Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Hubungan yang Hambar

“Nada!”

“Pergilah, Mas! Aku mohon!”

Elan terdiam sembari mengusap air mataku yang tak berhenti menetes. Berkali-kali pun Elan meminta maaf, aku selalu mengabaikannya.

Satu alasan yang selalu membuatku jarang di rumah, karena banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Pesanan para artis papan atas telah banyak menyita waktu di luar rumah. Dari hari ke hari hubunganku dengan Mas Elan semakin jauh. Sejak kejadian malam itu, aku memergoki berdua bersama Oliv dalam kamar yang sama. Tidur pun kini tidak satu lagi sekamar. Aku selalu saja menghindari Elan, bahkan untuk sekedar berkomunikasi pun tak pernah dilakukannya lagi.

“Ma!” seru Oliv yang berdiri di ambang pintu. Wajahnya tertunduk tidak berani menatapku sebagai ibunya.

Aku masih bergeming menanggapi panggilan Oliv. Dia hanya menghela napas panjang, lalu beranjak mendekat ke arahku.

“Mama, tidak ingin berdebat denganmu. Pergilah!” suaraku terdengar lembut tapi penuh penekanan.

“Ma, dengarkan penjelasanku sekali ini saja,” rengek Oliv sembari menggedor pintu kamarku.

Aku menutup pintu dengan keras tanpa memedulikan Oliv, yang terus memohon untuk bicara. Sudah cukup luka batin ini tersiksa karena perbuatan yang dia lakukan bersama Elan.

Di dalam kamarnya Nada duduk sambil menangis menghapus jejak air matanya yang masih menempel.

Nada, aku ....” Mas Elan menjeda ucapannya. Saat berpapasan dengan Elan di ruang tamu, aku pura-pura sibuk untuk menghindari tatapan Elan.

“Maaf, Mas. Aku sibuk,” ucapku datar.

Tanpa sarapan terlebih dahulu, aku langsung pergi begitu saja. Dari peristiwa kemarin, hubungan kami terasa hambar bagai sayur tanpa garam.

“Plis, Nada! Aku rindu dengan kehangatan keluarga kita seperti dulu,” tukas Elan. Matanya menatap tajam ke arahku yang kini telah bersiap-siap berangkat kerja.

“Aku tidak ingin membalas masalah hubungan keluarga, Mas. Hanya membuat moodku rusak di pagi hari,” ketusku berlalu.

“Ayolah, Nada! Kita berdamai agar masalah ini segera selesai.”

Elan sedikit memaksaku untuk menahan langkah. Aku malas bertengkar dengannya pagi-pagi begini. Hanya akan membawa dampak buruk.

“Tidak ada yang perlu kita bicarakan, Mas. Apalagi berdamai,” celetukku.

“Aku tidak ingin menjalankan hubungan ini tanpa status,” ucap Elan.

“Aku juga tidak menginginkan di antara kita ada duri yang menghalangi apalagi sampai menusuk,” kilahku.

Aku terus saja mengabaikan Elan yang sedari tadi bicara mengekori dari belakang. Dia seperti anak kecil yang merengek ingin meminta mainan.

“Salahkah aku bila meminta perhatian lebih?”

“Tidak,” jawabku. “Hanya caramu yang salah.”

Tanpa menoleh ke arah Elan, aku terus saja melangkah keluar dengan meraih kunci mobil yang terletak di atas meja makan.

“Jangan mengabaikanku seperti ini, Nada!”

Mas Elan berjalan cepat mengimbangi langkahku, yang menuju ke luar rumah. Namun, aku tidak ingin lemah dan menerima cintanya kembali.

“Tanyakan pada hatimu apa yang sebenarnya kamu inginkan. Tepuk dada dan tanya selera,” sarkasku. Kalimat sindiran yang barusan aku lontarkan mampu menohok hati Mas Elan.

Elan tertegun mendengar ucapanku yang mampu menyayat hatinya. Sejenak, Mas Elan dan aku saling beradu pandang menatap dalam diam.

Hingga akhirnya Elan tersadar mendapati aku sudah memasuki mobil. Denyut jantung Mas Elan berpacu dengan cepat. Mencoba menahan amarah yang terpendam dalam dirinya. Perkataanku yang datar mampu menimbulkan gejolak dalam dadanya.

Mas Elan terdiam dalam sepi. Bayangan masa lalunya bersamaku, masa-masa awal menikah membuatnya bahagia. Kini semua masa lalu itu hanya tinggal kenangan di ujung waktu.

Bagai sebuah bom waktu yang siap meledak kapan saja. Menjalin hubungan terlarang dengan anak asuhnya membuat dia menyesali kebodohannya, sama ini tanpa memikirkan buruk akibatnya. Kenyataan yang harus dihadapi adalah ... aku pasti akan segera menggugat cerai darinya cepat ataupun lambat.

“Pa,” panggil Oliv yang membuyarkan lamunannya.

“Ada apa Oliv?” tanya Mas Elan.

“Bagaimana kalau kita katakan secara terus terang pada Mama. Papa dan aku sudah saling mencintai sudah lama,” ujarnya.

“Papa, belum siap untuk bercerai dengan mamamu.”

“Apa? Jadi, Papa selama ini hanya mempermainkan hubungan ini demi mendapatkan kehormatanku?”

“Bukan begitu Oliv. Papa hanya belum siap berpisah dari mamamu,” jawab Elan frustasi. Seraya mengacak rambutnya dengan kasar.

Oliv terdiam lalu menangis memalingkan wajahnya dari arah papa tirinya.

“Aku sungguh tulus mencintai Papa sampai rela menusuk Mama dari belakang. Tapi apa balasan papa sekarang?”

“Papa, juga mencintaimu Oliv. Tapi untuk saat ini belum bisa melepaskan pernikahan yang sudah kami bina selama empat tahun.”

Elan meraih tubuh Oliv, lalu membalikkan menghadapkannya ke depan. Sehingga jarak mereka kini tanpa ada pembatas.

“Segalanya sudah aku berikan pada Papa. Termasuk kehormatanku ini, tapi sekarang malah Papa yang menghindari tanggung jawab!” hardik Olive. Kalimat yang dilontarkannya penuh nada penekanan.

“Maaf, Oliv. Untuk saat ini Papa belum bisa mengambil keputusan.”

“Papa, pengecut. Berani berbuat tapi tidak berani bertanggung jawab,” cecar Olive. Nada bicaranya kini berubah naik menjadi satu oktaf.

Elan hanya bisa mengusap wajahnya dengan kasar. Mendengar kalimat anaknya yang kini sudah berubah menjadi penuh penekanan. Rasa bersalah kini menghantui dirinya, yang sudah menghancurkan masa depan seorang anak di usia dini hanya karena nafsu sesaat.

“Berikan, Papa waktu untuk memikirkan langkah selanjutnya,” ujar Elan.

“Terserah, Papa saja. Kapan waktu yang papa inginkan aku akan selalu menunggu jawaban.”

Elan menghapus air mata Oliv yang terus membanjiri pipinya yang mulus. Tangannya membelai rambut Oliv dengan lembut, lalu mengecup pucuk kepalanya.

“Kamu tidak pergi ke sekolah?” tanyanya kemudian.

“Tidak,” jawab Oliv menggelengkan kepala.

“Kenapa?”

“Buat apa aku melanjutkan sekolah toh akhirnya nanti menikah juga,” Oliv menjawab dengan entengnya tanpa berpikir dulu.

“Sekolah itu penting demi masa depanmu Oliv,” tukas Elan.

“Itu dulu, Pa. Sebelum Papa merenggut kehormatanku.”

“Kita bisa saling menutupi dan bersandiwara bahwa hubungan keluarga ini masih baik-baik saja,” sambung Elan.

“Tapi, tidak denganku, Pa. Aku tidak dalam baik-baik saja,” celetuk Oliv.

Elan menghela napas panjang lalu menghembuskannya secara kasar.

“Maafkan, Papa! Andaikan saja waktu bisa diputar kembali tidak akan kuulang perbuatan ini.”

“Terlambat sudah, Pa. Semuanya sudah terjadi.”

“Papa, menyesal sekarang telah menyakiti mamamu yang dengan setia dan bertanggung jawab dalam menghidupi keluarga—kita.”

“Tidak ada gunanya menyesal kemudian, Pa. Semuanya sudah terjadi.”

Elan kembali diam tidak melanjutkan kalimatnya. Pikirannya kini bercabang menjadi berbagai macam. Di satu sisi dia sangat mencintaiku sebagai istrinya. Tapi di sisi yang lainnya dia berat untuk melepaskan Oliv, yang hadir dalam hidupnya saat dirinya membutuhkan tempat pelampiasan. Dia sadar kalau perbuatannya ini sudah sangat salah. Apa pun yang dia katakan di hadapanku akan percuma. Seakan pintu hatiku sudah tertutup dan tidak akan pernah terbuka untuk selamanya.

*

Bersambung.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel