Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3. Mencoba Membiasakan Diri

Nilam yang masih takut ini memilih untuk berkeliling rumah. Ia celingak celinguk seperti maling di rumah ini. Ia melihat lihat lampu, melihat lihat tanaman palsu. Dan ia juga bermain dengan ikan ikan kecil di dalam akuarium. Nilam tak menyadari ada kamera di setiap sudut rumah tersebut. Memang ia melihatnya, tapi ia mengira itu termasuk hiasan rumah.

"Eeh iya, aku belum mandi!" Ketika melihat air ikan akuarium yang nampak biru cerah, Nilam baru teringat ia belum mandi.

Sesegera mungkin Nilam kembali ke kamarnya. Kamarnya memiliki kamar mandi. Dengan segera Nilam membersihkan tubuhnya.

Nilam keluar dari kamar mandi. Ia melirik tumpukan baju dan juga dress dress yang di tinggalkan Nyonya Moranya. Ia tak menyangka maksud dari Mora adalah menjadikannya budak sek* suaminya sendiri.

Nilam mengambil satu helai baju, ia bingung apa ia harus menggunakan baju tersebut ataukah tidak.

"Nilam ..." Panggil seseorang yang tiba tiba saja langsung membuka lebar lebar pintu kamar Nilam.

"Nyo-Nyonya"

"Aaaaahh? Baru mandi? Gimana semalam? Asik'kah?"

"Apa apaan Nyonya? Nyonya, kenapa Nyonya ..."

"Haaaa, senangnya ... Bram baru saja menceraikan aku. Ahaaahhh, makasih ya Nilam."

"Nyonya, Nyonya semalam saya dan Tuan ... Nyonya gak marah? Nyonya? Maksud saya ..."

"Sstt sttt sssttt ... Aku gak peduli kamu sama Bram ngapain aja! Aku sekarang juga bukan Nyonya kamu, dan yaah ... Bram bukan suamiku. Yaaa, secara hubungan ya kami suami istri. Tapi ... Aku gak cinta dia. Dan dia ... Aku tak suka dia. Dengan adanya kamu Nilam, aku bebas."

"A-apa?"

"Aaah kamu mah gak paham. Mending sekarang kamu layani aja Bram dan ..."

"Nyonya, Nilam gak mau Nyonya, Nilam takut. Tuan itu ..."

"Apa yang kamu takuti. Hei, dia itu tampan bukan? Dia ... Seksi bukan? Dia kaya lhooo"

"Nyonya, dia suami Nyonya ..."

"Dia bukan suamiku. Aku katakan lagi, dia bukan suamiku. Aku gak mau punya suami psikopat seperti dia. Aku mau bebas dari dia" ujar Mora dengan nada yang lebih tegas dan berani.

"Tapi saya ..."

"Kamu akan di bayar puas oleh aku dan Bram. Gak mungkin dia pakai kamu tapi enggak bayar kamu 'kan? Ahahaha, ini rekening kamu dan isinya."

Mora mendekati Nilam yang masih menggunakan handuk di tubuhnya, Mora menaruh kartu ATM itu di balutan handuk Nilam di bagian dada dan menyempatkan berbisik.

"Aku rasa sepadan dengan baru saja kamu cuci di kamar mandi" bisik Mora

Senyum jahatnya menghiasi wajahnya yang mulai mengulit tubuh tubuh Nilam di balik handuk.

"Ups, ada bekas di leher. Astaga Bram, brutal sekali yaa? Ahahaaa" tawanya puas.

Begitu saja meninggalkan Nilam yang heran melihat tingkah wanita itu. Nilam mengambil kartu yang di selipkan di handuknya.

Tak tau berapa nominal yang ada di dalamnya, tapi Nilam tak peduli. Nilam menjatuhkan kartu itu dan bergegas menggunakan baju.

Ucapan ucapan Mora barusan membuat Nilam sadar. Ia di sini hanya untuk melayani pria yang bernama Bram. Pria yang semalam mengambil mahkotanya.

"Aku gak mau, aku takut. Aku terlalu takut mending mati di luar sana dari pada ..." Bayangan dirinya yang di perkaos Bram semalam bergrilya di otaknya.

"Aku tak mau, aku tak kuat. Aku takut"

Nilam sedikit berlari menuruni anak tangga. Tiba di depan pintu utama Nilam melirik kiri dan kanan, rumah itu benar benar sepi.

Nilam membuka pintu utama lebar lebar. Begitu di buka, terlihat seorang sudah berdiri di depan pintu.

Nilam menganga seakan tak percaya. Kedua matanya menatap lekat lekat orang itu.

Begitu pula orang itu. Ia menatap Nilam tanpa berkedip.

"Aku belum menekan bel." Cicitnya.

Nilam tak memiliki jawaban, jika ia menjawab ia ingin kabur tentu akan buruk akibatnya karena pemilik rumah sudah ada di depan pintu.

"Si-silakan masuk Tuan" Nilam mempersilakan Pria yang bernama Bram itu masuk.

"Aku cuma mau kabur" batin Nilam.

Pria itu tak mengatakan apapun lagi. Ia berjalan lurus dan menaiki tangga, Nilam dapat melihat arah jalan Bram malah menuju kamar yang di tempati Nilam.

"Tadi Mora ke sini?"

Dengan suara yang keras dan bergema sampai ke lantai bawah tempat Nilam.

Dengan sedikit berlari Nilam menuju kamar itu. Sesampainya di depan kamar, Nilam menjawab.

"Iya Tuan."

"Ini bayaranmu?" Bram membalik balik kartu ATM yang di jepit jari telunjuk dan jari tengahnya.

Dengan malu malu, Nilam mengangguk sambil mengiyakan "Iya"

Pria itu ikut mengangguk. Nilam memberanikan diri melirik, Bram tetap sama seperti awal mereka bertemu. Tak ada ekspresi tertentu di wajahnya. Hanya datar dan dingin.

"Apa kamu puas dengan bayaran ini?"

Pertanyaan yang membuat Nilam lama berpikir.

"Maksud pertanyaannya apa ya?" Batin Nilam.

"Kalau jawab iya apa akibatnya, kalau jawab tidak apa pula akibatnya" batin Nilam terus meronta.

"Aku anggap jawabmu, Iya" Bram langsung keluar dari kamar dan langsung berpapasan dengan Nilam di depan pintu kamar.

Tubuh Bram yang tinggi membuat Nilam hanya sebatas lehernya.

"Yang artinya ..." Gantung Bram.

Nilam mengangkat wajahnya dan menatap Bram yang menghentikan langkahnya tepat di depan Nilam.

Bram tak menoleh ke arah Nilam, tapi Nilam cukup tau yang di ajak bicara adalah dirinya.

"Artinya ..." Tagih Nilam.

"Kamu akan tetap bekerja di sini, dan ingat kalimat ini. Aku ... Aku tak mau ada penolakan" ekor mata Bram langsung melirik Nilam dengan tajam.

Nilam tak bereaksi sedikit pun. Ia menatap Bram lekat lekat dan berharap ada tambahan lainnya.

Bram merasa tak ada yang ingin di sampaikan Nilam, maka ia langsung beranjak dari tempat itu.

"Tunggu Tuan." Pinta Nilam.

Begitu di minta berhenti, Bram pun menunggu.

"Apa saya boleh ..."

"Di larang berhenti tiba tiba, atau dalam bahasa lain KABUR!" Di kata kabur, benar benar di bedakan dengan kalimat yang lainnya.

Seakan tau apa yang ingin di lakukan Nilam tadi Bram langsung melarangnya dengan tegas.

"Ada pertanyaan lagi?"

"Banyak ..." Batin Nilam.

Tapi kepalanya malah menggeleng dan membiarkan Bram kembali ke kamarnya.

Nilam tersadar di dinding.

Lagi lagi Nilam meremas remas jari jarinya. Takut, dirinya benar benar ketakutan.

"Kamu ..." Suara yang begitu di takuti Nilam tiba tiba terdengar dari kejauhan.

"I-iyaaahh!" Nilam setelah berlari dengan kakinya yang masih sedikit pincang.

Bram berdiri di depan kamarnya sambil melipat tangan di dadanya.

"Bersihkan kamarku. Ganti seprainya dan selimutnya. Sapu juga. Di pel juga. Di buka juga hordennya." Titah Bram tanpa menatap Nilam dan malah sibuk ponselnya

Dengan satu anggukan Nilam mengiyakan.

Bram langsung meninggalkan Nilam di depan kamar tempat keduanya bertemu semalam.

Nilam menatap ke dalam kamar itu, bayangan kamar itu masih gelap terlihat jelas. Tapi, karena ini adalah perintah Bram langsung, Nilam tak ada pilihan lain selain melakukan yang di perintahkannya.

Dengan sigap Nilam membersihkan kamar itu. Ia membuka horden jendela kamar. Membiarkan cahaya puas masuk ke dalam ruangan besar itu. Salah satu jendela di buka Nilam agar udara segar masuk.

Setelahnya Nilam merapikan barang barang yang ada di atas meja dan sekitarnya.

Setelahnya Nilam juga menggulung karpet lantai berbulu dan menaruhnya di tempat aman.

Setelah di rasa semuanya sudah rapi dan aman, Nilam berpindah ke tempat tidur atau lebih tepatnya ranjang. Di sana Nilam sedikit kikuk.

Ingin ia lupa, tapi bagaimana bisa lupa rasanya di baringkan paksa di atas ranjang itu dan di jamah di sana.

Sejenak terdiam, tapi Nilam tetap melakukan apa yang harus ia lakukan dengan seprai dan selimut bekas adegan panas itu.

Di bawanya ke tempat mencuci dan di cucinya.

Menunggu cuciannya selesai dengan mesin cuci, Nilam kembali ke kamar, ia tak lupa membawa sapu dan juga alat pel lantai.

Di sapu dan di pelnya lantai kamar itu. Wangi aroma stroberi seisi kamar. Berkali kali Nilam sendiri yang menghirup aroma stroberi itu.

"Harumnya"

"Aroma apa ini?"

Dug

Jantung Nilam benar benar di peras ketika mendengar satu pertanyaan dari suara bass itu.

"Stro-beri Tuan" jawab Nilam takut.

"Oh" singkatnya dan langsung berlalu lagi entah kemana perginya.

Nilam tak ingin banyak diam kalau ternyata dirinya di awasi seperti ini. Bergegas Nilam melanjutkan cuciannya.

Selesai mencuci Nilam langsung menjemurnya agar lebih cepat kering. Baju Nilam yang awalnya kering kini basah dengan keringat.

Beberapa keringatnya bahkan menetes dari dagunya. Di seka kasar saja oleh Nilam.

"Sudah" ujarnya pada diri sendiri.

"Selesai?"

Dug ...

Sebadan badan Nilam terkejut.

###

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel