Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 8 Panggilan Dari Sekolah

Zaki menyetir membawa mobil ke rumah sakit mengantar papah. Matanya tetap fokus menyetir ke depan, sambil sesekali menyalip mobil yang berjalan lambat.

Di dalam mobil aku mendapat panggilan dari wali kelas—Oliv. Guru---Oliv yang bernama Firda menghubunginya lewat telepon. Aku menggeser tombol hijau ke atas, untuk menerima panggilan dari wali kelas.

“Selamat siang, Bu,” ucap Bu Firda--- wali kelas—Oliv. “Apa ini wali dari Olivia Zahra?”

“Iya, betul saya sendiri. Ibu siapa?” Aku balik bertanya lembut.

“Saya wali kelas dari Olivia Zahra murid---kelas dua SMA. Ingin menyampaikan kalau Olivia sekarang ada di kantor polisi.”

“Apa? Kantor polisi?”

Mendadak Zaki mengerem mobil secara tiba-tiba, dan menoleh ke arahku begitu mendengar nama polisi di sebut.

Ada apa, Non?” Tanya Zaki penasaran.

“Hup!” Aku memberi isyarat jari telunjuk, menempel di mulut Zaki agar dia diam. Tetap fokus menyetir menuju rumah sakit.

Zaki hanya mengangguk, lalu melanjutkan mengemudikan mobil menuju ke rumah sakit.

Wali kelas—Oliv masih menyampaikan pesan dari telepon.

“Bisakah ibu datang ke kantor polisi sekarang untuk menebus Oliv?” tanya wali kelas ragu-ragu.

“Oh, iya, Bu. Nanti saya segera datang ke sana setelah menyelesaikan urusan rumah sakit,” tukasku.

“Baiklah kami tunggu. Kami segenap jajaran guru di sekolah minta maaf atas ketidaknyamanan ini sudah mengganggu waktu Anda,” ucapnya dengan ramah.

“Iya, Bu sama-sama,” balasku sopan. Telepon akhirnya diputuskan.

Sesampainya di parkiran, Zaki segera menghubungi pihak rumah sakit. Agar membantu untuk membawa papah menuju ruang UGD.

***

“Oliv!” Panggilku setelah berada di dalam kantor polisi.

Oliv mengernyitkan kening. Dia hanya santai menganggapku yang datang menjenguknya di dalam kantor polisi. Oliv ditangkap bersama teman-temannya karena terlibat tawuran di jalanan. Pada saat jam pelajaran berlangsung.

“Mama!” Sahutnya santai.

“Apa yang kamu lakukan hingga di bawa ke sini?” Tanyaku gusar.

“Tawuran,” jawab Oliv sekenanya.

“Oliv, Mama menyekolahkanmu bukan untuk tawuran atau menjadi anak berandalan!” Hardikku.

Oliv hanya menanggapi kemarahanku dengan santai, sambil jari tangannya mengetuk-ngetuk meja.

“Kalau, Mama datang ke sini hanya untuk mengomeli Oliv mendingan pulang saja! Oliv tidak butuh ceramah Mama,” celetuk Oliv. Dia pun berlalu kembali ke dalam sel dengan santainya.

Aku hanya menarik napas berat sambil mengelus dada. Sementara wali kelasnya pun terlibat sibuk mengurusi siswa yang lain. Mereka semua yang tertangkap berjumlah enam orang. Salah satunya adalah Oliv yang terjaring razia di jam pelajaran. Dua orang wanita dan empat orang pria terjaring polisi di jalan, saat melakukan tawuran.

“Maaf, Bu. Apa Anda adalah orang tua wali dari Olivia?” Tanya guru wali kelas—Oliv ramah.

“Iya, Bu.”

“Mari ikut saya! Polisi sedang menunggu di ruang sebelah sana,” ucap guru wali kelas itu, sambil menunjuk ruang yang dipenuhi para orang tua. Aku mengikuti langkah guru Firda memasuki ruang tersebut.

Di dalam ruang yang berukuran cukup luas tersebut, telah berkumpul para orang tua yang juga ingin menjemput anaknya. Mereka semua terjaring razia ketika polisi sedang berpatroli.

“Nyonya Oliv, tanda tangani berkas ini untuk jaminan!” ucap salah satu polisi wanita bertubuh agak tegap. Wanita itu berpangkat sudah tinggi, terlihat ada jajaran bintang di bahunya.

Aku segera menandatangani berkas tersebut, tanpa banyak bertanya. Setelah selesai aku menyerahkan berkas tersebut kepada polisi wanita.

“Ini, Bu.” Aku memberikan berkas tersebut.

“Ini adalah peringatan untuk anak---Anda. Jika sampai terjaring lagi kami akan menahannya dengan pembebasan bersyarat,” tegasnya.

Aku mengangguk pelan.

“Siap, Bu.”

Akhirnya secara bersamaan para siswa yang terjaring razia di bebaskan. Keenam para siswa pun ikut menandatangani perjanjian.

Mereka dibebaskan tanpa syarat karena masih di bawah umur. Jika sampai peristiwa tersebut terulang lagi, maka harus ada jaminan untuk membebaskannya.

Dengan dikawal dari wali kelas masing-masing, para siswa yang terjaring razia bisa bebas. Wali kelas—Oliv yang bernama Bu Firda mendampingiku, saat akan berangkat pulang.

“Maaf, Bu. Sepertinya kita harus mengobrol serius sebelum pulang.” Bu Firda menahan langkahku yang baru mau memasuki mobil.

“Tentang apa, Bu?” Tanyaku penasaran.

“Tentang Oliv,” ucapnya datar.

“Apa ada masalah lagi yang dilakukan Oliv?” Tanyaku penasaran.

Wali kelas Firda mengangguk pelan.

“Iya, Bu. Sebaiknya ibu datang ke sekolah sekarang agar kita bisa menyelesaikan masalah ini baik-baik.”

“Baiklah kalau begitu.” Aku akhirnya mengikuti saran wali kelas—Firda untuk datang ke sekolah.

Batinku berkecamuk. Begitu banyak masalah yang dihadapi bertubi-tubi. Sampai membuat dada ini sesak, dan sakit kepala. Prahara rumah tangga belum lagi selesai, kini sudah disuguhkan masalah baru. Ayahku masuk ke rumah sakit kena serangan jantung, karena mendengar perselingkuhan menantu dan cucunya.

Kini datang lagi masalah baru yang harus diselesaikan. Oliv terlibat tawuran di sekolah hingga mendapat panggilan. Otakku seketika mau pecah, memikirkan masalah yang begitu berat dihadapi sendiri. Tidak ada tempat untuk bersandar ataupun mengadu. Semuanya hanya fatamorgana.

Tanpa aku sadari sudah sampai di depan sekolah negeri favorit. Aku memarkirkan mobil sejajar dengan wali kelas---Firda yang juga membawa mobilnya.

“Ayo ikut saya, Bu! Kita ke kantor kepala sekolah,” ucapnya. Aku mengikuti dengan sedikit langkah gontai.

“Kamu tunggu di mobil saja Oliv! Mama mau menemui kepala sekolah,” kataku tak bersemangat. Oliv hanya menanggapi acuh tanpa menoleh ke arahku sedikit pun. Tangannya masih mengotak-atik ponsel tanpa menghiraukan.

Lima menit kemudian, aku memasuki kantor kepala sekolah, yang terletak di sudut kelas. Kantor itu berukuran luas dan tertata rapi.

“Silahkan masuk, Bu! Bapak kepala sekolah sudah menunggu,” ujar Firda mengulas senyum.

“Terima kasih.” Balasku memasuki kantor kepala sekolah.

“Masuk!”

Aku memasuki ruang kepala sekolah dengan gemetar.

“Duduklah!” ucap kepala sekolah mempersilahkan.

“Terima kasih, Pak.”

“Anda orang tua—siswa bernama Olivia Zahra?” Tanyanya.

Aku mengangguk pelan. “Iya.”

“Dengan berat hati saya harus mengatakan kalau Oliv harus dikeluarkan dari sekolah.” Kepala sekolah berkata sembari menunjukkan daftar absen kepadaku.

“Apa? Dikeluarkan?” Tanyaku kaget.

“Iya, dikeluarkan.”

“Kenapa, Pak?” Tanyaku lagi.

“Dalam sebulan Olivia Zahra hanya masuk sekolah selama tiga kali. Dia sering bolos sekolah pada jam pelajaran. Ibu bisa melihat daftar hadirnya dalam absen bisa dihitung dengan jari.” Jelas kepala sekolah menunjukkan daftar hadir siswa kelas 2A.

Mataku membulat sempurna memperhatikan nama Olivia Zahra, yang hanya tiga kali masuk dalam satu bulan. Setiap hari aku melihat Oliv memakai seragam ke sekolah, tetapi nyatanya tidak pernah datang ke sekolah. Lalu, ke mana Oliv pergi kalau tidak ke sekolah?

Lagi-lagi aku hanya menarik napas panjang, dan mengusap dada yang terasa sesak. Napas terasa berat untuk di hembuskan. Aku terduduk lemas sambil memijat pelipis yang terasa sakit.

“Ibu, tidak papa?” Tanya kepala sekolah muda, yang masih berumur sekitar tiga puluhan. Dilihat dari penampilannya terbilang rapi. Di usia yang masih relatif muda sudah menjabat sebagai kepala sekolah. Wajahnya juga tampan dan mempunyai susunan rambut yang rapi. Berkulit putih dan bertubuh tinggi atletis.

“Tidak, Pak,” jawabku pelan. “Apa tidak ada cara lain agar anak saya tetap bersekolah di sini, Pak?”

“Maaf, Bu. Kami sudah membicarakan hal ini kepada wali kelas—Oliv dan guru didiknya. Kesalahan Olivia Zahra sudah tidak bisa ditolerir lagi.”

“Tolonglah, Pak! Pikirkan sekali lagi kebijakan sekolah. Saya mohon!” pintaku memelas.

“Dengan berat hati keputusan ini berdasarkan rating anak ibu di sekolah sudah anjlok.”

Aku kembali menunduk lesu. Aku merasa sudah gagal mendidik Oliv. Gagal karena tidak bisa menyelamatkan masa depannya meskipun Oliv bukanlah darah dagingku.

“Terima kasih sebelumnya, Pak. Karena bapak dan staf para guru sudah berusaha mendidik anak saya dengan benar,” lirihku.

Kepala sekolah mengangguk.

“Maaf, Bu! Kami sudah berusaha memberi pengajaran kepada Oliv semaksimal mungkin.”

“Saya mengerti, Pak. Permisi!” Aku bangkit dari duduk, lalu menuju keluar dengan sempoyongan. Hampir saja aku jatuh terjerembap ke lantai. Kalau saja kepala sekolah tidak segera menangkap tubuhku.

“Hati-hati, Bu!” ucap kepala sekolah membantu Nada berdiri tegak.

“Iya, Pak. Terima kasih sudah membantu saya,” ujarku dengan bibir bergetar.

“Kalau ibu sakit sebaiknya istirahat saja biar nanti satpam sekolah yang mengantar ibu pulang,” ucap kepala sekolah.

“Tidak usah, Pak. Saya bisa pulang sendiri bawa mobil kok.” Tolakku lembut.

Melanjutkan langkahnya dengan gontai menuju parkiran. Aku menghapus air mata yang sedari tadi terasa perih. Berada di kelopak mata.

***

“Apa ini, Nada?” Tanya Mas Rafi bingung menerima amplop coklat dari tanganku. Sengaja aku datang ke kantor Rafi untuk menyerahkan amplop coklat. Berisi keterangan Olivia yang dikeluarkan dari sekolah.

“Baca saja sendiri! Kamu akan mengetahui setelah membacanya.” Aku berkata dengan santai.

Mas Rafi mengeluarkan surat yang terbungkus amplop coklat, yang baru saja kuberikan.

“Apa? Oliv dikeluarkan dari sekolah?” tanyanya meyakinkan.

Aku hanya menghela napas, dan melipatkan tangan di atas dada.

“Kamu sudah baca sendirikan hasil nilai para guru di sekolah. Kalau Oliv selama ini tidak pernah datang ke sekolah karena bolos,” ujarku.

“Inikah didikan mu selama ini pada Olive, Nada?”

“Mas, aku sudah berusaha mendidik Oliv dengan baik dan benar. Seharusnya kamu yang berterima kasih karena aku sudah menjaganya selama 17 tahun.”

“Didikan apa yang kamu berikan hingga membuat Oliv menjadi anak pembangkang?” cecar Mas Rafi.

“Cukup, Mas! Aku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mendidiknya dengan benar. Jangan menyalahkanku karena selama itu kamu sudah membohongiku dengan memberiku anak pelakor.”

“Nada!” Bentak Rafi.

***

Bersambung.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel