13. Laksana Tembok Berlin
*Azzam Daffa Al Kaivan*
Aku memarkirkan mobilku di garasi. Aku baru menyelesaikan segala urusanku mengenai beasiswa S3-ku di RMIT University yang terletak di kota Melbourne. Insya Allah seminggu lagi aku berangkat ke sana. Alhamdulillah ya Allah, cita-citaku akan terlaksana sebentar lagi.
Aku tertegun melihat sebuah mobil Avanza yang terparkir dihalaman berdampingan dengan mobil Xenia abah. Aku segera masuk ke rumah.
"Assalamu’alaikum"
"Wa’alaikumsalam."
Kulihat Abah dan Umi sedang menerima tamu yang ternyata orang tua Ning Salima. Bahkan Ning Salima ikut. Aku pun menyalami Abah, Umi, Kyai Miftah dan menangkupkan kedua tangan kepada istri dan anak Kyai Miftah.
"Baru pulang Zam?" tanya Abah.
"Nggih Bah."
"Lancar semua."
"Lancar Bah."
Abah tersenyum meneduhkan. Aku menoleh ke arah Kyai Miftah.
"Sampun dangu Pak Kyai?" tanyaku basa basi.
"Belum Gus, selamat atas wisudanya nggih Gus."
"Matur nuwun Pak Kyai."
Obrolan berlanjut pada hal-hal lain. Sesekali aku ikut menimpali tak enak rasanya harus pamit ke kamar padahal tubuhku lelah sekali.
"Coba dulu saya gak grusa grusu ya Pak Kyai, pasti gak salah pilih mantu," ucap Kyai Miftah.
Deg
Aku menatap bingung ke arah Abah dan Kyai Miftah. Kulihat Ning Salima hanya menunduk sedih. Ada apa ya?
"Mungkin memang belum jodohnya Pak Kyai," sahut Abah menenangkan.
"Nggih Pak Kyai memang belum jodohnya."
"Jadi rencananya mau bagaimana Pak Kyai?" tanya Abah.
"Saya akan segera mengurus perceraian mereka Pak Kyai. Saya tahu Allah membenci perceraian, tapi sebagai orang tua saya tidak ridho anak saya diperlakukan begini Pak Kyai," ucap Kyai Miftah.
Cerai? Siapa? Ning Salima dan Mas Fadilkah? Aku memilih diam dan mendengarkan mereka saja.
"Apa ndak bisa dibicarakan dulu Bu Nyai?" tanya Umi.
"Gak akan Bu Lik. Saya sudah gak tahan sama sikap Umi Laila, beliau selalu menyalahkan saya karena tak kunjung hamil. Mas Fadil juga tak pernah mau membela saya. Biarlah saya menjadi janda, Bu Lik. Tapi harga diri saya tidak diinjak-injak oleh mereka. Bagi saya jadi janda lebih terhormat daripada jadi menantu tapi tak dianggap," ucap Ning Salima.
"Maafkan saya Pak Kyai, saya tak bisa membimbing anak saya Fadil dengan baik." Sesal Abah dengan mata berkaca.
"Mboten Pak Kyai, ini salah saya karena mengedepankan berita rumor tanpa meminta penjelasan sama njenengan ataupun istikharoh. Jadi beginilah nasibnya."
"Dan salah saya karena terlalu silau dengan penampilan fisik tanpa mencoba menggapai ridho Allah melalui doa dan istikharoh, Pak Lik," sambung Ning Salima.
"Sudahlah Nduk. Kamu masih muda. Umi yakin nanti akan ada yang mau menerima kamu, mencintai kamu." Hibur Umi Khusnul, ibunya.
"Nggih Umi."
Cukup lama kami berbincang, akhirnya keluarga Kyai Miftah pamitan. Abah dan umi mengantar sampai teras depan. Sedangkan aku memilih membersihkan diri dan mengganti baju.
*****
Aku menuju balkon rumahku. Dari balkon ini bisa kulihat bangunan ponpes Al-Hikam untuk santri putra. Aku menghembuskan nafasku pelan mengingat kembali pembicaraanku dengan Ning Salima.
"Saya minta waktu njenengan bisa Gus?" pinta Ning Salima padaku.
Aku menoleh kepada Abah, Abah memberikan isyarat lewat anggukan kepalanya. Kami berbicara di ruang perpus dengan pintu terbuka sehingga terlihat dari luar.
"G-gus," ucap Ning Salima terbata.
"Nggih Ning."
"J-jika sa-ya sudah bercerai bisakah saya ...?"
"Mohon maaf Ning." Aku tahu apa yang akan dia sampaikan tapi sengaja kupotong. Aku tak mau dia merendahkan harga dirinya kepadaku.
"Maaf Gus, maaf jika saya terlalu lancang."
Hening.
"Gus, seandainya dulu kita jadi ta'arufan mungkinkah kita akan ... menikah?"
Aku menghembuskan nafas kasar.
"Entahlah Ning. Tapi yang saya tahu, seandainya saat itu kita ta'aruf belum tentu saya akan melamar njenengan karena memang fokus saya saat itu bahkan hingga sekarang belum ke arah perkawinan. Jadi ... maafkan saya."
"Tak selintaslah keinginan njenengan untuk ... untuk menikah dengan saya?"
Aku menghembuskan nafasku lagi. Pelan.
"Maaf Ning," lirihku.
"Apakah saya kurang cantik G-gus?"
"Bukan masalah cantik Ning, tapi hati. Maaf tapi hati saya tak sedikitpun ada rasa sama njenengan. Dan saya bukan tipikal orang yang akan menjalin hubungan jika tidak ada rasa. Sekali lagi maaf."
Kulihat dia tersenyum samar.
"Saya sungguh wanita bodoh Gus, bodoh. Kalau saja saya dulu tak gegabah setidaknya saya masih ada harapan menarik perhatian njenengan. Dan sekarang pun saya menjadi wanita bodoh lagi karena mengharap njenengan. Maaf Gus."
Sekali lagi, aku menghembuskan nafasku pelan kemudian meraup wajahku dengan kasar.
"Belum tidur Zam?"
"Eh Abah, belum Bah."
"Jangan dipikirkan omongan Kyai Miftah dan Ning Salima. Kamu tahu Abah tak pernah memaksa anak-anak Abah untuk menentukan cita-citanya termasuk wanita yang ingin dia nikahi. Abah hanya minta jangan salah gunakan kepercayaan Abah."
"Nggih Bah."
"Apa yang kamu lihat Zam?"
"Tembok Berlin, Bah."
Abah terkekeh mendengar celetukku begitupun dengan diriku sendiri.
"Kamu benar, tembok yang sudah berdiri semenjak kehadiranmu."
"Dan nampaknya semakin kokoh saja karena selalu di semen," kelakarku.
"Benarkah? Tapi sayang kualitas semennya buruk sehingga hanya mampu menambal kemudian rusak lagi karena tergerus air hujan dan panas.
Aku tersenyum mendengar omongan Abah. Lalu kami sama-sama diam untuk waktu yang cukup lama.
"Mengalir saja Zam, jadilah seperti air tenang. Simpanlah kekuatanmu itu hingga saat yang tepat gunakan energi yang tersimpan untuk membobol tembok Berlin itu kalau perlu ratakan."
"Nggih Bah."
Abah mengusap kepalaku lalu masuk kedalam rumah. Sekali lagi kupandangi kawasan pondok putra kemudian menghembuskan nafasku pelan. Aku tak tahu akan takdirku kedepan. Aku masih gamang untuk menentukan akan seperti apa peranku dalam kerajaan Al-Hikam, apakah sebagai hamba sahaya, penasehat atau malah Sang Raja.
Aku Azzam Daffa Al Kaivan.
