat penderitaan orang lain," sungutnya. Agnes tertawa, ia mengaitkan lengannya pada lengan Agung dan tertawa dengan wajah manja padanya.
"Tidak begitu juga, Mas," Agnes merengut memandang kakaknya yang tersenyum usil. Tangan Angga menyeberang untuk mengacak rambut adiknya yang mengomel panjang ketika tatanan rambutnya dirusak.
"Berantakan lagi," sungutnya seraya merapikan lagi rambutnya. Agung tersenyum menatap dua kakak dan adik itu bercanda. Rintan melirik saat Agung tersenyum dan mengalihkan pandangan ketika ekor mata pemuda itu menangkap lirikannya.
Agnes menggeser makanan untuk Agung agar pas di depan pemuda itu. Membantunya mengambil sendok. Angga memperhatikan adiknya dengan mengulum senyum, entah mengapa ia merasa lucu melihat adiknya yang tengah jatuh cinta itu. Tapi seselip pertanyaan singgah di hati Angga, Agung terlihat kaku dan sangat pendiam. Tidak seperti dia yang pertama kali ditemui Angga di ruang tamu rumah mereka.
Pemuda itu lebih banyak diam dan menikmati makanannya sembari melayangkan pandangan ke pengunjung lain. Sementara Agnes di sisinya sibuk berceloteh.
"Enak kan?" ia menoleh pada Agung yang mengangguk. "Lain kali kita ke sini lagi ya," bisiknya, Agung menolehnya. Lagi-lagi mengangguk.
"Mbak Rintan sering ke sini?" tanya Agnes, Rintan mengangguk pelan. "Sama Mas Angga?" tanyanya lagi.
"Kadang iya dan kadang sama teman kampus," ujarnya, sedikit tersipu dan melirik Angga. Laki-laki itu tersenyum saat membantu Rintan membuka bambu Ayam Kotekanya.
"Pelan-pelan bukanya," ujar Angga lembut. Agung melirik pasangan itu dengan menarik nafas.
Terkejut ketika Agnes menyenggol lengannya lembut. "Jadi kapan wawancaranya?" tanya Agnes. Agung menoleh bingung, baru ingat beberapa menit kemudian jika gadis di sampingnya ini bicara tentang rencana majalah "Perupa" menampilkan karyanya.
"Mereka bilang nanti dihubungi, mungkin melalui Pak Budi. Karena kuratornya nanti beliau," sahut Agung. Rintan menoleh dengan wajah tertarik padanya.
"Majalah Perupa?" tanyanya pelan.
"Iya, jadi lukisan Agung yang kemarin di beli Pak Budi akan ditampilkan di Majalah Perupa edisi bulan depan, Mbak," Agnes menjelaskan dengan nada senang tiada tara.
"Kamu, lukisan siapa yang senang siapa," gerutu Angga. Blush, wajah Agnes merona seketika, matanya melebar menatap kakaknya. Antara malu dan kesal.
"Aku jadi tidak sabar," ujarnya kemudian. "Nanti akan ada kamu kan di sana?" tanyanya pada Agung. Pemuda itu mengangguk.
"Ya, jelas ada Dik. Yang dibedah lukisan dia lho," lagi-lagi Angga yang menjawab.
"Hanya satu lukisan Gung?" tanya Angga.
"Fokusnya memang hanya satu lukisan, Mas. Tapi nanti akan dibahas juga beberapa lukisan lainnya. Dua diantaranya sudah diupload di aplikasi Cukar," jawab Agung.
Mata Angga bersemangat seketika, ia mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi yang dikembangkan oleh keluarganya itu. "Yang mana?" ia bertanya setelah menemukan akun Agung.
"Derai dan Lukisan Hujan, Mas."
Angga membuka kedua lukisan itu, "Wah, ini bagus," ujarnya dengan mata kagum. Sekilas menatap Agung yang agak tersipu karena pujian itu.
"Mas belum melihat lukisannya yang dibeli Pak Budi," ujar Agnes, Angga menatap Agung dengan sangat tertarik.
"Di mana lukisannya sekarang?" tanya Angga penasaran.
"Di gallery, Mas," jawab Agung.
"Besok berarti aku harus melihatnya ke sana," ujar Angga. Ia menoleh pada Rintan, "Sekalian jalan-jalan ya," sambungnya, Rintan mengangguk.
"Kamu lihat yang ini," Angga memberikan ponselnya yang masih membuka lukisan Agung pada tunangannya itu. Rintan menerima ponsel dan membuka lukisan Agung yang lain.
"Pantas saja Papa memujinya" pikir Rintan membatin.
"Bagus kan Mbak," komentar Agnes ketika Rintan mengembalikan ponsel Angga pada pemiliknya. Gadis itu mengangguk.
"Ya, memang bagus," berkata begitu ia mencuri pandang pada Agung yang tersenyum samar.
"Setelah ini kita kemana?" tanya Angga, Rintan melirik jam tangannya.
"Sudah malam, kita pulang saja ya," ia menatap Angga dengan mata sedikit memohon. Sejatinya bukan karena tidak ingin melanjutkan jalan-jalan mereka, tapi entah mengapa ia merasa tidak nyaman setiap kali melihat wajah sendu Agung.
*Bersambung*
