Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7 Benci Tapi Sayang

Siang itu terik matahari panas memanggang bumi. Aku menuju ke rumah papah, untuk meminta penjelasan selama belasan tahun ini telah membohongi. Mobil kukemudikan menuju ke arah perumahan yang terletak di Mandala.

Akhirnya tujuanku pun telah sampai di rumah kediaman papah. Mobil memasuki halaman untuk di parkiran. Papah hanya tinggal bersama seorang pembantu setengah baya, yang sudah hampir dua puluh tahun bekerja di rumah ini.

Mengurus papah setelah istrinya meninggal sejak aku berumur lima belas tahun. Papah tidak pernah menikah lagi sejak mamah meninggal. Dia lebih fokus merawat anak semata wayangnya, dengan sabar dan ikhlas hingga dewasa.

“Assalamualaikum,” ucapku sebelum masuk ke dalam rumah.

“Waalaikumsalam,” jawab Bi Inah.

“Papa mana, Bi?” tanya sembari mengitari seluruh ruang tamu.

“Ada di taman belakang, Non. Lagi istirahat.”

Aku langsung menuju taman belakang setelah meletakkan tas di atas meja. Aku mencari keberadaan papah di taman belakang. Papah sudah berumur di atas 50 tahun. Masa jabatannya dalam memimpin perusahaan sudah habis.

Perusahaannya kini di pegang oleh orang kepercayaannya. Papah sudah berulang-ulang kali memintaku untuk memimpin perusahaan, tetapi aku selalu menolak. Alasannya selalu ingin mandiri, tidak ingin bergantung pada harta orang tua. Aku ingin berkarier dengan usaha sendiri tanpa harus campur tangan dari papah.

“Pa,” sapaku pelan.

Papah menoleh ke arahku, yang kini sudah berdiri tepat di hadapannya.

“Nada!” serunya tersenyum. “Kapan kamu datang?”

“Barusan.”

“Kemarilah, Nak!”

Aku mendekat kepada papah, yang masih asyik memberi makan ikan hias di dalam kolam kecil.

“Apa kabar, Pa?” Aku bertanya sambil memeluk papah.

“Papa, baik-baik saja.”

“Syukurlah kalau begitu.”

“Sudah lama kamu tidak berkunjung ke sini. Angin apa yang membawamu siang begini datang berkunjung?” Tanyanya.

Aku menggigit bibir, lalu mendesah dalam hati.

“Papa, berhutang penjelasan kepadaku.”

Kening papah berkerut, membentuk garis lengkung.

“Maksudnya?”

Sambil memperhatikan ikan-ikan kecil rebutan makanan, yang ditabur papah. Aku masih bingung harus mulai berkata dari mana.

“Perjanjian yang Papa lakukan 17 tahun yang lalu bersama Rafi. Benar Papa sudah melakukannya?” tanyaku dengan hati-hati. Aku menunggu jawaban dari papah dengan jantung yang tak beraturan.

Papa mengernyitkan keningnya. Wajah itu berubah pias. Garis kerutan di mata, kini semakin tampak jelas menandakan usianya sudah tidak lagi muda.

“Maafkan Papa, Nada! Papa tidak ingin kehilangan dirimu,” lirihnya.

Terlihat sudut mata Brahma berembun. Meskipun tidak kentara karena memakai kacamata, tetapi jelas terlihat dari nada bicaranya yang sedikit tercekat di tenggorokan.

Aku mendekati papah yang berdiri membelakangi. Seulas senyum pahit di lontarkan pada papanya.

“Kenapa, Papa lakukan semua ini padaku?” tanyaku lirih. Akhirnya cairan bening itu pun lolos begitu saja, dari mata yang hitam legam.

“Jika, saat itu kamu tahu bayimu meninggal karena suamimu berselingkuh apa kamu sanggup untuk melanjutkan hidup?” Papah balik bertanya.

Aku menggeleng lemah. “Tidak.”

“Sebagai seorang ayah yang menyaksikan buah hatinya terluka bagaimana bisa melihatnya hancur.”

“Tapi, Pa,”

Potongku cepat. Untuk ke sekian kalinya aku kecewa dengan keputusan papah.

“Papa, sudah kehilangan mamamu orang yang paling dalam hidup. Papa tidak sanggup jika harus kehilangan dirimu, Nak.” Papah meneteskan air mata yang sedari dibendung.

Aku dan papah berdua hanyut dalam tangisan duka. Aku memeluk papah dengan kasih sayang. Selama belasan tahun membesarkanku seorang diri. Dalam mengasuh dan mendidik. Papah tidak ingin senyum dan kebahagiaan anak semata wayangnya hilang. Apa pun akan dilakukan demi membuatku bahagia.

“Maafkan Nada, Pa! Nada sudah salah paham dengan maksud baik Papa.”

Aku mendongakkan kepalanya dan tersenyum manis.

“Kebahagiaanmu adalah napas hidup Papa, Nak. Jangankan hanya menandatangani perjanjian itu. Bahkan memberikan nyawa pun akan Papa berikan.” Papah terisak.

“Lalu, bagaimana dengan pinjaman Papa kepada Nuri?”

“Sudah Papa lunasi, Nak.”

“Kenapa saat itu Papa tidak pernah cerita jika perusahaan mengalami pailit.”

“Papa tidak ingin membebanimu dengan masalah hutang. Biar Papa saja yang bertanggung jawab dengan masalah keuangan.”

“Tapi … Pa.”

“Tapi kenapa, Nak?”

“Sekarang yang dilakukan Oliv sama seperti ibunya.

“Apa maksudmu sama dengan ibunya nak?” tanya papah heran.

Aku diam tanpa berani menatap mata papah. Dia hanya bisa menunduk lesu sambil menggigit bibir bawah.

“Elan dan Oliv memiliki hubungan gelap, Pa. Mereka sudah menusukku dari belakang,” ungkapku.

“Apa?” Papah langsung tertunduk lemas memegangi dadanya, yang terasa sesak akibat serangan jantung.

Aku menjadi panik begitu melihat papah kena serangan jantung.

“Pa, Papa.” Panggilku mengguncangkan tubuh papah, yang terlihat shock.

Diam bergeming.

“Pa, bangun, Pa! Jangan tinggalkan Nada sendiri di sini. Nada tidak punya siapa-siapa selain Papa,” teriakku sembari menangis mengguncang tubuh papah yang masih bergeming.

Segera aku berlari memanggil Bi Inah yang sedang beres-beres di dapur.

“Bi, Bi Inah tolong Papa! Papa pingsan kena serangan jantung.” Teriakku sembari mencari keberadaan pembantu papah.

Bi Inah yang mendengar teriakanku, segera muncul dengan tergopoh-gopoh menemuiku.

“Non Nada, ada apa teriak-teriak?” tanya Bi Inah penasaran.

“Papa, pingsan kena serangan jantung, Bi. Kita harus segera membawa ke rumah sakit. Aku takut sesuatu yang buruk akan terjadi pada papa,” jelasku.

Bi Inah juga ikutan panik mendengar ucapanku barusan. Segera dia ikut berlari melihat keadaan papah.

“Olah, tuan apa yang terjadi? Kenapa bisa begini? Duh gusti tolonglah majikNo--saya! Takut terjadi sesuatu pada tuan majikanku,” keluh Bi Inah.

“Bi, cepat telepon dokter yang biasa menangani Papa! Cepat, B!” titahku

“I … iyaa, Non.”

Bi Inah segera berlari menuju ke ruangan tamu. Untuk mencari ponselnya dan segera menghubungi dokter, yang biasa menangani papah. Sementara aku menunggu dengan panik.

“Halo, tuan dokter. Ini, Bi Inah pembantu—Tuan Brahma. Sekarang tuan lagi pingsan kena serangan jantung. Tolong segera siapkan ruang rawat dan ambulans untuk datang ke sini.” Bi Inah menelepon dengan panik dan gugup kepada dokter langganan papah.

Setelah telepon di letakkan, Bi Inah pun menuju ke belakang untuk menemuiku yang sedang panik. Saat dia hendak menuju ke belakang BibInah berpapasan dengan Zaki. Zaki adalah pemuda tampan yang dipercaya papah untuk menjalankan perusahaan miliknya.

Sudah lama Zaki bekerja kepada papah menjabat sebagai sekretarisnya. Kisah awal Zaki bermula dari papah, yang ditolong saat mendadak sakit jantung, dan berhenti di tengah jalan.

Mobil yang dikemudikan papah saat itu menabrak pohon besar di tepi jalan. Kebetulan jalan yang dilalui papah saat itu dalam keadaan sepi. Papah mengalami pingsan di tengah jalan, dalam keadaan kena serangan jantung.

Beberapa preman jalanan ingin merampas harta benda yang ada pada papah. Beruntung saat itu, Zaki melintas di jalan itu sedang memulung barang bekas. Zaki memergoki beberapa preman jalanan menjarah barang milik papah.

Segera Zaki meneriaki maling, dan memukul para preman seorang diri. Beberapa warga yang lewat melintas langsung berhenti, dan menolong Zaki melawan para preman. Saat itulah Zaki yang berprofesi seorang pemulung, dan tinggal di emperan toko di ajak ke rumah oleh papah.

Zaki, lalu disekolahkan oleh papah dan dibekali pendidikan tinggi. Hingga akhirnya Zaki lulus dengan nilai terbaik, dan menggantikan jabatan pemimpin perusahaan—papah.

“Bi Inah, ada apa buru-buru?” tanya Zaki penasaran melihat Bi Inah panik.

“Itu, den, anu,” jawab Bi Inah panik.

“Itu, anu, itu, anu. Kalau ngomong yang jelas Bi jangan gugup!” dengkus Zaki.

Bi Inah masih terlihat panik dan gemetar.

“Tuan majikan, Den.”

“Tenang, Bi! Tarik napas lalu buang perlahan dan katakan dengan pelan,” ucap Zaki memberi pengarahan.

Sesuai instruksi Zaki, Bi Inah menarik napas, lalu menghembuskan perlahan.

“Nah, bicara sekarang kalau sudah tenang!” kata Zaki mengulas senyum.

“Tuan majikan kena serangan jantung, Den. Dan sekarang lagi pingsan di belakang,” ucap Bi Inah.

“Apa?”

“Iya, Den. Tuan majikan kena serangan jantung.” Ulang Bi Inah menerangkan.

“Kalau begitu ayo segera kita bawa ke rumah sakit, Bii,” ucap Zaki antusias.

Bergegas Zaki dan Bi Inah menuju ke taman belakang. Di sini aku menangis tersedu-sedu di samping papah, yang belum sadarkan diri.

“Nona Nada!” Seru Zaki menghampiri.

“Zaki, tolong Papa! Papa kena serangan jantung.” Isakku.

“Tenang, Non! Aku akan membawa tuan ke rumah sakit,” ujar Zaki. Seraya menggendong tubuh papah menuju ke mobil untuk membawa ke rumah sakit.

“Den Zaki, bibi sudah suruh ambulans datang kesini. Gimana nanti kalau ambulans datang?” Tanya Bi Inah.

“Bilang saja Tuan sudah dibawa ke rumah sakit,” kata Zaki sedikit berteriak.

Dia membawa tubuh papah. Membuat Zaki sedikit kesulitan karena tubuh papah sedikit gemuk.

Zaki meletakkan tubuh papah di belakang dengan bersandar kepadaku.

“Non Nada, duduk di belakang menjaga Pak Brahma! Aku akan menyetir mobil,” ucap Zaki memberi perintah kepadaku.

Aku mengangguk mengikuti titah Zaki.

“Iya, cepatlah! Papa harus segera dibawa ke rumah sakit untuk mendapat perawatan.” Aku berkata dengan panik.

Zaki langsung memutar mobilnya menuju ke rumah sakit yang di maksud.

Sepanjang perjalanan kami hanya diam, dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Sesekali Zaki melirik dari arah kaca spion memperhatikan wajahku, yang masih terlihat cantik di usia yang memasuki kepala empat. Aku hanya diam membisu tanpa berani membuka percakapan.

***

Bersambung.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel