Bab 4 Bertemu Mantan
“Nada!”
Terdengar suara yang sedikit melengking tinggi memanggilku, yang saat itu berada di sebuah gedung pertunjukkan. Wajahku tampak menegang. Rahang pun menjadi keras. Lelaki berumur 35 tahun itu, adalah mantan suamiku yang bernama Rafi. Sudah lama kami tidak bertemu.
Tapi bukan Rafi Ahmad, ya? Dia adalah mantan suamiku yang dulu.
Aku menoleh ke belakang suara yang memanggil nama. Pria tampan dengan kumis tipis tersenyum padaku. Rambutnya yang tertata rapi sedikit menjuntai di dahinya. Menutupi sebagian alisnya yang tebal. Matanya setajam elang.
“Mas Rafi?”
“Apa kabar?” tanyanya.
“Baik, Mas. Kamu sendiri gimana?” Aku balik bertanya.
“Seperti yang kamu lihat sekarang. Aku tepat berdiri di hadapanmu dalam keadaan baik-baik saja,” jawabnya dengan senyum simpul.
Aku tidak berani membalas tatapan mata Rafi, yang sedari tadi mencuri pandang ke arahku.
“Angin apa yang membawamu datang ke sini, Mas?” tanyaku basa-basi.
“Ada seorang desainer cantik yang membuatku datang ke sini,” jawabnya dengan candaan canggung.
“Maksudnya?”
“Aku dengar sepak terjangnya di dunia fashion telah menguasai jagat model. Hingga membuatku tertarik untuk menemuinya. Ternyata wanita cantik itu adalah kamu,” tukasnya.
Wajahku ketika bersemu merah ketika mendengar pujian dari Mas Rafi.
“Kamu terlalu berlebihan, Mas.”
“Sungguh, Nada ini bukan bualan atau rayuan. Jauh-jauh aku datang dari Singapura hanya untuk menemui sang desainer cantik dan terkenal itu. Tidak kusangka dia adalah dirimu. Sungguh ini suatu kebetulan ataukah namanya jodoh hingga kita dipertemukan kembali setelah sepuluh tahun,” ucap Mas Rafi dengan antusias. Matanya tidak ingin sedikit pun lepas memandang wajahku.
“Wau, luar biasa. Kamu lebih tepat di juluki pangeran perayu dari pada seorang Ceo,” sarkasku.
Mas Rafi terlihat mengerutkan dahinya.
“Benarkah?”
“Hem.”
“Tapi … aku senang kalau ternyata yang kurayu adalah mantan istriku yang dulu. Pribadinya tetap lembut dan cantiknya tidak berubah.” Terdengar suara Rafi sedikit merayu.
“Wah, Mas. Dirimu dan yang dulu hingga sekarang tidak berubah. Masih tetap saja kocak,” ungkapku.
“Ya begitulah seorang Rafi. Selalu menjadi idola seorang wanita.”
“Sudah berapa banyak wanita yang kamu pacari?” tanyaku kemudian.
Mas Rafi menghela napas panjang. Sejenak dipandanginya wajahku.
“Kamu pasti tidak percaya kalau sampai sekarang aku masih jomblo.”
Aku mengangkat alis sebelah ke atas. Mendengar kalimatnya barusan.
“Tentu tidak. Bukankah dulu Mas menceraikanku karena akan menikah dengan Vivian. Lalu kemana dia sekarang?” tanyaku menyelidiki.
Hati Mas Rafi semakin terluka bila mengingat masa lalu, yang mungkin tidak bisa aku terima kalau sebenarnya Vivian itu adalah adik ipar.
Ada satu rahasia besar yang Mas Rafi sembunyikan. Sampai saat ini yang belum ku ketahui sedikit pun. Namun, dengan sangat terpaksa rahasia itu disimpan saat ini.
“Mas Rafi.”
Panggilanku membuyarkan lamunannya. Aku mengibaskan tangan ke arah wajah Rafi. Membuatnya tersentak dan menoleh seketika.
“Eh … iya, Nada,” sahut Rafi terbata-bata.
“Melamun?”
“Ti-tidak, kok “ Rafi berbohong.
“Sepertinya modelku akan segera naik ke panggung untuk membawakan rancanganku. Maaf aku harus segera pamit. Lain waktu kita ngobrol lagi, ya?”
“Ya, aku juga mau melihat modelmu membawakan baju rancanganmu. Setelah acara ini selesai bisakah kita bertemu dan ngobrol berdua?”
“Ngobrol?”
“Iya,” sahut Mas Rafi ragu.
Dia takut aku akan menolak keinginannya untuk berbicara hal penting, yang ingin disampaikan secara pribadi.
“Tentang apa?”
“Nanti kamu juga akan tahu kalau kita sudah membicarakannya,” jelas Rafi.
“Jangan membuatku penasaran untuk mencari jawaban pertanyaan,” kataku.
“Jam berapa acara ini selesai? Kalau sudah selesai nanti aku jemput kamu.”
“Belum tahu juga jam berapa pastinya acara ini selesai. Tapi kamu bisa menanyakan pada receptionist di depan kapan acaranya akan selesai,” sambungku.
“Ok, aku akan menanyakannya. Jika sudah selesai aku akan menunggumu di sini.” Mas Rafi mengatakan dengan semangat empat lima kepadaku.
“Oke.”
Setelah berpamitan, aku menuju ke arah panggung untuk memantau, dan memberi pengarahan pada model-model. Bagaimana berjalan di atas panggung dengan benar tanpa grogi.
Mas Rafi memperhatikanku dari jauh. Bagaimana aku berlari-lari kecil mengejar waktu untuk menuju ke arah model.
***
Waktu berputar dengan cepat hingga jarum jam menunjukkan pukul sebelas malam. Acara fashion show sudah berakhir dengan tertib. Dan sang pemenang sudah ditentukan dari para dewan juri yang menilai.
Model yang membawakan rancanganku, bertemakan putih telah menjadi pemenang nomor satu. Baju rancanganku juga sudah ditawar beberapa kolektor yang menyukai model buatan terbaru. Aku meraih piala dan sertifikat juga uang, yang berjumlah besar karena telah membawa nama perusahaan menjadi harum.
Saat memenangkan lomba fashion show di antara provinsi lainnya. Banyak di antara desainer yang merasa iri dengan kepiawaianku, merancang busana dan berhasil mendapat kontrak kerja selama dua tahun.
Sementara Rafi hanya tersenyum bangga. Melihat mantan istrinya kini berhasil menjadi orang sukses dan wanita karier. Berada di tengah-tengah para kontraktor membuat Mas Rafi sedikit lelah mencari keberadaanku.
Sudah lima belas menit dia berputar-putar, kesana-kesini mencariku. Tapi tidak ketemu. Sampai akhirnya dia bertanya pada seorang model, untuk mencari di mana keberadaanku. Baru saja lolos menjuarai dunia fashion nomor satu.
“Maaf. Apakah kamu tahu dimana Nada berada?” tanya Rafi kepada salah satu model.
“Mba Nada, ada di ruang ganti, Pak,” jawab sang model.
“Di mana ruang gantinya, Sis?” tanya Rafi lagi.
“Di sana. Lurus lalu belok kiri. Di situ ada ruang ganti dan ruang rias,” ucap sang model menunjuk ke arah pintu keluar, yang berada di belakang panggung.
“Terima kasih, sis.”
Model tersebut hanya mengangguk, lalu pergi meninggalkan Rafi yang masih berdiri di tempatnya semula.
Baru saja Rafi akan beranjak menuju ruang ganti yang dimaksudkan, dia sudah melihatku keluar dari ruang ganti dengan menenteng sebuah ransel.
“Maaf, Mas. Kamu lama menunggu,” kataku mengurai senyum.
“Tak apa. Aku juga baru saja mau menemuimu di ruang ganti.”
“Sudah malam, apa sebaiknya kita tunda saja sampai besok untuk mengobrolnya. Aku sudah terlalu lelah untuk membicarakan hal-hal yang membuatku jenuh,” pungkasku.
Aku melangkah menuju pintu keluar gedung. Mas Rafi menyejajarkan langkahnya denganku. Tanpa diminta, dia kemudian mengambil alih ransel yang kubawa dan membantu membawakannya
“Pasti pekerjaan ini sudah membuatmu lelah hingga kamu sedikit layu dan tak bersemangat.
“Entahlah. Tapi yang jelas aku senang menjalankan profesi sekarang ini.” Aku menggidikkan bahu.
Aku masih terlibat obrolan kecil sembari menyusuri koridor gedung, yang sedikit panjang. Gedung ini berukuran sangat luas dan panjang terdiri dari lantai lima. Sehingga sedikit melelahkan untuk menuju ke tempat acara berlangsung.
“Kamu pulang sendiri?”
“Iya.”
“Bawa mobil sendiri?”
“Iya,” lagi-lagi aku hanya menjawab seiritnya saja.
“Bagaimana kalau aku akan mengantarmu sampai di rumah,” tawar Mas Rafi.
“Tidak usah! Aku bawa mobil sendiri, kok,” sergahku.
Aku berbicara tanpa menoleh ke arah Mas Rafi. Langkah ini masih dengan santai menuju ke arah lift.
“Tidak baik untuk seorang wanita pulang sendirian di malam hari,” ucap Mas Rafi. Dia kemudian menekan tombol lift menuju lantai bawah gedung.
Aku mendesah resah. Disandarkannya punggung pada dinding lift yang menuju lantai dasar.
“Sudah biasa bagiku pulang di jam seperti ini.”
“Suamimu? Apa dia tidak menjemputmu?” tanya Mas Rafi.
“Dia sibuk bekerja. Waktunya habis di kantor untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku tidak ingin membebaninya lagi dengan urusan sepele seperti ini,” jawabku berbohong.
Mataku tidak berani menatap ke arah Mas Rafi yang kini berada di tepat di sebelahnya.
Jarak kami nyaris tidak ada dinding pemisah. Bahkan aroma tubuh Rafi yang menjadi ciri khasnya masih bisa tercium dari penciuman Nada.
“Oh ...” Rafi mengangguk-anggukkan kepala.
Sekali lagi Rafi hanya memandangku penuh selidik. Dia tahu ada sesuatu yang disembunyikan. Rafi tidak ingin bertanya lebih dalam kepadaku mantan—istri yang terlihat lelah.
Sesampai di parkiran kami menuju ke tempat Mobil diparkirkan.
“Sebaiknya kamu, aku antar pulang,” tawar Rafi. Berdiri tepat di samping mobilnya yang berwarna silver.
“Gak usah, Mas,” tolakku.
“Aku tidak tega membiarkanmu menyetir sendiri di tengah malam. Mobilmu tinggal di sini saja. Besok aku akan kembali menjemputmu ke rumah untuk mengambil mobilmu di sini,” ujar Rafi sopan. Aku masih berpikir ulang mempertimbangkan tawaran Mas Rafi.
“Em, baiklah kalau begitu. Aku ikut saranmu saja,” ucapku datar.
Mas Rafi segera membukakan pintu untukku, dan mempersilahkan masuk ke dalam.
“Masuklah!”
“Terima kasih.”
Mobil yang berplat Medan tersebut langsung menuju ke rumah. Sepanjang perjalanan menuju rumah, kami saling diam tanpa banyak bicara seperti di awal pertemuannya tadi.
Diam-diam Mas Rafi memperhatikan wajah ini yang tertutup dengan anak rambut. Wajah masih terlihat cantik. Meskipun kini usia sudah kepala empat. Di dalam mobil aku tertidur pulas tanpa menghiraukan Mas Rafi yang masih terus memperhatikan.
“Kamu memang benar-benar cantik, Nada. Setelah sepuluh tahun kita tidak bertemu membuatku merasa rindu akan kehangatan sikapmu,” gumamnya.
Mas Rafi masih fokus menyetir mobilnya menuju ke arah rumah, yang kutunjukkan sebelum aku terlelap tidur.
Satu jam kemudian Mas Rafi sampai di depan rumah. Rumahku terlihat besar dan mewah. Hidupku sudah berubah sejak dia meninggalkan sepuluh tahun yang lalu. As Rafi bercerai denganku saat Olivia masih berumur lima tahun.
Suara klakson Mas Rafi telah membangunkan Elan dari tidurnya yang lelap di malam ini. Buru-buru Mas Elan membuka gerbang. Dilihatnya aku turun dari mobil dengan diantar seorang pria tampan, memakai kemeja berwarna biru.
Pria tampan itu terlihat gagah. Hati Mas Elan terbakar cemburu, kala menyaksikan istrinya diantar pria lain ke rumah. Tangannya mengepal erat menggenggam tinju. Seperti siap melayangkan pukulan.
Aku hanya berjalan santai menuju ke dalam rumah. Tanpa memedulikan Elan yang masih terbakar cemburu.
“Nada, siapa laki-laki itu yang mengantarkanmu pulang ke rumah?” tanya Elan penasaran.
“Teman.” Aku hanya menjawab singkat lalu menutup pintu kamar. Tidak menjawab lebih panjang lagi.
***
Bersambung.
