9. Wisuda
Kali ini aku menemani Abah, Umi, dan Gus Azmi ke Bandung dengan disopiri oleh Kang Bimo. Gus Azzam sendiri satu minggu yang lalu sudah ada di Bandung. Besok adalah hari wisuda Gus Azzam untuk program magisternya. Kami menginap di hotel yang cukup dekat dengan kampus.
"Kampusnya keren ya Umi, besok Azmi mau disini juga," celoteh Gus Azmi saat mobil kami memasuki pelataran parkir hotel.
"Memangnya Azmi mau jadi apa?"
"Gamer Umi, pokoknya bisa pegang komputer sama HP. Hehehe."
"Dasar kamu itu ya?"
Semua tertawa termasuk aku. Selanjutnya aku lebih banyak diam, karena menikmati perjalanan. Wow, aku jadi rindu kampus. Aku rindu belajar. Aku menghembuskan nafasku pelan. Semoga suatu hari nanti aku bisa kuliah lagi dan semoga aku segera punya uang. Syukur dibiayai suami. Dan pertanyaan yang muncul emangnya suamiku siapa?
*****
Mataku terpana menatap objek di depanku. Perawakannya yang tinggi menjulang, kulit putih dengan seraut wajah nan rupawan tengah berjalan ke arah kami. Mengenakan kaos hitam, celana jeans, topi hitam dan sepatu sneakers. Duh Gusti, sungguh begitu indah ciptaanmu. Aku menunduk guys, soalnya aku sudah sedikit tahu kalau memandang lawan jenis itu dosa. Apalagi objek yang sedang berjalan kearah kami itu begitu menggoda keimanan.
"Lancar perjalanannya Kang Bim?"
"Lancar Gus, cuma pas masuk Bandung agak macet."
"Oh syukurlah."
"Abah, Umi sehat?"
"Sehat. Kamu potong rambut Zam? Masya Allah guantenge anak Umi ini."
"Hehehe. Iya Um, kan stresnya Azzam udah ilang, udah plong ya jadi potong rambut deh."
"Pokoknya anak Abah itu semuanya ganteng-ganteng Umi, kan gantengnya dari Abah," canda Abah.
"Hem. Iya ... iya yang duplikatnya ada dua. Ya udah Umi cantiknya bareng sama Caca aja ya Ca."
Aku tersentak kaget, "Eh ... oh ... iya Umi," sahutku gelagapan.
Terdengar tawa dari mereka karena kelakar Umi, hanya Gus Azzam yang tampak manyun.
"Idih ... cantikan Umi kemana-mana," sengaknya bikin aku tambah marah.
"Ya jelas cantikan umilah Gus, orang Umi itu sudah terbukti tuh udah punya suami sama anak dua. Kalau Caca nanti pas sudah punya suami baru kelihatan cantiknya. Kata orang, cantiknya wanita baru terlihat kalau sudah bersuami." Aku tak peduli mau dibilang kurang ajar atau gimana yang jelas aku marah dibully terus sama dia.
"Hahaha ... Mas Azzam udah ketemu lawan tanding ya Kang Bim?" celetuk Gus Azmi.
"Iya Gus, beneran lawan seimbang buat Gus Azzam. Hihihi." Kang Bimo dan Gus Azmi terkikik.
"Hahaha ... bener itu. Kayak Tom and Jerry mereka itu Bah," tambah Umi.
"Gaklah, mau gimanapun ya Azzam yang menang." Gus Azzam nampak senewen.
"Ya menang kamulah orang Caca sedikit sungkan gegara kamu anaknya Abah. Kalau bukan, dijamin Caca gak bakalan ngalahan, ya kan Nduk?" tanya Abah.
"Gak bakalan Bah," sahutku.
Dia menatapku tajam dan aku menatapnya balik. Dia pikir aku takut kali. Gak bakalan.
"Sudah ... sudah ayuk kita istirahat. Kamu sekamar sendirian ya Nduk. Gak papa kan?"
"Mboten Umi."
Kami akhirnya memasuki kamar masing-masing. Gus Azzam menyewa tiga kamar, satu untuk Abah dan Umi, satu lagi untuk yang para lelaki dan kamar paling kecil untukku.
******
Suasana gaduh berlangsung di hotel yang kami pesan. Rupanya kebanyakan disewa oleh para wisudawan dan wisudawati beserta keluarga. Pun dengan kami, sejak tadi Umi dan Gus Azmi repot sekali. Padahal Gus Azzam kan cowok, gak perlu dandan juga.
"Nah, kalau gini udah rapi kemeja putih sama baju wisudanya."
"Mas Azzam udah boleh pake kemejanya Umi? Kayaknya Mas Azzam udah selesai mandi."
"Hehehe. Lama ya, habisnya Umi harus nyari setrika dulu tadi."
"Umi yang nyari?"
"Mboten Bah, Bimo yang nyari. Hehehe."
Abah hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah heboh sang istri dan memilih melanjutkan menikmati kopi hangatnya.
"Ya sudah, Azmi sana antar ke Mas kamu."
"Siap Umi."
Aku sendiri sudah menggunakan kebayaku sejak tadi, biasanya aku memakai kerudung segiempat atau langsung. Khusus hari ini aku menggunakan kerudung pashmina yang sengaja aku bentuk namun tetap menutupi bagian dada. Bahkan aku memakai make up minimalis dan lipstik warna pink. Aku gak mau kalah cantik ya sama Umi. Lagian kebaya kita kan warnanya kembar.
"Ayune Ca. Coba kalau ada bujang. Bakalan kepincut tuh bujang sama kamu."
"Harus tampil cantiklah Umi, biar mengimbangi Umi. Umi aja penampilannya cantik cetar bak ratu, penampilan Caca minimal jadi dayang primadona gitu."
"Kenapa gak jadi putri aja Ca?"
"Caca sadar dirilah Um, emang cuma dayang ya ngaku aja jadi dayang."
"Tapi dayang juga bisa jadi ratu loh, Ca?" kini suara Abah yang terdengar.
"Kan kalau dia dipersunting sama raja, Abah?"sahutku.
"Gak mesti dipersuting sama raja kok Ca, sama putra mahkota nantinya juga bisa jadi ratu?" sambung Umi.
Blush ... Astaga pipiku memerah jadinya. Tentu aku mengerti maksud ucapan Umi. Melihat mukaku yang memerah Abah dan Umi pun tertawa. Perhatian kami teralihkan saat mendengar pintu kamar yang ditempati Abah dan Umi diketuk.
"Bukain Ca?" perintah Umi karena sekarang beliau tengah meladeni makan untuk Abah.
"Nggih Umi."
Aku pun membuka pintu kamar dan mataku membulat. Aku kaget pun seseorang yang disana. Cukup lama kami berpandangan hingga suara Gus Azmi yang tengah berjalan ke arah kami membuat perhatian kami fokus kembali ke dunia nyata. Aku memilih duduk di kursi berseberangan dengan Abah.
"Gantengnya anak Umi? Duh gak nyangka ya Bah, anak kita udah besar. Perasaan baru kemarin lahirnya."
"Ya besar lah Umi, orang dikasih makan tiap hari juga," gurau Abah. Kulihat Gus Azzam cuma tersenyum.
"Makan dulu Zam, Ca tolong siapin makan buat Azzam sama sekalian kamu makan," titah Umi.
"Nggih Umi."
Aku segera menyiapkan nasi dan lauknya untuk Gus Azzam sekaligus untuk diriku sendiri.
"Monggo Gus."
"Makasih Ca."
Gus Azzam memakan makannanya dengan lahap pun diriku. Sesekali aku melirik ke arah Gus Azzam, tampan. Memang dasar tampan sih, aku tersenyum dalam hati.
Deg. Hah? Otomatis aku memalingkan mukaku pun dengan Gus Azzam. Bukan sekali tapi entah untuk keberapa kalinya tatapan kami selalu bertubrukan. Haish ... meronanya pipiku.
*****
Aku tersenyum menatap para wisudawan dan wisudawati yang tengah berfoto ria sambil menikmati es tung-tung harga seribuan. Enak.
"Hem ... senyum-senyum mulu Ca."
"Aku lagi membayangkan kalau itu aku, Kang."
"Kamu pingin lanjut S2?"
"Ya pingin Kang tapi nanti. Aku mau fokus ngaji dulu sama nyari uang buat kuliah nanti."
"Niatnya mau kuliah dimana? Di luar negeri juga kayak Hasan?"
"Aku gak pengen ke luar negeri, aku pengen banget di UPI Kang."
"Tak doakan kamu bisa kuliah di UPI ya Ca."
"Amin."
"Syukur dibiayaain sama suamimu kelak ya Ca."
"Amin."
Kami terus mengobrol karena Umi sekeluarga sedang berada di dalam ruang auditorium untuk menyaksikan prosesi wisuda.
*****
Jepret ... jepret ... jepret.
Berbagai pose potret keluarga Gus Azzam tengah dibidik oleh Kang Bimo.
"Ca sini ikut foto," ajak Umi.
"Mboten usah Umi. Caca disini saja."
"Ayok Mbak Caca sama Kang Bimo juga," ajak Gus Azmi.
"Ayo kesini. Minta tolong orang lain buat moto kita," titah Abah.
Akhirnya aku dan Kang Bimo ikut berfoto. Dari pose manis, kalem, alay bin lebay semua ada. Yang alay cuma kita bertiga sih, aku, Kang Bimo dan Gus Azmi.
*****
Aku tengah melihat-lihat hasil foto kami. Abah, Umi, Gus Azmi dan Kang Bimo sedang membeli mainan yang diminta Gus Kecil. Dan harus dapat kalau tidak bisa uring-uringan sampai seminggu tuh si Gus Kecil.
"Caca." Aku menoleh mencari si sumber suara.
"Meta."
Kami berpelukan ala telletubis. Meta adalah salah satu teman karibku saat kuliah strata satu.
"Kok kamu disini sih?"
"Owh ... Aku lagi menemani Bu Nyaiku. Putranya lagi diwisuda. Lah kamu sendiri ngapain?"
"Aku lagi mendampingi tunanganku wisuda juga."
"Oh ya? Kamu dapat calon orang mana?"
"Purbalingga."
Meta asli Kudus, dia bercerita ketemu calonnya pas lagi main ke ITB sama saudaranya yang juga kuliah teknik sipil disana. Meta berkenalan dan saling bertukar nomer dengan sang pria yang ternyata malah berlanjut ke hubungan yang serius.
"Baru wisuda S1 tau S2?" tanyaku.
"S2 arsitektur."
"Owh ...."
Lama kami mengobrol dan duduk di bawah pohon beringin hingga ada yang menyapa Meta.
"Sayang, kamu disini?"
"Mas Reza sini."
Aku menoleh kearah seseorang yang ditunjuk oleh Meta. Loh itu kan?
"Kamu?"
"Bidadari pohon mangga."
Meta mengernyit mendengar ucapan kami. Lalu aku menjelaskan apa yang terjadi.
"Ya Allah Caca, jiwa premanmu kapan ilang sih." Meta geleng-geleng kepala. Aku cuma nyengir tanpa dosa.
"Zam, sini," ucap Mas Reza.
Kulihat Gus Azzam menuju ke arah kami.
"Kamu aku cariin Za, kamu kemana saja?"
"Aku nyari cewekku ini, kenalkan Meta."
Meta akan mengulurkan tangannya kepada Gus Azzam, Gus Azzam hanya menangkupkan kedua tangannya di dada. Meta cengo. Aku cuma terkikik melihat aksi Meta.
"Aduh aku lupa Yang, temenku ini seorang Gus, anak Kyai jadi gak mungkin salaman sama lawan jenis."
"Oh ... Kayak ikhwan ya Ca."
"Iya," sahutku.
Gus Azzam menaikkan sebelah alisnya. Tampan. Haish ... Buang pikiran kotormu Ca.
"Kamu kenal sama Caca?" tanya Gus Azzam pada Meta.
"Bukan kenal lagi Mas, kita udah kayak saudara."
"Kenal dimana?" selidik Gus Azzam.
"Kita teman kuliah Mas, Caca ini si jenius paling pinter di angkatanku. Kuliah aja cuma 3,5 tahun. Tapi wisudanya bareng kita hehehe," cerita Meta.
"Kamu sarjana?" tanya Gus Azzam.
"Iya Gus."
"Sarjana apa?"
"Pendidikan Biologi Gus." Meta yang menjawab.
"Oke."
"Oke kenapa Gus?" tanyaku tak paham.
Gus Azzam cuma mengedikkan bahunya. Dasar Gus aneh. Aku dan Meta melanjutkan obrolan kami yang makin lama semakin seru. Kebanyakan sih mengenang masa lalu. Sebelum kami berpisah, Meta membisikkan sesuatu yang membuatku tersipu malu.
"Gus kamu ganteng, Ca. Saranku pepetin terus tuh. Siapa tahu jadi suamiku." Meta mengucap sambil berbisik.
"Jangan ngawur. Aku sadar dirilah Ta, aku ini siapa sih? Cuma remahan atom aja." Aku ikut berbisik.
Meta hanya tertawa saja dan akhirnya sesi pertemuan kami pun berakhir juga. Aku dan Meta berpelukan sebelum berpisah.
