Bab 6 Kenyataan Pahit
“Oliv adalah anak---Nuri. Dari hasil pernikahanku dengan wanita Singapura,” jelasnya.
Deg.
Jantungku seakan berhenti berdetak. Mendengar kalimat yang baru saja Mas Rapi ucapkan.
“Maksudnya?”
Mas Rafi menggenggam tanganku dengan erat yang terlihat gemetar. Seluruh tubuhku gemetar tidak tenang.
“Dulu, waktu kamu mengetahui aku bersama wanita yang bernama Vivian di dalam kantor berdua dengannya itu adalah adik—kandung—Nuri. Kamu masih ingatkan kejadian 17 tahun yang lalu?” Tanya Mas Rafi pelan.
Air mataku turun membasahi pipi yang mulus ini. Tatapan Rafi kini berubah sendu kepadaku, yang duduk bersandar tanpa daya.
Aku mengangguk pelan. “Iya.”
“Saat itu, Vivian mengabarkan kalau Nuri sudah melahirkan.”
“Lalu?”
“Lalu, kamu datang dan mengetahui aku berdua dengannya. Kamu lari dan salah paham. Aku berusaha untuk menjelaskan. Tapi … kamu tidak mau menerima penjelasanku. Saat itu, kamu sedang mengandung delapan bulan. Kamu membawa mobil dengan kecepatan tinggi hingga mengalami kecelakaan yang fatal. Aku membawamu ke rumah sakit dan dokter mengatakan harus segera mengambil bayi dalam kandunganmu secara sesar demi menyelamatkan nyawamu. Dan aku pun menyetujuinya.” Mas Rafi menjelaskan secara detail awal mula kejadian 17 tahun silam.
“Lalu apa yang terjadi?” tanyaku penasaran.
“Bayi itu meninggal dalam kandungan dan rahimmu pun rusak. Untuk menyelamatkan nyawamu aku terpaksa menandatangani persetujuan untuk pengangkatan rahim. Seumur hidup kamu tidak akan pernah mempunyai anak.”
“Apa? Jadi aku?”
“Iya, Nada. Karena peristiwa kecelakaan itu, kamu tidak bisa mempunyai anak sampai kapan pun. Dan bayi dalam kandunganmu juga meninggal. Orang tuamu yang mengetahui itu, memintaku untuk menyimpan rahasia ini rapat-rapat agar kamu tidak mengalami depresi. Untuk membuat semangatmu hidup kembali dan bahagia aku terpaksa menukar bayi Nuri dengan bayimu yang sudah meninggal.” Kembali Mas Rafi menjelaskan dengan gamblang.
“Apa Nuri mengetahui kalau anaknya kamu tukar?” tanyaku lagi.
“Tau.”
Jedar. Sekali lagi aku tersentak mendengar ucapan Mas Rafi. Tidak percaya dengan apa yang barusan dia ucapkan. Bagaimana bisa dia membohongiku selama tujuh belas tahun.
“Kenapa kamu membohongiku, Mas? Kenapa?” tanyaku secara bertubi-tubi.
“Maafkan aku, Nada! Saat kamu belum sadar dari komamu selama tiga hari aku pulang ke Singapura untuk menjemput bayi---Nuri. Dan Nuri mengizinkan aku untuk membawanya dan memberikannya padamu dengan satu syarat ….” Mas Rafi menjeda ucapannya.
“Syarat apa, Mas?”
Rafi menghela napas panjang, sebelum menjawab pertanyaanku.
“Kita harus bercerai.”
“Jadi, karena itu kamu menceraikanku ha?”
“Ya, karena aku tidak bisa melihatmu menderita karena kehilangan bayimu,” ujar Rafi.
“Cih, pandai sekali kalian membohongi selama 17 tahun. Kamu jahat, Mas. Kamu memberikan bayi hasil hubungan gelapmu dengan wanita lain selama itu. Tidakkah kamu tahu hatiku sakit? Sakit, Mas. Sakit …. “ Aku memukul dada Mas Rafi dengan brutal dan berlinang air mata.
“Ini adalah kemauan orang tuamu, Nada. Aku terpaksa harus melakukannya,” kilah Rafi.
“Papa, tahu kalau kamu menikah lagi?”
Mas Rafi mengangguk pelan.
“Iya, papamu tahu.”
“Jadi hanya aku di sini yang tidak tahu persekongkolan kalian?”
Lagi-lagi Mas Rafi hanya mengangguk. Tanpa berani menatap mataku yang basah.
“Aku yang meminta papamu untuk menutupi rahasia ini agar kamu tidak mengetahui.”
“Apa alasannya Mas melarang Papa ha?”
“Perusahaan yang papamu pimpin di ambang kehancuran. Saat itu papamu memerlukan dana yang sangat besar, Nuri memberikan sejumlah uang pinjaman yang sangat besar tapi dengan syarat papamu menyetujui pernikahanku dengannya.”
“Dan Papa setuju dengan syarat Nuri?”
“Iya,” jawab Rafi datar.
“Astagfirullahaladzim “ Aku mengelus dada yang terasa sesak. “Ternyata Papa juga mengkhianatiku.”
Rafi diam tak melanjutkan kalimatnya. Hanya deru napas yang kini terdengar semakin kencang. Dia menyesal karena sudah membohongiku selama ini.
“Nada,” lirihnya.
Aku menepis tangan Rafi dengan kasar. Hati ini kini hancur, sehancur-hancurnya. Berkali-kali dikhianati oleh orang yang sangat dekat dengan. Perih tiada terkira. Aku kemudian bangkit dari tempat duduk, lalu meninggalkan Mas Rafi yang masih bergeming.
Menu makan siang yang sedari tadi terpapar di atas meja menjadi hambar. Sedikit pun aku tidak menyentuhnya apalagi sampai memakan nya. Rasa lapar tidak lagi ku rasakan.
Berjalan dengan gontai hingga membuatku hampir terjatuh. Setiap kali aku akan terjatuh mencoba untuk berpegangan pada tembok, atau pun yang ada di dekatku. Tangan mencoba menggapai, namun berkali-kali aku harus mengalami kenyataan pahit dikhianati lagi dan lagi.
“Nada!”
Panggil Mas Rafi yang mencoba menahan bobot tubuh ini. Hampir saja jatuh terjerembap ke lantai.
“Jangan sentuh aku, Mas! Aku bisa sendiri tanpa bantuanmu,” lirihku.
Kembali melanjutkan langkah, meninggalkan restoran tersebut dengan langkah tertatih-tatih.
Mas Rafi merasa sedih harus menyaksikan aku mengalami kehancuran begitu dalam. Ingin sekali Rafi berlari merangkulku, dan memberikan bahunya untuk bersandar. Namun, semua itu tidak mungkin dilakukan.
Aku bukanlah tipe wanita yang mudah di kasihani. Prinsip selalu dipegang teguh, sekali tidak maka selamanya aku akan mengatakan tidak.
“Plis, Nada! Biarkan aku mengantarmu sampai ke kantor. Aku mengkhawatirkan kondisimu,” ucap Rafi.
“Rasa sakit ini tidak ada harganya, Mas. Dibandingkan pengkhianatan kalian yang menyakitkan,” celetukku.
“Aku tahu perasaanmu sakit dan hancur.”
“Jika kamu tahu hatiku sakit kenapa selama ini kamu menipuku, Mas? Kenapa?” Aku menjerit histeris.
“Ini tempat umum, Nada. Tidak baik membuka aib. Nanti semua orang akan tahu.”
“Biarkan saja semua orang tahu. Kalian memang pengkhianat. Aku benci.”
Aku berlari sekencang-kencangnya meninggalkan Mas Rafi, yang masih tertegun.
Rafi menyugar rambutnya dengan kasar.
“Argh.” Teriak Mas Rafi.
Rafi kemudian meninggalkan uang di atas meja, dengan lembaran uang kertas berwarna merah untuk membayar makanan yang di pesan tadi. Tapi makanan itu sedikit pun tidak tersentuh. Nafsu makannya kini hilang.
Maksud kedatangannya kembali ke Indo ingin mengatakan kepadaku yang sebenarnya. Tentang rahasia yang selama ini disimpan rapat-rapat. Bertahun-tahun lamanya Rafi menyimpan rahasia anaknya yang aku asuh dengan rapat.
Nuri memintanya untuk kembali ke Indonesia. Mengambil hak asuh yang selama ini telah kurawat. Selama tujuh belas tahun aku mengasuh anak dari madunya, yang sudah menjadi duri dalam rumah tangga. Ibunya—Oliv telah merebut suamiku. Dan kenyataan lain juga dialami olehku, dengan nasib yang miris.
Setelah aku membina rumah tangga kembali, harus mengalami nasib yang sama. Suami kini direbut oleh Oliv—anak yang selama ini aku asuh., dan mengajari dengan kasih sayang. Ternyata, kenyataan manisnya cinta tidak seindah yang kualami.
Berkali-kali aku dikhianati oleh orang terdekat. Mungkin bercerai bagi tidak akan merasakan sakit. Daripada harus mengalami nasib membesarkan anak, yang ternyata ibunya seorang pelakor.
“Agkah ....” Aku berteriak sekencang-kencang ketika berada di atas gedung perkantoran, yang paling atas. “Kalian semua pengkhianat, penipu.”
Berkali-kali aku mengulang kalimat yang sama berteriak. Tanpa memedulikan ada sepasang mata, yang sedari tadi memperhatikannya dengan tajam.
“Berteriaklah sekencang-kencangnya biar hatimu lega,” ucap Lee yang tiba-tiba sudah muncul di belakangku. Tangan Lee dimasukkan ke dalam saku celana.
“Bos!” seruku. “Sedang apa bos ada di sini?”
“Mendengarkanmu yang lagi berteriak kencang,” jawabnya polos.
“Apa? Sejak kapan bos ada di sini?” tanyaku kembali.
“Sejak tadi.”
“Apa?” Mataku membulat seperti akan mengeluarkan isinya dari dalam.
“Kenapa kaget?” Ganti Lee yang bertanya.
Wajahku berubah bersemu merah merona menahan malu.
“Bos, tahu dong apa yang aku katakan tadi,” ucapku.
“Tahu.”
“Apa?”
“Kenapa kaget?” Tanya Lee heran.
“Ti … tidak. Gapapa, kok,” jawabku gugup dengan bibir gemetar.
Lee menyodorkan sapu tangan yang selalu dibawa dalam saku celananya. Memberikan kepadaku yang masih menangis.
“Hapus air matamu!” titahnya.
“Tidak mau,” bantahku.
“Jangan menangisi masa lalu yang sudah lewat,” katanya dengan kalimat penuh penekanan.
Aku menoleh ke arah Lee secara spontan.
“Dengan menangis, kesedihan di hatiku bisa berkurang,” pungkasku.
Lee menghela napas pelan.
“Tidak semua pengkhianatan harus dibayar dengan kesedihan.”
“Maksudmu?” keningku berkerut.
“Tunjukkan padanya kalau kamu kuat. Tidak lemah!” Hardiknya.
“Siapa juga yang lemah,” kilahku.
“Kamu.”
“Aku?”
“Iya, kamu,” jawab Lee. Dia meninggalkanku yang masih terdiam di tempat.
“Bos, dari mana tahu kalau aku lagi ada masalah,” cecarku.
“Wajahmu,” jawab Lee tanpa ekspresi.
“Wajah?” Tanyaku meyakinkan. “Ada apa dengan wajahku, bos?”
Lee hanya tersenyum miring meninggalkanku, yang masih dalam kebingungan.
“Pikirkan sendiri! Ini menjadi PR untukmu.”
“Tunggu, bos! Apa maksud ucapanmu barusan?”
Lee terus saja melangkah tanpa memedulikan teriakanku di belakangnya, yang memanggil dengan rasa penasaran.
“Datanglah padaku, Nada! Jika kamu sudah tahu jawabannya.” Lee berkata sambil terus melangkah menuruni anak tangga, yang menghubungkan ke ruangannya.
“Bos!” Seruku.
Hening. Tidak ada lagi seorang insan pun yang menegur. Aku masih terdiam di tempat semula.
Ting.
Satu pesan notif masuk dari ponselku.
[Bagaimana dengan keadaanmu Nada?] tanya Rafi menyertai emot sedih.
Aku hanya read saja, tanpa membalas Mas Rafi. Bahkan aku memblokir nomornya. Tidak ingin lagi berhubungan dengan Mas Rapi dalam hal apa pun.
Suasana di atas balkon kembali senyap. Saat itulah aku berpikir untuk menemui papah di rumah. Aku ingin bertanya pada papah. Alasan apa sehingga membuat papah menggadaikan harga dirinya demi uang.
Langsung saja aku menuruni tangga yang menuju ke ruang kerja. Bermaksud ingin mengambil kunci mobil, dan menuju rumah kediaman papah.
***
Bersambung.
