Bab 12 Agung Ke Mana?
Bab 12 Agung Ke Mana?
Keremangan malam tak mampu menutupi keriangan yang hadir dalam senyum Agung saat menemani Rintan menunggu mekanik bengkel datang. Di pinggir jalan yang sepi itu mereka berbincang, dalam hati Agung berharap mekaniknya tidak segera datang agar ia punya alasan untuk tetap menemani gadis ayu itu di sana.
"Mekaniknya kok lama ya?" Rintan bolak balik melirik jam tangannya. Ia merasa tidak enak karena Agung memaksa menemaninya di sana. Rintan senang pemuda itu ada di sini bersamanya, karena pemuda itu juga sudah menarik perhatiannya sejak awal pameran. Entah mengapa, sejak pertama kali melihatnya ada debar tak biasa yang mulai berdendang di hati Rintan.
"Mungkin sebentar lagi," Agung mencoba menenangkannya. Rintan yang merasa tidak enak karena Agung harus melanggar janji demi dirinya.
"Temanmu nanti menunggu terlalu lama," ujar Rintan, menyuarakan kekhawatirannya untuk kedua kali.
"Dia pasti akan mengerti, percayalah padaku," Agung menenangkan.
Senyum Rintan mekar ketika akhirnya mekanik yang mereka tunggu datang. "Sudah datang, kamu bisa pergi," ujar Rintan pada Agung.
"Aku diusir ceritanya?" gurau Agung, gadis di depannya tersenyum geli.
"Tidak, bukan begitu. Kamu sudah cukup lama di sini, kasihan temanmu sudah lama menunggu," sahutnya.
"Aku akan tunggu sampai mekaniknya selesai memeriksa mobilmu. Kalau ternyata tidak bisa diperbaiki di sini bagaimana?" tanya Agung.
"Aku bisa menelepon Papa atau orang rumah," jawabnya malu-malu. Tatapan Agung yang lekat membuatnya tak bisa menenangkan debaran jantungnya.
"Tidak terlalu parah, Mbak," ujar mekanik, ia menoleh pada Rintan setelah memeriksa seluruh komponen mesin. "Coba hidupkan," sambungnya.
Rintan masuk ke dalam mobil dan mencoba untuk menghidupkannya perlahan. Beberapa kali mencoba akhirnya mobil gadis itu menyala. Mekaniknya mengacungkan jempol ketika Rintan mengucapkan terima kasih dan akan membayar tagihannya malam itu juga dengan mengikuti sang mekanik ke bengkelnya.
"Agung, aku ke bengkel dulu," Rintan menatap Agung yang sudah duduk kembali di motornya bersiap pergi.
"Baik, hati-hati ya," jawab Agung.
"Terima kasih, Agung," Rintan membekalinya dengan sepaket senyum yang membuat malam terasa lebih cerah bagi Agung. "Kamu juga hati-hati," sambung si mata sendu itu.
Sementara di rumah Agnes, gadis itu gelisah karena Agung sudah terlambat hampir satu jam dari waktu yang mereka sepakati. Matanya berpindah antara jam di dinding, ponsel, cermin dan jam lagi. "Agung kamu kemana?" kesalnya, menatap ponselnya yang bergeming.
Dering yang ia harapkan sejak sebelum jam tujuh tak kunjung terdengar. Gadis itu menatap dirinya di kaca besar, ia sudah berdandan habis-habisan untuk rencana malam ini, tapi Agung justru tidak bisa dihubungi. Sejak setengah jam lalu, Agnes sudah mencoba meneleponnya, tapi ponsel Agung tidak aktif setelah terakhir ia menelepon dan Agung memutuskan panggilannya.
Bibir Agnes mengerucut ketika ingat Agung mematikan panggilannya. Tadinya Agnes berpikir Agung mungkin mematikan panggilannya karena ia sedang dalam perjalanan. "Tapi kan bisa menepi dulu," keluh Agnes.
Ia turun menuju ruang tamu, berharap Agung akan muncul di sela-sela gelapnya halaman rumahnya. Tapi setengah jam menunggu di sana, duduk kemudian berdiri begitu terus sampai ia lelah sendiri dan Agung masih tak memperlihatkan batang hidungnya. Agnes mengeluarkan ponsel dari tas kecil di bahunya, untuk kesekian kali mengetikkan pesan bagi Agung.
Pesan yang sudah belasan itu tak satupun yang dibaca, "Centang satu terus. Agung kamu sebenarnya di mana?" kali ini Agnes tak bisa lagi menahan kekesalannya. Air mata mulai mendesak-desak ingin keluar dari matanya yang indah. Sedikit terisak, ia menghentakkan kaki dan kembali ke kamar.
Angga yang baru keluar dari kamarnya mengernyit melihat adiknya yang terlihat sangat kesal. Bibirnya mengerucut dengan dahi terlipat, pemuda itu terkejut ketika pintu kamar Agnes berdebam cukup keras karena adiknya itu membanting si pintu yang tidak bersalah dengan cukup keras.
"Dik?" panggil Angga mengetuk pintu kamar Agnes, tapi tak ada jawaban. Menarik nafas, ia berbalik dan meneruskan langkah menuju ruang keluarga. Melirik jam di tangannya.
Di kamar
Agnes yang masih kesal menjatuhkan diri di kasur, terisak kecil di sana. Kedua tangannya memukul bantal dan menarik-narik sarung bantal untuk meluapkan semua kekesalannya. Di sela air mata yang mulai turun satu satu, ia melirik ponsel yang tergeletak di sisi kepalanya. Masih berharap si ponsel akan menayangkan nama Agung di sana.
"Dia tidak mungkin lupa kan?" Agnes bertanya pada dirinya sendiri, sambil membolak balik ponselnya. "Aah, Aguuung!" jeritnya kesal.
Membalikkan tubuh, Agnes memutuskan melihat foto-fotonya bersama Agung saat di pameran dan pondok bakso. Senyum Agung yang terpajang di sana sedikit membuatnya merasa tenang. Dan tanpa ia sadari, gadis itu jatuh tertidur, mendekap ponsel ke dadanya.
Angga yang tengah duduk di ruangan keluarga sambil membaca majalah seni sedikit terkejut ketika bel berdentang nyaring dalam kesunyian yang mulai memagut suasana rumah. ‘Akhirnya datang juga’ pikirnya dan membuka pintu dengan penuh semangat. Tapi, ia terpaksa menelan kekecewannya.
Orang yang tengah berdiri di hadapannya bukanlah orang yang ia harapkan. Seorang pemuda bertubuh jangkung dengan bahu lebar berdiri di hadapannya. Tersenyum dan sepertinya juga agak terkejut karena orang yang membuka pintu juga bukan orang yang ia harapkan.
"Siapa?" tanya Angga.
"E, maaf Mas. Saya Agung, teman kuliah Agnes," ujar Agung sopan, menjabat tangan Angga dengan santun. Pria itu menatap Agung dari puncak kepala sampai ujung sepatunya, tersenyum kecil.
"Kamu yang membuat adikku melipat bibirnya dua jam terakhir?" tanya Angga sedikit sinis.
"Maaf Mas, tapi memang saya orangnya. Tadi di perjalanan ada teman yang mobilnya mogok jadi saya bantu dia dulu," jelas Agung, mungkin terdengar sedikit mencari alasan tapi toh Agung mengatakan yang sebenarnya.
Angga menatapnya dengan tatapan menyelidik, mobil mogok, pikirnya. Dia juga terlambat karena mobilnya mogok di jalan, mereka tidak saling kenal kan?
"Aku akan coba memanggil Agnes, tapi kurasa dia cukup marah padamu," ujarnya kemudian. "Berdoa saja dia mau menemuimu," sambung Angga sebelum meninggalkan Agung.
"Masuk dan tunggulah di sini," ia mempersilahkan Agung duduk di ruang tamu mereka yang luas dan mewah.
Angga berjalan cepat menuju kamar adiknya, mengetuk pelan tapi tidak ada jawaban. "Dik," panggilnya lagi, masih hening.
"Agnes!" ia sedikit menaikkan intonasi suaranya, tapi tetap tidak ada jawaban. Perlahan Angga membuka pintu yang ternyata tidak terkunci. Sesuatu yang agak aneh bagi Agung, karena biasanya saat marah atau merajuk, Agnes akan mengunci diri di kamar.
Membuka pintu dengan sangat perlahan, Angga tersenyum geli melihat adiknya tidur dengan masih mengenakan high heels, bahkan tas selempang kecilnya masih ada di bahu dan memeluk ponsel. Sisa-sisa air mata terlihat meninggalkan bekas di bawah matanya membuat beberapa noda di bedak tipis yang ia pulas di wajahnya sejak sore.
"Dik, ada temanmu datang," Angga menggoyang tubuh Agnes agar dia bangun. Tapi adik manjanya itu hanya bergumam tidak jelas dan menepis tangan Angga dari pipinya.
"Nes, bangun. Itu temanmu Agung ada di ruang tamu," Angga mengeraskan suaranya membuat Agnes mengerjab perlahan dan membuka mata.
"Ada apa Mas?" tanyanya dengan suara serak dan mata setengah terpejam.
"Itu, Agung menunggu di bawah," ujar Angga.
Agnes berguling membelakangi Angga, menarik ponsel dan mengecek jam di sana. "Dari tadi tidak bisa dihubungi dan baru datang jam sembilan?" sungutnya.
"Katanya dia bertemu teman yang mobilnya mogok di jalan, jadi Agung membantu teman itu dulu," Angga mencoba membuat adiknya bangkit. Tapi gadis itu menolak.
"Sudah malam, Mas. Agnes mau tidur," ujarnya masih dengan nada sewot.
"Mas tahu kamu marah, tapi setidaknya temui dia dulu. Dengar dulu penjelasannya," bujuk Angga. Agnes duduk, memeluk bantal dan meruncingkan bibir mungilnya.
"Kalau memang begitu, harusnya dia memberitahu Agnes, Mas. Agnes juga bisa mengerti kalau memang dia harus membantu temannya dulu. Tapi kan, dia mematikan ponselnya sejak sore," gadis itu bersungut-sungut, menatap kakaknya kesal.
Angga mengacak rambut adiknya. "Boleh marah, tapi jangan seperti ini. Temui dia, dengarkan penjelasannya dan selesaikan masalah kalian. Ayo."
"Tidak! Agnes masih kesal," tolak Agnes tegas.
"Dik. Kasihan dia, sudah jam ini dia masih menyempatkan datang untuk memenuhi janji. Walaupun terlambat tapi dia tidak ingkar kan? Sayang lho itu dandannya sudah cantik jelita begitu hanya untuk dibawa tidur. Ayo turun, setidaknya biarkan dia melihat adik Mas yang super cantik malam ini," rayu Angga lagi.
Mau tidak mau Agnes tersenyum, dengan masih meruncingkan bibir ia turun dari tempat tidur. Angga tersenyum dan mengacak rambutnya sebelum meninggalkan sang adik yang sekarang menghadap cermin, merapikan kembali dandanannya.
*Bersambung*
