Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Pengakuan Suamiku

Aku masih tergugu diam membisu di kamar Olive. Mas Elan mencoba mendekatiku dan meminta maaf atas kekhilafan yang dia lakukan.

“Nada, a ... aku minta maaf. A ... aku khilaf,” suara Elan terdengar gugup dan terbata-bata. Berusaha meraih tubuhku dan merengkuhku dalam pelukannya seperti yang biasa ia lakukan.

“Jangan sentuh aku, Mas,” ucapku tanpa menoleh ke arahnya.

Pandanganku masih kosong, menatap tembok yang menjadi saksi bisu kisah cinta mereka berdua. Di sisi tempat tidur Olive terlihat menangis menyesali perbuatannya. Entah itu menyesal karena berbuat dosa, atau menangis menjadi duri dalam rumah tangga kami. Aku tidak menyangka dia sehina itu.

“Ma, maafkan Olive telah ....” Dia menjeda ucapannya, lalu menangis sesenggukan.

Aku masih bergeming dari tempatku semula. Bumi tempatku berpijak seakan runtuh seketika.

“Nada, aku bisa menjelaskan semua ini,” ucap Elan frustrasi. Seraya mengacak rambutnya dengan gusar.

“Penjelasan apa yang akan Mas berikan,” ucapku dengan suara parau tapi terdengar samar.

“Semua terjadi begitu saja,” ungkapnya. Mengatakan kalimat itu begitu mudah dan terasa enteng dari bibirnya.

“Apa katamu Mas? Begitu saja?” Dimana hati nuranimu saat kamu melakukan itu dengan seorang anak yang belum cukup umur!” Hardikku dengan nada satu okta

Mas Elan langsung terdiam, tanpa mengucapkan kalimat sepatah kata pun untuk membela diri.

“Aku ... hanya.”

Plak!

Ku tampar wajahnya, lalu menekan tangan yang memerah bekas menampar Mas Elan. Dada ini bergemuruh, napasku memburu dengan cepat. Belum sempat lagi Mas Elan melanjutkan kalimatnya, tanganku sudah kembali menampar pipinya yang putih hingga menimbulkan bercak merah.

“Tugas seorang Ayah melindungi kehormatan anak dan istri, bukan malah merusak dengan menodai kehormatannya Mas,” cecarku.

Aku pergi meninggalkan kamar Olive dengan langkah gontai menuju kamar. Waktu terus berputar hingga menunjukkan jarum jam di angka dua pagi. Waktu yang seharusnya di pakai orang untuk melabuhkan mimpi. Tapi apa yang sedang aku alami sekarang bukanlah mimpi melainkan kenyataan.

Aku masih berharap semua yang terjadi adalah mimpi buruk. Namun, sayang apa yang kualami bukanlah mimpi yang menjadi bunga tidur, melainkan kenyataan pahit.

Aku menangis membayangkan kejadian yang baru kulihat. Hingga waktu menjelang subuh mataku tidak dapat terpejamkan. Bangkit dari tempat tidur, lalu melaksanakan salat subuh, dan memohon kepada yang Maha Kuasa. Agar aku bisa menyelesaikan masalah ini dengan secepatnya.

Kuhamparkan sajadah di lantai berkeramik putih yang mengkilap, lalu melaksanakan salat subuh dua rakaat. Selesai melaksanakan salat subuh, aku menadahkan tangan ke atas memohon kepada Rab-ku.

Hingga setelah salat subuh aku masih memakai mukena yang membalut tubuh, dan tertidur dalam keadaan tanpa melepas terlebih dahulu. Entah sudah berapa lama aku tertidur dalam keadaan memakai mukena, dan di hamparan sajadah panjang. Ketika aku terbangun samar terdengar suara ketukkan pintu kamar diketuk dari luar dengan keras

“Nada, bukalah pintunya! Aku ingin berbicara.” Suara panggilan Mas Elan membangunkan dari mimpi buruk.

Kulihat jam dinding di kamar sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Kubuka perlahan kelopak mata, lalu melepas mukena yang masih menempel dari tubuhku. Melipatnya kembali dan meletakkan dalam lemari.

Terdengar kembali suara ketukkan pintu kamar dari luar. Mas Elan kembali memanggilku. Kali ini nada suaranya agak merendah.

“Plis, Nada bukalah pintunya sebentar! Biarkan aku masuk, kubawakan sarapan untukmu. Kondisimu masih sakit, izinkan aku untuk merawatmu,” tuturnya dengan suara merendah.

Aku masih tak berniat membukakan pintu untuknya. Mengingat hati masih terasa sakit, atas kejadian yang mereka lakukan semalam dengan lumur dosa.

“Pergilah! Aku tidak ingin apa-apa darimu,” kataku setengah berteriak.

“Jika pintu ini tidak kamu buka maka jangan salahkan aku bila mendobraknya,” ancamnya. Tidak kuhiraukan ancaman Mas Elan yang meminta masuk dengan paksa.

“Jangan memaksaku untuk hal yang membuatku lebih sakit mengingat kejadian itu Mas,” jawabku.

“Kita bisa bicarakan ini secara baik-baik Nada,” tukasnya.

Ceklek.

Pintu kubuka perlahan. Mas Elan berdiri di depan pintu dengan membawa makanan di atas nampan, dan segelas air putih untuk sarapan.

“Aku tidak lapar. Bawa saja kembali makanan itu ke dapur!” Ketusku.

“Makanlah! Aku tahu kamu membenciku karena perbuatanku.” Mas Elan meletakkan nampan berisi makanan di atas nakas. Nada bicaranya masih terlihat tenang, seakan tidak ada kejadian yang barusan terjadi.

“Sudah aku katakan aku tidak lapar. Kenapa masih memaksaku,” pungkasku. Mataku menatap nyalang pada Mas Elan yang terlihat santai.

Dia berdiri dengan tegap dan ingin merengkuhku dalam pelukan. Membenamkan kepalaku ke dadanya yang bidang seperti biasa dia lakukan, untuk membuatku tenang. Tapi itu dulu, ketika rasa cinta ini masih membuatku tenang berada dalam dekapannya.

Namun, tidak untuk saat ini. Hatiku masih hancur berkeping-keping bagai serpihan kaca ,yang hancur berantakkan jatuh ke lantai.

“Nada!” serunya lirih.

“Sudah berapa lama, Mas?” tanyaku.

“Nada!” serunya kembali.

“Sudah berapa lama, Mas?” aku bertanya kembali mengulang pertanyaan yang sama.

Mas Elan menarik napas dalam-dalam sebelum menghembuskannya asal.

“Satu tahun,” jawabnya pelan.

Jedar.

Bagaikan menggenggam bara api, membakar seluruh tubuhku hingga hangus menjadi arang. Pengakuan suamiku membuat jantung seakan berhenti berputar

“Satu tahun?” tanyaku meyakinkan.

Mas Elan mengangguk pelan.

“Iya, satu tahun.”

“Kenapa, Mas. Kenapa, kamu setega ini menusukku dari belakang ha?” tanyaku dengan menguncang tubuhnya. Mas Elan hanya terdiam tanpa memberi perlawanan

Tubuhku merosot seketika, saat mengguncang Mas Elan yang masih bergeming.

“Aku begitu merindukanmu saat kau jauh dariku. Di saat itulah Oliv datang secara tiba-tiba menemuiku dan terjadilah hal yang tidak di inginkan,” ungkapnya dengan jelas.

“Kenapa kamu tidak menolaknya saat itu, Mas?”

“Pesona, Oliv sudah membuatku gila. Hingga rasa itu muncul begitu saja tanpa aku minta. Kamu, begitu sibuk dengan pekerjaanmu sebagai seorang desainer hingga melupakan waktumu untuk membagi kehangatan dengan suamimu ini, Nada,” protesnya.

Aku terdiam dengan kalimat yang barusan diucapkan. Kesibukanku bekerja dalam dunia Fashion telah membuat suami dan anakku lupa. Kalau apa yang aku lakukan selama ini demi untuk menyambung hidup keluarga.

Pernikahanku dengan Mas Elan baru empat tahun kami jalani. Tahun pertama pernikahan sangat bahagia, karena Mas Elan bekerja di perusahaan bonafid. Memasuki tahun kedua pernikahanku dengan Mas Elan di uji dengan kesabaran.

Perusahaan tempat Mas Elan bekerja harus gulung tikar karena, masa pandemi corona. Banyak karyawan yang diliburkan saat masa pandemi berlangsung. Dan salah satunya adalah Mas Elan. Pada saat itu, aku yang harus berpikir keras agar ekonomi keluarga tetap bertahan.

Dengan keahlian sebagai penjahit baju, aku merintis usaha kecil-kecilan menerima jahitan dari teman ke teman. Hingga jahitan yang aku tekuni menghasilkan karya yang cukup terkenal, di kalangan tempat tinggal dan teman-teman.

Sampai akhirnya ada seorang pengusaha garmen yang menawari untuk bekerja sama di perusahaannya. Mengerjakan pesanan baju artis papan atas. Perusahaan tempatku bekerja menawarkan peluang besar, dan gaji lumayan yang cukup buat makan.

Kesempatan ini tidak aku sia-siakan, dengan menerima tawaran perusahaan garmen. Untuk menjahit pesanan baju artis papan atas dan busana pengantin. Saat itulah karierku menanjak naik, dan mempunyai gaji yang di bilang fantastis.

Semakin karierku menanjak semakin aku jarang di rumah, karena harus mengerjakan pesanan. Membuat desainer untuk kalangan atas. Saat itulah aku lupa kalau suami dan anakku bukan muhrim, yang aku tinggalkan berdua dalam satu rumah.

Ku kira kebahagiaan ini sempurna karena mempunyai suami yang pengertian dan baik, sanggup menjaga buah hatiku dari pernikahan sebelumnya. Tapi kenyataanya adalah ... aku harus menelan pil pahit. Perselingkuhan mereka harus aku ketahui, di saat mereka sudah cukup kenyang bergelimang dosa.

“Kau sungguh naif, Mas. Menginginkan satu wanita tapi tidak ingin melepaskan wanita yang lain. Maling teriak maling,” celetukku.

“Apa yang harus kulakukan di saat kerinduanku padamu begitu menggebu, Nada?” tanyanya dengan fustasi. Mas Elan mengusap wajahnya dengan kasar.

“Dia anak kandungku, Mas. Tega kamu menggaulinya yang masih di bawah umur. Di mana hati nuranimu saat melakukan itu ha?”

Hening sejenak.

“Yang kulakkan semua memang salah. Tapi yang tidak bisa aku terima adalah sikapmu yang tidak bisa membagi waktu dalam pekerjaan,” tukasnya.

“Stop! Berhenti menghakimiku, Mas! Aku menjadi tulang punggung keluarga itu semua karenamu. Seharusnya kamu lah yang harus bertanggung jawab dengan perekonomian keluarga, bukan aku yang statusnya sebagai ibu rumah tangga,” protesku.

Mas Elan terdiam.

“Sadarkah dirimu kalau yang kulakukan semua ini demi kelangsungan hidup kita?”

“Maafkan aku, Nada! Aku ingin kembali padamu tetapi jalanku sudah tertutup.”

“Saat kamu belum tersesat begitu jauh ke dalam lingkaran hitam, kenapa tidak mencoba untuk kembali. Mungkin aku masih bisa memaafkanmu saat itu,” ucapku.

Mas Elan hanya menunduk lesu. Meratapi perbuatan dirinya yang sudah salah melangkah. Pernikahanku dengannya kini di ambang kehancuran.

*

Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel