Bab 13 Maaf Agnes
Bab 13 Maaf Agnes
Agnes merapikan rambutnya yang berantakan karena jatuh tertidur dan juga diacak-acak Angga. Memoles lagi wajahnya dengan bedak tipis dan sekarang menatap bayangannya di cermin. Agnes menghempas nafas menatap wajahnya. "Harus bagaimana ya? Kesal tapi kalau aku marah-marah dan Agungnya pulang, jalan-jalannya batal. Padahal ini kesempatan yang sudah lama aku tunggu," gadis itu bicara pada bayangannya di cermin.
"Tapi kalau tidak marah-marah rasanya kesal," ia menghentakkan kaki, meringis ketika heelsnya membuat kakinya terasa nyeri.
"Ah, turun dulu saja," putusnya. Gadis itu meraih tas kecil dan ponselnya, mengecek lagi penampilannya di cermin dan turun dengan langkah kecil-kecil. Dari puncak tangga ia bisa melihat Agung tengah berbincang dengan kakaknya. Mereka sepertinya akur sampai bisa tertawa riang seperti itu.
Agnes berdiri di tengah tangga, menatap kakaknya dan Agung berbincang, sepertinya seru, pikir Agnes. Perlahan ia berjalan mendekati kedua laki-laki yang disayanginya itu. Berdiri cukup lama di belakang Agung yang tertawa mendengar gurauan Angga.
Angga yang pertama kali menyadari kehadiran adiknya, ia menegur Agnes dengan dahi sedikit berkerut. "Kenapa hanya berdiri di situ, Dik? Ayo, duduk di sini," ia menepuk kursi di sebelahnya. Agnes berjalan kaku dan duduk di sisi Angga, menunduk menghindari tatapan Agung.
"Selesaikan masalah kalian, Mas ke dalam dulu," Angga menepuk lembut punggung adiknya dan bangkit. Menyempatkan diri menepuk bahu Agung seolah memberi dukungan padanya.
"Jangan marah-marah ya, Dik. Nanti dahimu berkerut, Agung bisa mengira kamu Mama lho," goda Angga.
"Mas!" Agnes menatapnya sebal, Angga tertawa dan meninggalkan keduanya dalam keheningan di ruang tamu.
"Aku minta maaf, Nes. Datangnya sangat terlambat," ujar Agung pelan. Agnes meliriknya, masih dengan mata kesal.
"Kupikir kamu tidak jadi datang," sahutnya sedikit ketus.
"Aku, tidak terbiasa mengingkari janji," ungkap Agung, Agnes menatapnya sekarang dengan mata tajam yang menyiratkan sedikit kemarahan.
"Tidak ingkar, hanya terlambat?" sinis Agnes.
"Maaf Agnes. Aku berangkat jam tujuh dari rumah, tapi di jalan ada teman yang mobilnya mogok aku tidak bisa meninggalkannya sendirian di sana karena jalan itu cukup sepi," jelas Agung.
"Kutebak, pasti perempuan?" suaranya semakin tidak enak didengar. Agung tersenyum sabar dan memilih pindah ke sisinya. Agnes menggeser tubuhnya beberapa senti dari Agung.
"Maaf Nes, kalau laki-laki aku juga tidak akan menungguinya di sana," ujar Agung dengan wajah merasa bersalah. Agnes memutar tubuh dan menghadap Agung dengan wajah galak.
"Jadi demi teman itu kamu membuatku menunggu selama dua jam? Terasa sia-sia karena bahkan kamu tidak bisa dihubungi!" kesal Agnes. Wajah Agung sedikit berubah, ia baru ingat jika tadi saat bersama Rintan ponselnya dimatikan.
"Kamu bahkan mematikan panggilanku dan sengaja tidak menjawabnya," keluh Agnes. "Dia begitu penting ya?"
"Bukan begitu Nes," ia bingung harus menjelaskan apa, karena menyadari kesalahannya.
"Lalu?" tanya Agnes dengan suara menuntut. Angga yang memperhatikan keduanya dari ruang tamu menggeleng melihat wajah adiknya yang keras kepala.
"Aku hanya membayangkan kalau yang mengalami kejadian itu adalah kamu," ujar Agung pelan. "Aku juga pasti akan melakukan hal yang sama," sambungnya.
Sesaat kalimat itu membuat Agnes melunak, ia menatap wajah menyesal Agung dengan lembut. "Tapi kamu tidak harus mematikan ponselmu kan? Kenapa tidak memberitahuku saja," sesalnya.
"Aku tahu, itu kesalahanku. Aku minta maaf dengan sangat untuk itu," sahut Agung.
"Aku hanya ingin tahu, Gung. Mengapa kamu melakukannya. Apa dia istimewa sehingga kamu tidak ingin dia tahu bahwa kita memiliki janji malam ini?" tanya Agnes penuh selidik.
"Tidak juga, tapi memang di sana tadi signalnya tidak terlalu bagus," ha, akhirnya ia terpaksa berbohong. Tapi berbohong demi melihat senyum Agnes itu kira-kira berdosa tidak ya, Agung bertanya-tanya sendiri.
"Alasan!"
"Serius, Agnes." Tersenyum merayu. Agnes yang memang pada dasarnya hanya kesal mau tidak mau ikut tersenyum kala melihat senyum yang memikat hatinya itu.
"Ah, iya aku membawa sesuatu untukmu," ujar Agung tersenyum. Gadis di sampingnya itu menoleh penasaran.
"Sebentar, aku ambil ya," Agung bangkit dan berjalan ke luar. Mengambil sebuah bungkusan yang ia ikat di jok motor kesayangannya. Agnes menatap bungkusan tipis itu dengan raut penasaran.
Ia tersenyum riang ketika Agung mengulurkan bungkusan berbentuk segi empat itu. "Bukalah," ujar Agung. Jujur saja, bungkusan itu adalah senjata pamungkas Agung agar Agnes tidak lagi marah padanya. Dan sesuai prediksinya, Agnes tersenyum riang saat jari-jarinya membuka perlahan bungkusannya.
Bersorak kecil ketika menemukan lukisannya di sana, lukisan yang dibuat Agung saat di pameran terakhir. Gadis itu tak bisa lagi menyembunyikan rasa gembiranya, menatap Agung tersenyum.
"Ini untuk aku?" tanyanya penuh harap. Agung mengangguk.
"Aku lupa memberikannya padamu malam itu, jadi kubawakan malam ini," jawab Agung. Tanpa malu-malu, Agnes mendekap lukisan itu ke dadanya.
Selesai, hilang sudah semua kekesalan dan kemarahannya pada pemuda ini. Yang tersisa hanya kegembiraan yang seakan tak ada habisnya. "Aku akan memajangnya di kamar. Tunggu sebentar ya," ucapnya riang.
Agung mengangguk dan tersenyum ketika Agnes setengah berlari menaiki tangga menuju kamarnya. Angga menggeleng melihat sikap adiknya dan karena penasaran ia mengikuti Agnes ke kamar. Menggeleng heran melihat adiknya heboh dan bingung sendiri mau meletakkan di mana lukisan yang sangat berharga baginya itu.
"Lukisan?" tanya Angga mendekati Agnes yang tengah kebingungan. Gadis itu mengangguk.
"Agung yang melukisnya, di hari terakhir pameran di Galery Sapu Lidi," ujar Agnes, menjelaskan tanpa diminta. "Bagusnya di taruh di mana ya, Mas?" tanyanya kemudian.
"Aplikasi Cukar," sahut Angga iseng. Agnes melotot kesal pada kakaknya yang tertawa dan keluar dari kamar adiknya.
Seperginya Angga, Agnes mencoba meletakkan lukisan itu di beberapa tempat sampai akhirnya memajang di bagian atas cermin. Bagian yang paling memungkinkan baginya untuk melihat lukisan itu dari sudut manapun di kamarnya dan yang terpenting bisa ia lihat dengan sangat jelas dari tempat tidur.
Tersenyum puas setelah si lukisan tergantung dengan manis di dinding, Agnes kembali turun untuk menemui Agung. Tersenyum sekali lagi di ambang pintu menatap pada wajahnya yang ada di kanvas sebelum menutup pintu kamar. Belum puas, ia membuka lagi pintu kamarnya menatap lukisan di atas cermin dan tersenyum.
"Memangnya lukisan itu bisa membalas senyummu?" goda Angga. Agnes mendesis sebal dan melempar pandangan jengkel pada kakaknya. Ia turun ke ruang tamu dengan Angga mengintil di belakangnya. Masih belum puas menggoda sang adik.
"Dik, lukisan itu bagus lho. Kalau di jual di Cukar, Mas yakin bisa laku puluhan juta itu," godanya. Rambut tebal Agnes terbang saat ia menoleh sewot pada kakak isengnya.
"Awas kalau berani memajang di sana, Agnes pecat jadi Mas kesayangan," ancamnya. Angga terbahak.
"Mm, sepertinya itu usulan bagus, Mas jadi tidak perlu mengeluarkan uang jajan untukmu kan?" godanya lagi.
"Dasar pelit!" gerutu Agnes. Angga melewatinya dengan cepat setelah mengacak rambut Agnes.
"Mas!" jeritnya, sementara sang kakak hanya tertawa dengan melambaikan tangan. "Menyebalkan!" gerutu Agnes, merapikan lagi rambutnya dengan jari.
Agnes menemui Agung kembali di ruang tamu, melewati Angga yang duduk di ruang keluarga dengan sengaja menghentakkan kaki di depannya. Angga yang sudah hafal kelakuan manja adiknya, terkekeh.
"Terima kasih ya," ujar Agnes lagi ketika ia kembali duduk di sisi Agung.
"Tadi sudah lho," gurau Agung membuat pipi Agnes merona. Saat itu sebuah mobil memasuki pekarangan dan berhenti di halaman.
Agung dan Agnes menoleh ketika lampu mobil itu terasa menyilaukan mata. "Siapa?" tanya Agnes. Ia bangkit dan menuju teras untuk mencari tahu siapa yang datang.
Terdengar perbincangan yang tak bisa dimengerti Agung dari teras, dan tak lama kemudian Agnes masuk kembali diiringi seseorang yang membuat jantung Agung seketika berhenti berdetak. Tapi gadis yang berdiri di belakang Agnes itu terlihat tidak terkejut. Ia tersenyum cantik pada Agung yang terlogong melihatnya. Tak percaya.
*Bersambung*
