Bab 14 Layu Sebelum Berkembang
Bab 14 Layu Sebelum Berkembang
Agung terlogong ketika mengenali sosok yang masuk bersama Agnes, sejenak jantungnya seperti berhenti berdetak. Sementara gadis itu tersenyum dan sepertinya tidak terkejut dengan kehadiran Agung di sana.
Rintan? Agung mengalihkan pandangannya dari senyum Rintan yang menerangi ruang tamu lebih dari lampu sorot. Gadis itu masuk bersisian bersama Agnes yang kemudian memperkenalkannya pada Agung.
"Mbak Rintan, kenalkan ini teman kuliah Agnes," ujarnya memandang Agung dengan isyarat agar pemuda itu memperkenalkan diri. Agung tergeragap dan mengulurkan tangan pada Rintan.
"Agung, Mbak," ujarnya pelan. Rintan menyambut uluran tangannya dengan bingung.
Perkenalan yang ketiga, pikir gadis itu, menyambut uluran tangan Agung dan tersenyum super manis. "Rintan," jawabnya, suara merayu telinga dan jantung Agung.
"Mbak Rintan ini tunangan Mas Angga, Gung. Mereka sudah ditunangkan sejak masih sekolah," ujar Agnes tanpa diminta. Dua orang di depannya tersenyum canggung.
Agung merasa seperti ada godam yang memukul dadanya, terasa sakit dan berat. Kenyataan bahwa Rintan adalah tunangan Angga memukul hatinya dengan telak. Gadis yang telah menumbuhkan bunga-bunga indah di hatinya ternyata bukan orang bebas. Sudah ada cincin yang melingkar di jari manisnya dan sayangnya Agung tidak memperhatikan itu.
Sedikit demi sedikit Agung mengisi paru-parunya dengan udara, agar rasa sesak di dadanya sedikit berkurang. Tapi rasanya udara di paru-parunya semakin memadat, menimbulkan efek sesak yang lebih memedihkan di sana. ‘Tunangannya orang seperti Angga, jelas aku tak akan bisa membuatnya melihatku’ pikir Agung kelu.
Hatinya Agung yang baru setengah jatuh cinta itu patah seketika. Bunga-bunga yang beberapa menit lalu masih berkembang dan mekar dengan indah di hatinya mendadak layu satu per satu.
"Mbak mau bertemu Mas Angga kan?" tanya Agnes riang, ia tak melihat perubahan di wajah Agung yang sekarang terlihat lesu. Senyumnya terlihat sedikit terpaksa ketika Agnes menatapnya mesra.
Rintan mengangguk untuk menjawab pertanyaan Agnes. "Iya, tadinya mau makan malam. Tapi mobil Mbak mogok di jalan, jadi agak terlambat karena harus ke bengkel dulu," jelas Rintan.
Deg! Jantung Agnes seketika berdetak dengan irama berbeda. Ia melirik Agung yang menunduk dengan majalah di tangan, pura-pura membaca.
Tidak mungkinkan, teman yang ia maksud itu Mbak Rintan, Agnes menduga-duga dalam hati. Matanya berpindah dari Agung yang menunduk pada Rintan yang sekilas terlihat meliriknya dan kemudian memindahkan tatapannya pada Angga di ruang keluarga.
"Mas Angga ada di ruang keluarga, Mbak," ujar Agnes. Gadis itu mengangguk dan pamit untuk menemui Angga.
"Mbak ke dalam ya," pamit Rintan pada Agnes yang tersenyum dan mengangguk. Lagi, Rintan melirik Agung yang menunduk tekun pada majalahnya.
‘Dia sengaja pura-pura tidak mengenalku ya’ pikir Rintan. ‘Agar Agnes tidak curiga atau karena memang tidak ingin kenal’ dengan pikiran itu, Rintan berjalan untuk menemui Angga yang tersenyum menunggunya di ruang keluarga.
Agung melirik pasangan itu dari balik majalahnya, semakin patah hati ketika Angga tersenyum pada Rintan. Dan gadis itu menatapnya tatapan bahagia yang membuat hatinya mendadak perih.
"Agung," panggil Agnes. Pemuda itu menoleh, sedikit terkejut.
"Isi majalah itu lebih menarik dari aku ya?" bibir Agnes mulai maju satu senti, Agung tersenyum canggung dan meletakkan majalah yang bahkan belum ia baca satu hurufpun.
"Penasaran saja, karena kemarin saat di pameran mereka sempat mengajukan permintaan wawancara untuk edisi berikutnya. Mereka bilang ingin membedah lukisan ‘Pelangi Hampa’ ku," sahutnya. Mata Agnes membola.
"Sungguh?" ia meraih majalah itu, menatap Agung riang. "Kamu sudah jawab iya, kan?" tanyanya. Agung mengangguk.
"Kenapa?"
"Kok bertanya kenapa, Agung kamu tahu tidak, majalah ini majalah seni rupa yang paling terkenal. Tidak mudah untuk bisa diterima di sini, apalagi untuk pelukis atau perupa baru. Kamu memang sangat beruntung," seru Agnes senang. "Aku bangga padamu, sungguh," sambungnya.
Tanpa sadar ia memegang kedua tangan Agung, bersorak tanpa memperhatikan Rintan melirik tangannya yang menggenggam tangan Agung. Sekilas terlihat sinar ketidaksukaan menguar dari lirikan itu. Tapi tak satupun dari mereka menyadarinya bahkan Rintan sendiripun tidak.
"Kalian sedang merayakan apa?" tanya Angga, melirik tangan mereka yang saling terkait. Agnes buru-buru melepaskan genggamannya bersamaan dengan Agung menarik tangannya. Dua-duanya tersenyum canggung.
"Emm, bukan apa-apa Mas," ujar Agnes gugup. "Agnes hanya senang karena ternyata majalah "Perupa" menawarkan wawancara untuk membedah lukisan Agung," ujarnya sengaja pamer. Dengan bibir tersenyum lebar, ia sedikit merapatkan diri pada Agung.
"Wow, tidak mudah untuk disentuh majalah itu. Selamat Agung, sepertinya Mas harus mengajakmu sesekali untuk bergabung dalam kurasi lukisan di Cukar," ujar Angga. Mata Agnes berbinar seketika.
"Waktu itu Agnes pernah menawarkan Agung untuk mencoba menjadi kurator seni kita, Mas. Tapi dia tidak percaya diri," ujar Agnes dengan suara setengah mengadu. Angga menatap Agung yang terlihat canggung, bukan karena perhatian dua kakak beradik itu tengah tertuju padanya, tapi lebih karena tatapan kagum Rintan. Gadis itu menatapnya penuh kekaguman dan itu sedikit menyiram bunga-bunga yang tadinya sempat layu di hati Agung.
"Nanti Adik ajak Agung ke kantor kapan-kapan, biar dia bisa melihat suasananya dulu. Mungkin nanti tertarik," ujar Angga.
"Boleh, Mas?" kejar Agnes.
"Ya, tentu saja boleh," jawab Angga. "Terus, sekarang kalian mau kemana?" tanyanya.
Agnes melirik Agung yang melirik jam di pergelangan tangannya. Gadis itu memandangnya dengan harap. "Sudah malam, Mas. Mungkin saya pulang saja," ujarnya.
Agnes menatapnya kecewa. "Tidak jadi jalan-jalan?" tanyanya sedih. Agung menatapnya dengan sedikit menyesal.
"Oh, kalau begitu Mas dan Rintan keluar dulu. Kami ingin cari makanan sebentar," ujar Angga.
"Kita ikut ya," sentak Agnes, mengguncang lengan Agung, Angga tertawa kecil melihat kelakuan adiknya.
Pergi bersama Rintan dan tunangannya? Ah, rasanya tidak nyaman, pikir Agung.
Tapi tatapan Agnes yang begitu penuh harap membuatnya bingung.
"Boleh ya Mas, Mbak?" tanya Agnes penuh semangat, mata indah itu menatap Angga dan Rintan sekarang.
Pasangan itu saling pandang, jantung Agung mencelos ketika keduanya mengangguk kompak. Fyuh, pantas saja mereka jadi pasangan, kutuknya dalam hati.
"Mas tidak masalah. Iya kan, Rin?" Angga menoleh pada gadis di sisinya, yang mengangguk.
Agnes gembira karena keinginannya jalan-jalan dengan Agung akhirnya terwujud. Anggap saja kencan ganda, sorak Agnes dalam hati. Ia tak lagi memperhatikan wajah pemuda itu, yang kusut ketika mereka berjalan keluar. Sejenak Agung bingung harus menggunakan motornya atau ikut dalam mobil yang dikendarai Angga.
"Agung, di sini saja sama-sama," Angga memanggilnya, mau tidak mau ia ikut masuk ke dalam mobil dan duduk di sisi Agnes yang sangat gembira.
Matanya menatap puncak kepala Rintan dari tempat duduknya yang kebetulan persis di belakang gadis itu. ‘Bahkan dari belakang saja dia terlihat menawan’ batin Agung.
"Kita mau makan di mana?" tanya Agnes. Angga menoleh pada tunangannya untuk menjawab pertanyaan itu.
"Kotabaru ya, House of Reminten," jawab Rintan. Ia menoleh pada dua orang di belakangnya meminta persetujuan. Sejenak matanya melihat perih yang terlukis di mata Agung. Gadis itu berpaling dan menatap keluar jendela yang gelap.
*Bersambung*
