Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5. Penyerangan Dadakan

Nilam melakukan apa yang di perintahkan Bram kepadanya.

Hampir semua baju yang di sukainya di bawa ke dalam kamar Bram.

Selain itu Nilam juga menyempatkan untuk merapikan beberapa bagian di dalam lemari Bram.

Di taruhnya baju pilihannya di dalam sebuah keranjang.

Waktu tak terasa cepat berlalu, jam sudah menunjukan pukul 5 sore. Deru mobil Bram pun sudah terdengar di garasi mobil.

Nilam sedikit berlari menuju pintu masuk dan menyempatkan untuk menyapa Bram.

"Selamat sore Tuan" Sapa Nilam dengan seulas senyum di bibirnya.

"Hmm sore." Balas Bram.

Ternyata Bram bisa membalas sapaannya kali ini. Bram membawa tasnya masuk, Nilam pun menutup pintu utama dan mengikuti Bram dari belakang.

Ingin Nilam meminta agar ia saja yang membawakan tas Bram. Tapi Nilam juga takut memintanya pada Bram. Takut isi tasnya adalah privasi.

"Kamu seharian di kamar?" Tanya Bram tiba tiba dan menghentikan langkahnya tepat di depan anak tangga.

"Iya Tuan. Aku bersih bersih kamar lagi. Tadi aku merapikan lemari Tuan juga"

"Oh" singkat Bram.

Bram melanjutkan lagi langkahnya, mereka tiba di kamar, Bram membuka bajunya dan menyisakan kaos dalamnyannya.

Nilam dengan sigap menerima baju Bram dan memasukannya ke dalam keranjang baju untuk di cucinya esok.

"Tuan sudah makan atau mau Nilam masakan? Atau ..."

"Aku sudah kenyang. Kalau kamu lapar, makan"

Bram membawa handuk dan menghilang di balik pintu kamar mandi yang di tutupnya rapat rapat.

Nilam terdiam, ia mengangguk meski Bram tak melihatnya. Nilam berjalan keluar dari kamar.

"Heiiii!!!" Teriak Bram dari kamar mandi.

"Kamu mau kemana?!" Bentaknya.

"Saya? Eee saya mau ke dapur Tuan" jawab Nilam cepat dan segera kembali ke tempatnya.

"Tunggu aku sampai aku selesai mandi!!!" Titah Bram.

Akhirnya Nilam menunggu Bram sampai selesai mandi.

Sambil menunggu Nilam memilih baju yang pantas di gunakan Bram di malam hari. Beberapa kaos ringan dan celana ringan pun di pilih Nilam.

Ketika Bram keluar dari kamar mandi, pakaian pakaian pilihan Nilam sudah tersedia di atas ranjang.

Bram dengan handuk putih di pinggangnya menatap Nilam dengan tajam. Tatapan itu tak ada lembut lembutnya sama sekali.

"Jangan keluar tanpa izin dariku."

"Baik Tuan. Maaf" ujar Nilam.

"Sebagai maafnya, aku gak mau cuma dari ucapan. Lakukan dengan tindakan!" Tegas Bram yang langsung membuat Nilam menciut.

Nilam mengangkat kepalanya, tindakan macam apa yang di inginkan Tuan Bram-nya ini?

"Pakaikan aku apa yang sudah kamu pilihkan"

Duggg

Jantung Nilam berdetak kencang. Bisa bisanya permintaannya adalah memakaikannya pakaian.

Beberapa saat setelah permintaan Bram di nyatakannya, Nilam masih teronggok diam di tempatnya.

"Mau minta maaf dengan cara lain?" Tiba tiba sudut bibir Bram terangkat dan menjadikan itu senyum yang jahat.

"Tak usah Tuan, Saya pakaikan" Nilam dengan takut takut maju mendekat kearah Bram.

Di ambilnya baju dan Nilam mendekati Bram. Tinggi yang hampir jauh berbeda di antara mereka membuat Nilam sedikit sulit memasukan Bram baju. Pelan tapi pasti, selama Bram tak memiliki komentar maka Nilam merasa aman.

Kini tinggal membantu Bram menggunakan dalamannya dan celananya.

Di sinilah nyali Nilam di uji. Ia akan memasangkan kain yang menutupi alat vitalitas utama seorang pria.

Pria yang dewasa dan ganas pula.

Ragu, Nilam sangat ragu. Takut ia tak sanggup ketika beradu langsung dengan barang tersebut.

"Ayo mana?" Tagih Bram.

"Ba-baik Tuan"

Nilam berjongkok di depan Bram. Ia membuka kedua sisi celana dalam itu agar Bram muda memasukan satu persatu kakinya. Begitu kedua kakinya sudah masuk, kini tinggal Nilam mengangkatnya perlahan hingga batas pinggang Bram. Inilah tantangannya, Nilam tak atau apakah yang ia lakukan ini benar caranya atau ada cara yang lebih aman agar barang itu tak terjepit atau tersangkut di antara kain dalaman.

"Tuan, kalau saya salah, jangan marah ya. Saya ... Saya ..."

Bram tak menjawab. Ia hanya menatap dingin Nilam yang sedang berjongkok di depannya.

Nilam tak punya pilihan, ia akhirnya menaikan perlahan hingga celana itu berada tepat di depan sang pusaka.

Nilam menelan salivanya kasar. Di teruskan apa akan jepit, di biarkan apa akan nyaman?

"Tu-Tuan" Nilam ingin meminta petunjuk pada Bram.

"Mau coba cara lain untuk minta maaf? Kalau mau, sekarang buka semua yang sudah kamu kenakan padaku. Dan biarkan aku ..." Tatapan Bram menguliti Nilam.

"Tidak Tuan, Saya lanjutkan" pungkas Nilam yang di selimuti ketakutan.

Tangan Nilam mulai bergetar, ia bingung harus menyentuh barang itu atau tidak perlu.

"Kamu ... Tak pernah pegang barang laki laki ya?" Tanya Bram tiba tiba.

Nilam hanya menjawab dengan gelengan kepalanya.

Bram pun terdiam lagi.

Nilam dengan hati hati memasukan barang itu. Ia harap tak ada bagian yang tak nyaman ketika di masukan.

Hingga akhirnya Nilam berhasil memasangkan dalaman itu. Napas lega pun begitu jelas terdengar oleh Bram.

"Kepalanya tak nyaman. Rasanya sempit" keluh Bram tiba tiba.

"I-iyakah? Ke-kepalanya?"

Bram diam. Ia memperbaiki bagian mana yang tak nyaman.

"Sudah, sekarang celananya"

Nilam mengangguk cepat. Jika celana, ia tak memiliki masalah sedikit pun.

Dengan segera celana itu pun terpasang rapi di pinggang tegak dan perkasa Bram.

"Sudah Tuan"

"Hhmm"

"Tuan, Nilam mau ke dapur. Boleh?" Tanya Nilam dengan sangat hati hati

"Pergilah. Jangan lama"

"Aa! Baik Tuan"

Nilam setelah berlari keluar dari kamar Bram.

Bram yang tinggal seorang diri di sana masih terdiam dan memilih duduk di kursi kerjanya.

"Mengapa aku menampung wanita itu? Biasanya ..."

Bram menghentikan ucapannya, ia membuka laci mejanya dan mengambil pisau yang mengkilat dan terlihat sangat tajam.

Nilam di dapur sedang mengaduk aduk susu yang ia dapatkan dari lemari penyimpanan. Susu akan kadaluarsa dalam waktu 2 bulan kedepan. Maka Nilam sangat bersemangat dalam menghabiskannya.

Dari belakangnya, Nilam tak menyadari keberadaan seseorang selain dirinya di dapur.

Langkah orang itu begitu pelan sehingga Nilam tak mendengar langkahnya. Orang itu tak hanya satu. Beberapa lainnya pun berada di tempat yang berbeda beda.

Wajah mereka di tutupi topeng dan tak satu pun di kenali.

Senandung santai Nilam menggema di dapur yang besar itu seperti menutup suara lainnya.

Hingga saat Nilam berbalik, ia menemukan senjata tajam sudah berada tepat di keningnya.

Nilam membeku di tempatnya. Tak ada satu patah katapun yang keluar dari mulut Nilam.

"Kamu Bosnya?" Tanya orang itu di balik topengnya.

Nilam hanya mampu menggelengkan kepalanya.

Tak di minta, keringat mulai bercucuran. Nilam tak bisa maju, ia hanya mundur teratur ke belakang dan bahkan gelas yang berisikan susunya pun tumpah dan pecah di lantai.

"Jangan berisik!" Bentaknya.

Nilam tak bisa menyembunyikan takutnya, ia gemetar dan hanya bisa menutup matanya rapat rapat.

Dorrrrr ...

Lemas, seluruh tubuh Nilam lemas ke lantai. Ia tak sanggup untuk melihat apalagi merasakan. Seperti tak menginjak lantai Nilam tak menemukan pijakan kakinya.

Wajahnya seperti di penuhi cairan yang lengket dan berbau amis.

"Pergi jauh jauh dari dia!" Ucap dingin seseorang yang suaranya familiar di telinga Nilam.

Saat itulah Nilam memberanikan diri membuka kedua matanya.

Nilam terduduk lemah di lantai, di wajah dan tubuhnya berceceran darah segar dari orang yang di tembak barusan.

Rupanya, Bram turun dengan membawa senjata laras panjangnya. Ia membantai orang orang yang ingin bertemu dengannya.

Di sana, Nilam satu satunya saksi mata kejadian. Nilam melihat sendiri bagaimana Bram menikam, menembak dan meninju wajah orang orang tak di kenali itu hingga tak ada seorang pun dapat mengenali mereka lagi.

"Sebenarnya ... Siapa Bram ini?" Batin Nilam.

Nilam yang melihat pembunuhan sadis yang di lakukan Bram mulai bertanya tanya apakah benar Bram adalah seorang psikopat seperti yang di katakan Mora.

###

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel