Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5 Rahasia 17 Tahun Terungkap

“Nada, buka pintunya! Kita belum selesai bicara.” Mas Elan berteriak mengetuk-ngetuk pintu kamar.

Di dalam kamar aku hanya diam membisu tanpa ingin membalas Mas Elan, yang masih ingin tahu tentang Mas Rafi. Dia barusan saja mengantar pulang. Namun, Elan meradang dan ingin tahu siapa Mas Rapi.

“Sudahlah, Mas! Aku tidak ingin berdebat lagi denganmu. Pergilah! Besok akan kita bahas lanjut.” Teriakku dari arah dalam kamar.

Mas Elan terlihat kesal mendengar jawabanku, yang mampu membakar cemburu. Setelah beberapa saat membisu, akhirnya Elan beringsut menuju ke kamar. Sebelum Mas Elan beranjak pergi, pikiran jadi tidak menentu.

Mas Elan hampir saja tidak kuat menahan perasaannya, untuk tidak terpancing emosi. Dia tidak tahu pasti, sampai kapan hubungan yang mengikis jarak ini akan membuat bertahan.

Memilih bertahan bersamaku, atau pergi meninggalkan rumah ini yang sudah di ambang kehancuran. Dengan langkah gontai memasuki kamar, lalu berbaring di atas tempat tidur dan memejamkan mata.

Kring.

Suara jam weker telah membuat Mas Elan terbangun dari tidur semalam yang tidak terlalu nyenyak. Pukul tujuh pagi dia membuka mata, lalu bergegas kekamar mandi untuk membersihkan tubuh biar sedikit segar.

Setelah membersihkan diri dan berpakaian rapi, dia menuju ke meja makan. Hanya ada sarapan nasi goreng, dan telur dadar yang sudah kupersiapkan untuk sarapan. Dia lalu membuka tudung saji yang menutupi makanan.

“Aku sudah memesan makan siang dileveri untuk siang nanti. Mas, bisa makan bersama Oliv setelah pulang sekolah,” ujarku.

Tanpa banyak basa-basi aku langsung saja merapikan rambut, yang basah sehabis berkeramas. Mas Elan menatap tanpa berkedip.

“Aku merindukan harum tubuhmu seperti ini Nada,” bisik Mas Elan pelan di telingaku, sembari memeluk dari belakang.

Aku melepaskan rangkulan tangan Mas Elan yang memeluk dari belakang. Rasa cinta ini sudah lama mati sejak dia mengkhianati.

“Jemputan sudah tiba. Aku segera berangkat ke kantor,” kilahku.

Cepat-cepat Mas Elan menoleh ke arah luar. Dari balik tirai, dia melihat Mas Rapi. Semalam yang mengantarkan aku pulang ke rumah. Mas Elan diam-diam jadi gelisah. Pikirannya kini berkecamuk. Dia melihat Mas Rapi bersetelan jas rapi yang senada dengan dasinya. Telah berdiri di depan pintu menekan bel.

“Dia pria semalam yang mengantarmu pulang?” Buru-buru Elan bertanya.

“Iya,” jawabku singkat.

“Kamu belum menjawab pertanyaanku semalam tentang pria itu,” ucap Elan menunjuk pada Rafi yang masih berdiri di ambang pintu.

“Teman.”

“Teman atau teman?” tanya Mas Elan menyindir.

Aku mendesah panjang, lalu hanya menggelengkan kepala dan berlalu dari hadapan Mas Elan.

“Nada!” serunya. “Kita belum selesai bicara. Kamu belum menjelaskan siapa pria itu.”

Tangan Mas Elan mencekal pergelangan tanganku, dan menghadangnya untuk tidak keluar dari rumah.

Sebelum menjawab pertanyaan Mas Elan, aku membenahi barang bawaan dan menghempaskan tangan yang mencekal dengan erat.

“Sudah kukatakan dia adalah teman. Apa masih kurang jelas?” Aku memperlambat gerakan.

Aku membuka pintu rumah yang sudah ada Mas Rafi menunggu di depan dengan santai. Tentu saja aku dibuat kesal oleh Mas Elan yang kini bertindak sangat ketat. Dengan membatasi siapa yang boleh datang bertamu ke rumah.

“Kamu masih sah menjadi istriku sampai detik ini. Jadi wajar kan bila aku ingin tahu siapa yang datang menemui istriku,” tukasnya. Nada suaranya agak sedikit meninggi.

“Oh, begitu rupanya,” cibirku kesal.

“Tidak akan kuizinkan lelaki mana pun untuk mendekatimu. Karena dirimu masih terikat pernikahan denganku,” terang Elan dengan gamblang.

“Pernikahan mana yang kamu maksud, Mas? Tanggung jawab mana yang sudah kamu jalani. Tindakkan mana yang menurutmu salah ha? Pagi, siang, malam aku menutupi semua kebutuhan rumah tangga kita. Tapi … apa balasan yang ku dapatkan darimu ha? Kamu bahkan dengan tega mengkhianatiku dan menusuk dari belakang dengan berselingkuh.” Aku mencecar Mas Elan bertubi-tubi. Meluapkan amarah yang sedari tadi sudah memuncak di atas ubun-ubun.

Hening sesaat. Mas Elan hanya terdiam tanpa melanjutkan kalimatnya.

Aku langsung mengatur emosi sebelum menemui Mas Rafi, yang sudah sedari tadi menunggu di depan rumah.

“Maaf, Mas. Harus lama menunggu di luar,” ucapku.

“No problem,” kata Rafi santai.

“Ayo kita segera berangkat sebelum jalanan macet!” tukasku. Aku lalu merapikan rambut, yang terurai sebahu dengan jari yang lentik.

Ada pita kecil yang tersemat di atas rambut ini yang hitam legam.

“Ayo!” Mas Rafi hanya mengangguk pelan beringsut dari duduknya.

Mobil yang dikemudikan Mas Rafi kini sudah meninggalkan halaman rumah. Membelah jalanan hingga terlihat bayangan yang mengecil.

Sesampainya di gedung pertunjukkan show kemarin mobil berhenti. Mas Rafi turun membukakan pintu untukku. Dia tersenyum manis ketika mempersilahkan turun.

“Turunlah! Kita sudah sampai,” ucap Rafi.

“Terima kasih.”

“Nanti siang aku tunggu kamu di restoran di sebelah kantor untuk makan siang.”

“Aku tidak janji, Mas. Bisa keluar saat makan siang. Jadwalku terlalu padat. Bahkah sekedar makan saja tidak sempat.”

“Pikirkan kesehatanmu jangan terlalu fokus untuk bekerja.”

Aku hanya mengangguk pelan, lalu masuk ke dalam mobil. Kami berpisah di tempat itu, dan menuju ke kembali ke tujuan masing-masing.

Mobil yang ku kemudikan, kini menuju ke kantor perusahaan garmen tempat biasa bekerja. Perusahaan yang dipimpin oleh seorang CEO tampan, muda berasal dari Korea. Dengan santai aku menuju ke ruangannya. Saat berjalan menuju ke ruangan, aku berpapasan dengan sang CEO tampan.

“Pagi, bos!” sapaku ramah.

“Pagi,” jawab Ceo bernama Lee. “Nada, segera ke ruangan saya! Ada hal penting yang ingin saya bicarakan.”

Aku hanya mengangguk.

“Iya.”

Berlalu menuju ke ruangannya, lalu menjatuhkan bobot tubuh ini di atas kursi kebesarannya. Tak lama kemudian aku bangkit lagi menuju ke ruangan bos, memenuhi panggilannya.

Ku ketuk pintu perlahan.

“Masuk!”

Suara khas ala Korea terdengar merdu mempersilahkan aku masuk.

“Ada hal apa yang ingin bos bicarakan pada saya?” tanyaku.

“Duduklah! Sebelum kita bicara lebih lanjut lagi,” tukasnya.

Tanpa menoleh ke arahku, Lee masih menatap layar laptop yang kini berada di hadapannya.

Lee mengeluarkan sebuah amplop coklat setebal satu inci, lalu memberikannya kepadaku.

“Ini, bonusmu bulan ini. Kamu sudah bekerja keras untuk menghasilkan karya terbaik sepanjang kita bekerja sama,” ucap Lee menyerahkan amplop coklat tersebut.

“Terima kasih, bos. Senang bekerja sama denganmu,” balasku malu-malu.

Wajahku sudah bersemu merah mendengar pujian sang bos tampan. Seorang pria keturunan campuran dari Korea. Ibu berdarah Indo sedangkan sang ayah berasal dari Korea. Lee memiliki wajah yang tampan mewarisi garis keturunan ayahnya, yang juga sangat tampan dan berkulit putih berhidung mancung.

“Kamu pantas menerima bonus itu karena kariermu yang semakin meroket,” pujinya.

“Biasa saja, bos. Jangan terlalu memujiku.”

“Penghargaan saja tidak cukup untuk diberikan karena prestasimu.”

“Bos terlalu berlebihan.”

“Malam ini segenap karyawan semua akan merayakan keberhasilanmu di kafe yang ada di seberang jalan kantor. Datanglah! Kami semua menunggumu di sana pukul delapan malam.”

“Apa? Merayakan?” tanyaku meyakinkan pendengaran.

“Iya. Pesta ini sudah kusiapkan untuk merayakan keberhasilanmu,” jawab Lee.

“Tidak usah bos! Semua terlalu berlebihan,” sergahku.

“Saya tidak mau tahu dengan alasan apa pun kamu harus datang,” ucap Lee sedikit memaksa.

Aku mengerutkan dahi.

“Baiklah kalau begitu,” jawabku pasrah.

Aku pun beringsut dari duduknya, lalu meninggalkan ruangan sang CEO.

“Permisi, bos!” ucapku berpamitan.

“Silahkan!”

Aku berbalik meninggalkan ruangan itu.

***

Waktu jam dua belas siang lewat sepuluh menit. Aku mendapatkan pesan dari Mas Rafi, yang sudah menunggu di restauran dekat kantor.

[Datanglah aku sudah menunggumu di sini] pesan Rafi.

[Aku masih banyak pekerjaan tidak bisa keluar] balasku.

[Kalau begitu aku saja yang akan datang ke kantormu] balas Rafi menggunakan tanda tersenyum.

[Jangan!] balasku.

[Tidak ada pilihan bagimu. Datang kesini atau aku yang akan datang ke sana] pesan Rafi.

[Ok aku datang] Aku mengirim pesan.

[Terima kasih] balas Rafi memakai emot hati. Aku tidak membalas pesan tersebut dan hanya reda saja.

Aku turun dari lantai atas menggunakan lift menuju restoran, yang sudah dipesan oleh Mas Rafi.

Sepuluh menit kemudian, aku sudah menemui Rafi. Dia sudah duduk memesan meja dekat jendela menghadap arah jalan. Lalu-lalang kendaraan terlihat sangat kecil dari atas. Dari kejauhan aku datang menghampiri.

“Sudah lama, Mas?” tanyaku.

Mas Rapi menggeser kursi, lalu mempersilahkan untuk duduk.

“Sudah tiga puluh menit aku menunggumu disini. Bahkan minumanku pun sudah hampir habis.” Tunjuk Mas Rafi pada gelas berisi orange jus.

Aku mengernyitkan dahi. Menatap jus yang sudah hampir habis.

“Maaf, aku lagi banyak pekerjaan,” balasku datar. Tangan dikatupkan ke atas meminta maaf pada Mas Rafi yang sedikit kesal.

“Apa sih yang enggak buat kamu,” candanya garing. Rafi tersenyum manis memperlihatkan barisan giginya yang putih.

“Kamu sudah memesan makanan, Mas?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.

“Belum.”

“Mau pesan apa?” tanyaku lembut.

“Terserah kamu aja.”

Aku langsung memanggil pelayan restoran dengan melambaikan tangan. Sang pelayan pun datang menghampiri dengan segera.

“Mau pesan apa nyonya?” tanya pelayan ramah.

“Ini,” tunjuk ku pada salah satu menu yang ada dalam buku daftar.

Pelayan mencatat menu yang ku pesan.

“Tuan?” pelayan bertanya pada Mas Rafi.

“Samakan saja,” jawab Rafi mengulas senyum.

Setelah mencatat pesanan, pelayan pun bergegas pergi ke arah dapur.

Aku lantas membuka obrolan kembali dengan Mas Rafi. Rasa penasaran semakin menjadi kuat. Saat Mas Rafi mengatakan ada sebuah rahasia yang akan disampaikan.

“Kemarin, Mas Rafi ingin mengatakan hal penting. Apa yang akan Mas sampaikan?” tanyaku penasaran.

Rafi mendesah resah. Keningnya mengerut, dia mengatur napas sebelum memulai dari mana. Dia harus menjelaskan pada satu rahasia yang sudah simpan rapat-rapat selama 17 tahun.

“Bagaimana kabar Olivia sekarang?” tanya Rafi.

“Baik, Mas.”

Rafi menghela napas panjang.

“Nada, ada satu rahasia yang sangat besar ingin ku sampaikan padamu selama ini,” ucapnya lirih.

“Rahasia apa, Mas?” tanyaku bingung.

“Sebenarnya Olivia bukanlah anak kandungmu,” ucap Rafi pelan terdengar serak.

Jedar. Bagai disambar petir di siang hari, aku berhenti bernapas mendengar pengakuan mantan suamiku.

“Apa?”

“Maafkan aku, Nada! Selama ini aku telah membohongimu.”

“Tidak, tidak mungkin. Kamu bohong kan, Mas?” tanyaku lagi.

Rafi menggelengkan kepala pelan. Lagi-lagi dia hanya mampu menarik napas, dan membuangnya dengan kasar.

“Olive, adalah anak Nuri, hasil pernikahan ku dengan wanita Singapura,” jelasnya.

***

Bersambung.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel