Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 9 Tespek

“Nada!” Bentak Rafi.

Mas Rafi menggebrak meja dengan sangat keras. Hingga menimbulkan suara kegaduhan di ruang kerjanya. Aku santai saja menghadapi sikap mantan suami yang sedikit arogan.

“Jangan memandangku dengan menyudutkanku, Mas! Seakan aku yang menjadi pencuri di sini,” tuturku. Suaraku terlihat bergetar mengucapkan kalimat pencuri.

Hening sejenak.

Lagi-lagi Mas Rafi hanya menarik napas dalam-dalam. Seraya memijat pelipisnya yang terasa sakit.

“Maafkan aku, Nada! Aku terlalu terbawa perasaan,” ungkapnya menyesal. Dia bangkit dari duduknya, lalu mendekat ke arahku.

“Jangan mendekat, Mas! Aku tidak ingin berdamai lagi denganmu!” sergahku. Baru satu langkah Rafi mendekat, lantas aku menghentikan langkahnya, dan mundur ke belakang.

“Plis, Nada! Jangan membuatku semakin merasa bersalah.”

“Cukup, Mas! Sudah cukup kamu menyakiti perasaanku selama ini. Sekarang tidak lagi,” ucapku tegas.

“Belum puaskah dirimu mempermainkan hidupku ini? Kamu dan Nuri sudah membuatku gila. Kamu berikan aku anak hasil perselingkuhan hingga aku mengasuhnya seperti darah dagingku sendiri. Tapi apa balasanmu padaku sekarang ha? Penghinaan yang menyakitkan. Sekarang kamu datang untuk membuka luka lama yang sudah aku kubur dalam-dalam. Dimana hati nuranimu, Mas? Dimana?”

Rafi terdiam bergeming. Dia mengusap wajahnya dengan kasar.

“Maaf, Nada!” Hanya sepatah kata itu yang mampu Rafi ucapkan. Seraya berkata tanpa menoleh ke arahku. Wajahnya tertunduk lesu tak bergairah.

“Maaf saja tidak cukup, Mas,” tukasku.

Aku pergi meninggalkan ruangan kerja Mas Rafi dengan tergesa-gesa. Dia masih bergeming di tempat duduknya. Hanya mata yang sedikit sayu melepas kepergianku hingga menjadi titik putih, lalu menghilang di balik tikungan gedung.

***

Pagi ini aku bangun lebih cepat untuk membuatkan sarapan. Aku bermaksud menjenguk papah, yang sedang dalam perawatan dokter di rumah sakit. Sengaja aku bangun lebih awal agar tidak bertatap muka dengan Mas Elan.

Sebisa mungkin aku menghindari pertemuan dengan Elan. Aku tidak mau ada kontak fisik ataupun berhubungan dengan Elan. Rasa cinta kini begitu hambar kurasakan. Rumah tangga bagaikan sebuah bom, yang menunggu waktu sampai meledak bila sudah saatnya. Saat aku menyediakan sarapan di meja makan berpapasan dengan Oliv. Oliv terlihat minder kala berpapasan denganku.

Oliv berlari menuju ke kamar mandi yang ada di dapur. Wajahnya terlihat pias ,dan memuntahkan cairan kuning dalam perutnya. Aku mendekati Oliv dengan membawakan minyak kayu putih, dan memijit tengkuk leher Oliv.

“Kamu sakit?” tanyaku. Sera aku mengolesi minyak kayu putih ke tengkuk leher Oliv.

Oliv menggeleng pelan. “Tidak.”

“Wajahmu pucat, Olive.”

“Mungkin masuk angin, Ma,” tukasnya.

“Sebaiknya kamu sarapan dulu, lalu beristirahatlah di kamar!” titahku. Aku pun memapah Oliv menuju kamarnya.

Di dalam kamar aku membantu Oliv merebahkan badannya. Aku memberikan bantal, untuk menyandarkan kepala Oliv yang sedikit pusing. Namun, alangkah terkejutnya aku. Ketika tangan dengan tidak sengaja menggeser bantal. Ada benda kecil bergaris merah terjatuh ke lantai.

“Tespek?” gumamku.

Mata ini langsung memandang ke arah Oliv saat itu. Oliv memalingkan wajahnya menghindari tatapanku.

Aku masih memperhatikan tespek yang baru saja ditemukan. Benda pipih berbentuk panjang tersebut, membuatku semakin berkecamuk dalam pikiran.

“Katakan dengan jujur, Oliv! Apa tespek ini milikmu?” tanyaku gusar.

Oliv menunduk tidak berani memandang wajahku. Diam adalah cara terbaik baginya untuk menutupi kesalahan, yang dilakukan selama ini.

“Jawab, Oliv! Tespek siapa ini?” suaraku sedikit melengking tinggi.

“Pu … punyaku, Ma,” jawab Oliv gugup dan gemetar. Sedikit Oliv tidak berani menatap wajahku.

“Kamu hamil?” tanyaku lagi.

Oliv mengangguk, tertunduk menyembunyikan wajahnya diantara kedua lutut.

“Siapa, Oliv? Katakan siapa ayahnya?” suaraku terdengar agak tinggi.

Oliv membuang tatapan ke arah lain. Sementara aku menunggu meminta jawaban. Pandangannya tetap menunduk berpaling agar tidak diketahui olehku. Bahwa dia sekarang sedang berbohong. Menutupi keburukan yang selama ini disembunyikan, dan menyimpan rahasianya rapat-rapat.

“Jangan memaksaku untuk mengatakan yang tidak ingin aku katakan, Ma,” ketus Oliv.

“Apa, Elan yang sudah menghamilimu ha?”

“Sudah aku katakan aku tidak ingin dipaksa untuk mengatakan sesuatu yang tidak ingin kukatakan.”

Plak!

Aku menampar Oliv dengan keras sehingga menimbulkan noda merah di pipi Oliv.

“Anak durhaka.”

“Tampar, Ma! Tampar, Oliv sebanyak yang Mama mau!” Oliv berteriak sambil menghapus air matanya.

“Katakan siapa ayah dari bayi itu, Oliv?”

Aku terus saja mendesak. Masih dalam keadaan terdiam, sedikit pun Oliv bergeming. Pandangannya menatap nanar pada tembok kamar bercat warna pink. Menutup telinganya rapat-rapat, hanya itu yang bisa dilakukan mendengar cecaran yang aku lontarkan.

Dia menangis terisak.

“Jangan paksa, Oliv untuk mengatakannya, Ma!” suara Oliv terdengar serak.

“Aku sudah mendidikmu dengan kasih sayang dan ajaran sesuai agama. Tapi apa yang sudah kamu lakukan sekarang ha?”

“Salahkan saja Oliv terus, Ma! Salahkan! Dimana Mama saat aku membutuhkan tempat untuk bersandar. Mama, hanya sibuk mengurus bisnis dan bisnis.”

“Kau!”

Aku mengangkat tangan ingin melayangkan kepada Oliv kembali, tetapi segera kuurungkan.

Mengelus dada dan mengucapkan istigfar hanya itu yang bisa kulakukan. Entah apalagi yang harus aku jelaskan pada Oliv agar dia mau mengerti.

“Mama, akan telepon papamu agar mau jemputmu,” ucapku kemudian.

“Apa maksud Mama menelepon Papa? Bukannya selama ini Mama mengatakan kalau Papa sudah meninggal?” tanya Oliv penasaran.

Aku menarik napas dalam. Memijat pelipis yang terasa sakit.

“Papamu masih hidup dan dia ada di kota ini.”

“Dimana papaku, Ma?” tanya Oliv lagi.

Aku langsung memegang tangan Oliv. Ragu untuk mengatakan padanya bahwa sebenarnya aku bukanlah ibu—kandungnya. Aku membingkai wajah Oliv dan menatap wajahnya.

“Sebenarnya, Mama bukanlah Mama kandungmu Oliv.” Bibirku gemetar mengucapkan kalimat tersebut.

“Apa?” wajah Oliv berubah menjadi pias. “Kalau aku bukan anak kandung—Mama lalu anak siapa aku, Ma?”

“Rafi dan Nuri.”

“Rafi dan Nuri? Siapa mereka?” tanya Oliv penasaran.

“Rafi adalah suami—Mama yang pertama. Pernikahan kami berjalan selama tiga tahun saat Mama hamil, papamu berselingkuh dengan Nuri hingga melahirkanmu ke dunia. Mereka menikah di Singapura. Dan mamamu adalah wanita Singapura. Dia tinggal di sana dan mempunyai bisnis yang sangat besar. Saat Mama mengetahui perselingkuhan mereka Mama shock dan tidak terima,” jelasku secara gamblang.

“Lalu dimana anak Mama jika waktu itu Mama mengandung?”

“Meninggal,” jawabku singkat.

“Meninggal?”

“Iya, bayi itu meninggal dalam kandungan karena Mama mengalami kecelakaan pada saat mengemudikan mobil waktu pulang. Rahim Mama pun terpaksa harus diangkat karena rusak.” Aku menjelaskan dengan mata berkaca-kaca. Mengingat kejadian belasan tahun yang lalu.

Oliv menggigit bibirnya. Tak terasa air mata mengalir di pipinya.

***

“Bagaimana keadaan Papa, Zaki?” tanyaku kepada Zaki yang menunggu di ruang inap.

Zaki masih menunggui bosnya yang masih terbaring lemah, menggunakan selang oksigen. Sudah dua hari papah belum sadarkan diri akibat serangan jantung.

Zaki mendesah dan menggeleng lemah.

“Masih sama belum sadarkan diri sejak kemarin.”

Aku lalu menghampiri papah yang masih terbaring lemah di atas ranjang periksa.

“Pa, bangun, Pa! Maafkan, Nada sudah membuat Papa sakit!” Bisikku lemah.

Mengelus dan mengusap tangan papah yang sudah terlihat keriput. Aku berharap papah segera sadar saat mendengar suaraku.

Tentu saja, sekarang hal yang sangat terpenting bagiku adalah papah. Tapi papah tidak kunjung sadarkan diri. Zaki menoleh dengan muka kasihan melihatku, yang terduduk sedih di samping papah.

“Sudah, Non, jangan menangis,” ucapnya pelan.

“Aku takut Papa tidak akan pernah sadar kembali Zaki,” gumamku sambil menahan napas.

“Kita doakan saja agar tuan segera sadar,” balas Zaki. “Berdoa dan berusaha adalah cara yang bisa kita lakukan saat ini.”

“Kamu benar, Zaki. Papa hanya butuh doa dan semangat agar dia bisa sadar kembali.”

Hening.

Aku dan Zaki tenggelam dalam pikiran masing-masing. Zaki hanya memperhatikan wajah tuannya dengan iba. Sungguh terlalu banyak beban yang dihadapi tuannya di saat aku sedang jatuh terpuruk.

Bagaimana Zaki menyaksikan ketegaranku di saat sedang tertimpa musibah. Membuat Zaki ingin selalu berada di dekatku, untuk selalu menghibur dan memberi semangat.

Perlahan papah menggerakkan tangannya dengan gerakkan kecil. Matanya terlihat mengerjap dan membuka secara pelan-pelan. Papah sadar dari pingsannya setelah dua hari terbaring di rumah sakit.

“Nada,” panggilnya lirih.

Sontak Zaki dan aku terkejut mendengar suara papah yang terdengar merintih.

“Papa!” seruku girang. Langsung saja aku membuka selang oksigen yang menutup mulut papah. “Papa, sudah sadar?”

Papah mengangguk lemah.

“Papa ada dimana sekarang?” tanyanya kemudian, sembari mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

“Di rumah sakit, Pa,” jawabku menggenggam tangan papah

“Oh.”

Hanya kata oh yang diucapkan papah Selanjutnya dia memejamkan matanya kembali. Zaki dan aku saling berpandangan.

“Pak Brahma!” seru Zaki panik. Dia sedikit mengguncang tubuh tuannya agar merespon.

Papah masih bergeming. Napasnya terdengar tak beraturan.

“Ada apa, Zaki? Aku tidak papa, hanya butuh istirahat saja,” bisiknya pelan.

“Papa, membuatku takut. Hampir saja aku shock melihat Papa tidak bergerak tadi,” ucapku menimpali.

Papah menarik napas.

“Zaki, aku ingin berpesan padamu sebelum Tuhan mengambil nyawaku,” ucapnya sedikit sesak.

Aku dan Zaki saling pandang mendengar kalimat papah.

“Maksud, Tuan?” tanya Zaki bingung.

“Apa maksud, Papa?” tanyaku shock.

Hening tidak ada jawaban, ataupun kalimat yang mampu diucapkan. Hanya suara riuh terdengar di luar rumah sakit.

***

Bersambung.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel