Bab 6. Telan Salivaku (21+)
Nilam yang bisa di hitung jam mengenal Bram masih belum dapat menyimpulkan apakah Bram adalah seorang yang baik atau sebaliknya.
Tapi dengan apa yang terjadi di depan mata Nilam saat ini, sepertinya Nilam dapat menebak seperti apakah Bram ini.
Bram membawa dua senjata di tangannya, pisau tajam di tangan kirinya dan sebuah pistol di tangan kanannya. Bram berjalan mendekati Nilam setelah semua orang orang penyerang itu di kalahkannya.
Langkah Bram begitu berani dan tangguh. Ia tak gemetar meski setelah melakukan pembunuhan.
Ia malah terlihat lebih santai dan tenang.
"Tu-Tuan" lirih Nilam.
Bram berhenti di depan Nilam. Siluet wajah Bram gelap sebelah dari pancaran lampu yang hidup dan mati.
Mendadak Nilam merasa tak baik baik saja. Tatapan Bram itu bukan tatapan yang biasanya Bram berikan padanya
Tatapan itu mematikan, tatapan itu adalah tatapan membunuh. Pisau itu juga di arahkan ke depan wajah Nilam.
"Tu-Tuan?"
Bram tak menjawab. Ia justru terus membolak balik pisaunya di depan wajah Nilam.
"Kamu tau, kenapa Mora tak ingin denganku meski aku memiliki perasaan untuknya?"
"Tidak tau Tuan" tangis Nilam luruh.
"Karena ... Aku suka membunuh." Jawab Bram.
Bram membalik tubuhnya. Ia masih asik memainkan pisaunya.
"Aku suka membunuh. Aku suka darah darah berceceran dari tubuh seorang yang mau aku bunuh. Yang ku bunuh bukanlah orang baik, mereka tikus tikus got yang menyebalkan. Termasuk ... Kekasih Mora."
Kini tak hanya tangan, hampir sebadan badan Nilam bergetar hebat.
Di depannya saat ini adalah pembunuh kelas atas.
Dia seperti tak memiliki perasaan dan kasihan.
Bram membalik badannya, ia menatap Nilam lagi.
"Sekarang ..."
Nilam menggelengkan kepalanya. Tangisnya semakin menjadi. Ia takut. Berada di ketakutan yang tak pernah ia bayangkan.
"BERHENTI MENANGIS!!!" Tegasnya.
Saat itu juga Nilam menutup matanya dan menggigit erat bibirnya agar tak terisak. Hanya suara suara kecil yang keluar dari mulutnya seperti suara anak kecil yang ketakutan.
Bram memejamkan matanya lalu menghela napasnya panjang. Helaan napas itu terasa dingin mengenai tubuh Nilam.
"Pulang ke kamar" ujar Bram.
Nilam tak berani menolak. Ia langsung berusaha bangkit. Tangannya menjadi penopang. Tapi tanpa di sadari tangannya malah menekan serpihan gelas kaca yang pecah tadi. Telapak tangannya berdarah. Nilam seperti tak menyadari itu terjadi. Tapi Bram yang ada di sana melihatnya dengan jelas.
Mendadak mata Bram melotot ke arah Nilam. Di tariknya tangan Nilam dan di lapnya darah yang merembes itu dengan bajunya sendiri.
Tak sampai di sana, Bram juga mengangkat tubuh Nilam. Di gendongnya Nilam seperti anak koala. Pisau dan pistolnya dapat di genggamnya dengan satu tangan. Sementara tangan yang lainnya menopang tubuh Nilam yang di gendongnya. Semua itu tampak mudah di tangan Bram yang berotot dan tubuh yang kekar. Tubuh itu menjadi sandaran yang cukup untuk tubuh mungil Nilam.
Nilam kaku. Ia tak berani menguraikan tangannya atau memeluk leher Bram. Takut pria itu tak suka dan bisa saja ia langsung di tikam dari belakang.
Bram tak menghiraukan Nilam yang takut memeluknya. Ia membalik badannya dan membawa Nilam kembali ke kamar mereka.
Sesampainya di sana. Nilam di taruhnya di atas ranjang. Bram mengembalikan pisau dan pistolnya ke tempat penyimpanannya. Lalu entah apa lagi yang di cari Bram, Nilam tak berani mengangkat wajahnya. Takut jika ia mengangkat wajahnya dan memperhatikan Bram bisa membuat pria itu marah besar.
Lebih baik diam seperti patung saja.
"Mana tanganmu?"
Tanya Bram yang sudah berada di depan Nilam.
Nilam yang takut langsung memberikan kedua tangannya. Bram menepis tangan Nilam yang tak terluka. Ia hanya membutuhkan yang terluka itu.
Di situlah Nilam baru menyadari bahwa tangannya ternyata luka. Luka itu pun Nilam tak tau mengapa bisa terjadi.
Bram mengambil kapas yang sudah di tambahkan dengan obat luka.
Di lapnya pelan hingga darah tak lagi keluar dari luka. Setelah itu, Bram mengambil kapas bersih dan di tuangkannya dengan air. Di lapnya lagi hingga bersih luka itu.
Setelah bersih, barulah Bram mengoleskan salep khusus luka.
Tak mengatakan apapun Bram hanya melakukannya dalam diam. Nilam yang sedang di obati pun sama. Tak berani bertanya apa saja yang di oleskan Bram padanya.
Setelah selesai mengobati tangan Nilam, Bram langsung menepis tangan itu. Meski tangan itu juga yang di obatinya dengan lembut barusan.
Nilam segera menarik tangannya dan melipat kedua tangannya dengan takut.
Jari jemari Nilam saling meremas satu sama lain.
Hingga membuat jari jemarinya memerah, entah itu adalah kebiasaan atau memang refleks Nilam di saat ketakutan.
Bram membalik tubuhnya. Ia menatap Nilam dari atas sampai bawah.
"Sudah aku bilang, jangan lama di dapur. Masih juga!" Dumelnya.
"Ma-Maaf Tuan"
Bram memutar matanya malas tapi kembali menatap Nilam. Bram melirik jari jemari Nilam yang saling meremas.
"Mau di remas 'kah?" Tanya Bram dengan nada jengkel.
"Ti-tidak Tuan"
"Lalu? Jarinya kenapa?"
Nilam menghentikan semua jarinya dan diam tak melakukan apapun.
Bram terlihat kesal dengan apa yang di lakukan Nilam. Jari jari merona itu menjadi pusat perhatian Bram.
Di tariknya kedua tangan Nilam. Nilam pun ikut di tarik mendekat ke arah Bram.
"Tuan"
"Kalau kamu masih mau hidup ... Jangan tolak aku. Dan jadilah peliharaan yang patuh"
Nilam mengangguk cepat. Matanya dan mata Bram saling mengunci. Mata yang berkaca kaca melawan mata yang tajam menguliti.
"Saya ma-mau Tuan"
"Cukup kamu sendiri yang ingat ucapanku. Tak perlu aku mengulangi apa yang aku ucapkan"
"Saya tak akan menolak Tuan, saya akan ja-jadi peliharaan yang patuh" dengan suara yang bergetar Nilam memberanikan diri berucap demikian.
Bahu dan tubuh Bram terlihat tenang setelah mendengarkan ucapan Nilam barusan. Napasnya juga kembali normal tak beradu kencang.
Tapi tak lepas pandangan tajamnya dari Nilam.
Nilam menatap Bram dengan lembut dan penuh takut. Tatapan itu membuat Bram mengalihkan pandangannya. Tapi setelah beberapa saat kemudian, Bram menarik lagi tangan Nilam mendekat padanya.
"Telan Salivaku!" Titah Bram.
Nilam berkedip bingung. Tapi setelahnya, satu tangan Bram menarik tengkuk Nilam.
Gigi Bram menggigit bibir Nilam, gigitan itu tak membuat luka, tapi membuat mulut kecil Nilam terbuka.
Saat itulah Bram memasukan beberapa tetes salivanya ke dalam mulut Nilam.
Nilam merasakan hangatnya saliva yang masuk ke dalam mulutnya. Saliva itu menggenang di lidahnya.
Setelah puas memasukan salivanya ke dalam mulut Nilam, barulah Bram mengatup bibir Nilam dengan bibirnya. Saat sedang terpaut, Bram melepaskan sedikit bibirnya dan ingin memerintahkan Nilam lagi.
"Tel ..."
Glekkk
Terdengar sedikit suara dari tenggorokan Nilam. Sebelum perintah itu di sampaikan ia langsung menelan saliva yang di berikan Bram.
Bram puas. Sangat puas. Ia mendapatkan peliharaan yang sangat bagus. Bram memejamkan matanya. Ia terus menautkan bibir mereka.
Bibir mungil itu membuatnya gemas ingin di gigitnya lagi.
"Eemmpphh" Nilam memejamkan matanya dan menahan sakit jika bibirnya di gigit.
Bram akhirnya melepaskan tautan mereka. Ketika di lepas, bibir Nilam berona karena gigitan Bram di sana. Tak hanya itu bibir kecil itu juga bergetar getar.
"Tidur"
Bram bangkit dari samping Nilam dan mengambil ponselnya.
Nilam langsung mundur dan memposisikan dirinya dengan rapi di tempat tidur.
Bram sepertinya sedang menelpon seseorang. Ketika tersambung Bram berbicara dengan orang tersebut.
"Buang jasad jasad itu. Bersihkan seperti tak terjadi apapun"
Nilam menoleh ke arah Bram yang sedang menelpon.
Kening Bram mengkerut. "Masih ada?" Tanya Bram.
"Oke."
Tak tau apa yang baru saja di sampaikan orang di sebrang telpon Bram, tapi Nilam yakin itu adalah anak buah Bram.
Bram menoleh ke arah Nilam. Nilam tertangkap sedang memperhatikannya.
"Aku bilang, tidur"
Nilam langsung mengangguk cepat. Bersembunyi ia di dalam selimut. Lama Nilam di balik selimut, setelahnya Nilam mendengar bunyi pintu di tutup dan di kunci dari luar.
Barulah Nilam membuka selimutnya. Ia tak menemukan sosok Bram. Bram pasti sudah keluar dan mengunci pintu itu dari luar.
Terkurunglah Nilam di dalam kamar seorang diri.
Nilam meraba bibirnya. Bibir yang masih basah dan lembab menjadi tanda patuhnya ia pada Bram.
"Apa aku akan selamanya di sini?" Batin Nilam.
"Tuan Bram, kemana?"
***
Beberapa jam kemudian, Nilam masih terjaga. Ia duduk dan bersandar head board ranjang.
Ia memikirkan Bram, apakah ia di tinggalkan seorang di rumah ini ataukah perkelahian itu masih terjadi di dalam rumah ini?
Suara pun tak ada terdengar masuk ke dalam kamar ini. Setelah Nilam perhatikan kamar ini rupanya kedap suara. Sedikit ada rasa khawatir Nilam untuk Bram. Tapi ada juga rasa lega jika tak ada Bram di dekatnya.
Tapi mengingat beringasnya orang orang yang datang menyerang tadi, Nilam lebih condong khawatir pada Bram.
Ceklek ...
Suara pintu kamar itu di buka dari luar.
Nilam bangun dari tempatnya, ia melirik ke kiri dan kanannya mencari sesuatu untuk di jadikan pertahanan. Ia takut jika yang datang bukanlah Tuannya, Bram.
Ketika pintu di buka, Nilam malah bersembunyi di bawah ranjang. Ia menutup wajahnya. Tak ia melihat langkah kaki masuk dan mengarah ke tempat persembunyiannya.
"Sedang apa?"
###
