8. Bidadari Pohon Mangga
*Cahaya Mustika*
Tak terasa sudah dua bulan aku mondok plus jadi khadamah disini. Awalnya, aku kesusahan beradaptasi. Terutama masalah ngajinya, tapi alhamdulillah akhirnya terbiasa. Berhubung dulu aku dan Hasan hanya punya satu HP milik bersama dan jadul pula, praktis komunikasi kami lewat sosmed. Dan itupun hanya bisa kulakukan saat hari Minggu saja dimana kami boleh keluar itupun hanya di area dekat pondok.
Syukurlah Hasan nampak bahagia dan menikmati kuliahnya. Aku lost kontak dengan keluarga Jepara. Paling Hasan yang rajin menghubungi Husna untuk menanyakan keadaan bapaknya.
"Kamu betah Ca?" tanya Kang Bimo kepadaku saat membantuku mengupas kelapa sedangkan aku bertugas memarutnya.
"Betah Kang." Aku memanggilnya sesuai panggilannya disini.
"Syukurlah, Hasan kayaknya juga betah disana. Senangnya dengar dia lagi kuliah." Kang Bimo menghembuskan nafasnya.
"Kenapa Kang?"
"Gak papa. Aku cuma nyesel dulu jadi anak badung. Sekolah gak tamat hidup amburadul gak jelas. Tapi itu dulu. Sekarang aku seneng bisa disini, aku lagi berusaha jadi orang baik."
"Kang Bimo kok bisa terdampar disini?"
"Huh ... Ceritanya panjang. Waktu itu, aku terlibat tawuran sama geng lain. Aku yang sudah terluka parah berusaha menyelamatkan diri. Tak sengaja ketemu Gus Azzam yang pulang dari pengajian.
Gus Azzam menyelamatkanku dari kepungan geng lawan. Dengan cara menyuruhku memakai gamis Umi Aisyah yang ada dimobil dan menyuruhku memakai kerudung dan slayer hitam seolah sebagai cadar. Hehehe."
"Astaga. Kang Bimo, hahaha."
"Setelah itu aku dibawa kesini, mereka menerimaku. Abah mengarahkanku menjadi lebih baik, Umi memberiku kasih sayang seorang Ibu, Gus Azzam menawarkan persahabatan kepadaku dan Gus Azmi seperti adik bagiku."
Aku mendengarkan ceritanya sambil memarut. Kedua sahabatku Ipeh dan Nurul juga turut mendengarkan.
*****
"Sebelah atas Mbak, agak ke kiri itu ada dua besar-besar."
"Yang mana?"
"Itu Mbak."
"Oh iya aku lihat."
"Galahnya ini Mbak?" sahut Nurul membawa galah.
Ya, kami sedang memetik buah mangga yang letaknya di belakang ndalem. Rumah Abah itu keren bangunannya, pokoknya ditata pas, dapur berada di sayap sebelah kanan kemudian ada pintu dan dihubungkan dengan koridor. Koridor berfungsi menghubungkan dapur dengan kamar para khadamah. Sedangkan bagian belakang ada teras, gazebo, kolam ikan kecil dan sepetak tanah untuk rumah kaca. Rupanya halaman belakang sebagai tempat melepas lelah keluarga Kyai.
"Keren ih Mbak Caca, serba bisa!" seru Ipeh.
"Iya, sekarang gak perlu nunggu Kang Bimo kalau mau manjat-manjat hehehe,"timpal Nurul.
"Emangnya Kang Ndalem cuma Kang Bimo aja apa?"
"Iya, lah wong disini pondok puteri," sahut Ipeh.
"Gak ada yang pengen ngelamar jadi Kang Ndalem lagi apa?"
"Banyak, tapi Abah dan Umi katanya gak perlu. Toh semua hal bisa dihandel sama Kang Bimo. Dari jadi sopir, asisten Abah, pengasuh Gus Azmi pokoknya semua bisa di handel sama Kang Bimo," terang Nurul.
"Ooo ... Eh, Gus Azzam sih kemana? Sebulan ini gak kelihatan?"
"Ke Bandung katanya, kan kuliah disana." Ipeh menjelaskan kepadaku.
"Tahu gak Mbak, kita semua kaget waktu tahu kalau Guse itu ternyata lagi kuliah S2. Selama ini kita ngiranya Guse cuma seneng berpetualang naik gunung. Eh ternyata ...," lanjut Ipeh.
"Huum Mbak, pas ngertinya Guse cuma pengangguran aja banyak santri putri yang ngefans apalagi sekarang hampir semua santri sama ustazah single ngarep Mbak," sambung Nurul.
"Ngarep opo?" tanyaku.
"Ngarep jadi istrinya," kompak Ipeh dan Nurul.
Aku cuma geleng-geleng kepala. Kemudian melanjutkan memetik mangga dengan galah atau gantar. Karena terlalu asik, aku tak menyadari kedua sahabatku sudah tak ada. Sebagai ganti yang ada ternyata Gus Sombong.
"Ipeh, ini ambil mangga yang ada di kantong gan ... tar," ucapku mengulurkan gantar yang di kantongnya terdapat dua biji mangga.
Krik ... krik ... krik ... Ngooookkk.
"Eh ... Guse ... Hehehe."
Gus Sombong menatapku dengan tatapan elang yang mengintimidasi. Haduh ... Bakalan rempong ini pasti. Kuberikan senyum paling manis.
"Kamu itu cewek beneran apa jadi-jadian?"
"Cewek beneran lah Gus," sahutku kesal. Enak aja dia ngomong, apa perlu aku buktikan haish ....
"Terus ngapain kamu di atas situ?"
"Metik mangga Gus," sahutku kalem.
"Gus ... Ini kita jadi pergi kan?" terdengar seseorang menuju ke arah kami.
"Loh, Mbaknya ngapain?" tanya temen Gus Azzam yang lumayan ganteng dan sepertinya ramah.
"Ngapunten Mas, hehehe. Lagi petik mangga."
"Duh, aku pikir tadi monyet loh," ucapnya dengan senyum jahil.
Aku memberengut. Gak usah ngomong kenyataan ngapa sih Mas.
"Hahahaha. Iya Za, monyet betina," sambung Gus Azzam kepada temannya. Aku tambah merengut, dih dasar Gus Songong.
"Kirain monyet Mbak ... Tapi begitu tak lihat ternyata bukan. Ternyata yang terlihat olehku itu bidadari. Bidadari pohon mangga," ucapnya sambil mengedip kepadaku.
Duh, aku jadi malu. Kulirik teman Guse masih senyum-senyum gaje kearahku sedangkan Gus Azzam ... hahaha. Matanya melotot mau keluar mungkin tak terima dengan sanjungan sang teman kepadaku. Emang gue pikirin Gus.
*****
Aku masih sibuk duduk di salah satu cabang pohon mangga. Aslinya lagi ngecengin Kang-kang pondok siapa tahu kelihatan dari atas sini. Hihihi. Ngayal pokoknya.
"Nemplok terus. Mangganya udah habis kamu embat semua juga."
Ck. Ngapain sih si Gus Singa Garang masih disini. Gak tahu apa dia, aku lagi nyari inspirasi syukur tambatan hati. Uhuk.
"Lagi merenung Gus."
"Merenung pengin dapat jodoh gitu?"
"Iya ... Eh ... Bukan." Aduh salah ngomong aku.
"Ck ... Bilang aja iya."
"Terserahlah."
Hening.
Aku masih sibuk mengamati sekitar sedangkan Gus Azzam sibuk ponselan sambil duduk di kursi panjang berbahan bambu di serambi belakang dekat dengan pohon mangga. Hingga tatapanku tertuju pada Kang santri dan Mbak santri yang lagi jalan mengendap-ngendap sambil bergandengan tangan. Oh ... Astaga ternyata santri juga manusia. Ada yang suka bikin huru hara. Saking keponya aku berdiri dan melangkah mencari pijakan lain agar bisa mengamati lebih jelas lagi.
"Kamu lihat apa sih?"
Aku masih diam karena sibuk mengamati.
"Hei ... Ca ... Kamu lihat apaan?"
"Diem dulu Gus, aku lagi nyari view dulu buat observasi," sahutku tanpa mengalihkan pandangan.
"Cahaya Mustika kamu lihat apa?"
"Diem dulu Gus. Brisik tahu!"
"CAHAYA ...." Suaranya terdengar menggelegar macam singa mengaum membuat aku yang tengah memijak salah satu dahan kaget dan malah menginjak dahan yang salah.
"Kyaaaaa ...."
"Caaaa ...."
Grep.
Deg.
Dug ... Dug ... Dug ....
Mataku melotot, syok aku karena sekarang aku berada dalam gendongan si Singa Garang. Tangannya menahan bobotku dan melingkar dengan kewes pada punggung dan lipatan lututku. Dan tanganku dengan tak sopan santunnya melingkar pada lehernya.
"Caca ... Kamu dimana?" terdengar panggilan Umi membahana.
Gedebuk ... Bumm.
Aku terjatuh pemirsa. Lebih tepatnya dijatuhkan sama si Gus Singa Garang. Jangan ditanya sakitnya kayak apa, pun rasa malunya sungguh tiada terkira. Refleks aku langsung berdiri menuju ke ndalem dengan kecepatan cahaya. Sesampainya di ruang tengah, aku memegang dadaku kemudian menekan kedua pipiku yang tengah merona.
"Ca."
"Eh ... nggih Umi. Pripun?"
"Kamu sakit? Pipimu kok merah?"
"Hehehe ... mboten Umi cuma gerah. Panas soalnya."
"Oh ... ya sudah ini Umi minta tolong kamu temeni Azmi nyari keperluan buat dibawa ke pondoknya nanti. Nanti Umi suruh Azzam nganter kalian."
Ya Allah bisa gak sih aku jangan ketemu sama Singa Garang dulu. Mati kutu tahu. Huhuhuhu.
