12. Dengerin Ghibah
"Ustazah, ini kita bikin patoknya ukuran 1m x 1m?"
"Iya, nanti kamu amati didalamnya individunya apa saja terus jumlah dan kemungkinan interaksi yang terjadi. Apa mutualisme, parasitisme, komensalisme atau netral," jawabku.
Hari ini kelas 10 IPA 1 sedang praktek materi ekosistem. Aku sengaja membawa mereka menuju ke sawah penduduk yang jaraknya 10 menit dari sekolahan. Dalam praktek ini, kami belajar sambil bermain. Sesekali menyapa para petani yang sedang memanen padinya. Bahkan ternyata sebagian besar sawah disini milik abah Ilyas yang tengah dipanen dengan mempekerjakan penduduk sekitar.
Saat sedang mengawasi kegiatan anak-anak. Segerombolan ibu-ibu menyapaku dan mengajakku ngobrol.
"Eh Ustazah cantik, njenengan Ustazah baru ya?" tanya salah seorang ibu sambil menggepyok padinya." Gepyok padi artinya merontokkan padi secara manual dengan memukulkannya pada sebuah alat khusus.
"Nggih Bu, nama saya Caca."
"Asli mana Us?" tanya yang lain.
"Kebumen." Aku selalu menyebut Kebumen kalau ditanya padahal KTP masih Jepara. Hihihi.
"Sudah menikah Us?"
"Belum Bu."
"Wah, masih single ini ibu-ibu. Sudah punya calon?" aduh ibu-ibunya ada 5 orang semuanya kepo.
"Belum."
"Semoga cepet ketemu jodoh. Eh, tapi siapa tahu berjodoh sama Gus Azzam," seru ibu berbaju merah.
Apa? Si ibu ih ... Ganteng sih emang guse tapi sifat songongnya itu loh. Amit-amit ... tapi tak aminin aja sih dalam hati.
"Wah mana saya berani Bu, lah wong Gus Azzam itu putra Kyai ya pasti nikahnya sama putri Kyai juga. Saya tah gak mau muluk-muluk cukup berdoa dikasih jodoh yang baik, soleh dan bertanggungjawab. Hehehe," jawabku.
"Sapa tahu jodoh loh Us? Orang Umi Aisyah aja bukan Ning tapi ndilalah jadi jodohnya Abah Ilyas," kata ibu-ibu berbaju cokelat.
Aku hanya tersenyum lalu mengalihkan obrolan ke hal lain. Ketika asik ngobrol dengan para ibu, kulihat Ning Salima tengah berjalan bersama salah satu abdi ndalem dan khadamah sepertinya dengan membawa makanan.
"Assalamu’alaikum," sapa Ning Salima ramah.
"Wa’alaikumsalam," jawab kami semua. Kami semua menyalimi Ning Salima dengan takdim.
"Mau mengantar makanan Ning?" tanya ibu-ibu berbaju merah.
"Iya Bu, sekalian jalan-jalan. Mari saya duluan."
"Mari."
Ning Salima berlalu menuju petakan sawah yang katanya milik keluarga suaminya.
"Kamu dengar gak sih." Ibu berbaju merah mulai ghibah lagi.
"Yang katanya Gus Fadil mau nyari istri lagi kan?" sambung ibu berbaju cokelat.
"Iya."
"Kasihan ya Ning Salima padahal orangnya baik loh."
Aku berpura-pura sibuk mengawasi anak-anak didikku tapi aslinya nguping juga.
"Iya padahal nikahnya kan baru 2 tahun sama Gus Fadil, kok langsung memvonis kalau Ning Salima mandul."
"Ya Allah, Gus Fadil bilang kayak gitu?"
"Bukan, tapi Bu Nyai Laila."
"Alah ... Bu Nyai yang sombong itu. Kemarin dulu, aku diminta sama Kang-kang pondok buat membantu ngrumat sawahnya aku emoh. Males berurusan sama beliau."
"Iyalah ... orang yang ngurusi sawahnya kan emang kebanyakan dari desa sebelah."
"Eh ... lanjutin yang tadi katanya Gus Fadil mau nikah lagi." Desak salah seorang dari mereka.
"Iya gitu katanya calonnya udah dipilih, Ning asal Cilongok masih punya hubungan saudara dengan keluarga Bu Nyai Laila," sahut ibu berbaju merah antusias.
"Katanya sebulan lagi nikah."
"Astaghfirulloh," ucap mereka kompak termasuk aku. Cuma aku mengucap dalam hati.
"Apa Abah Ilyas gak ngomongi gitu?"
"Alah kayak gak tahu aja. Mana mau Bu Nyai denger omongan Abah Ilyas kan bunya Bu Nyai masih dendam karena cintanya ditolak."
"Hahaha," mereka kompak tertawa.
"Lagian kalau saya jadi Abah Ilyas jelas milih Umi Aisyah lah sudah cantik, gadis lagi. Kalau ada gadis kenapa milih janda."
"Hahaha."
Ya Allah, Beneran ini ibu-ibu ghibahnya luar biasa tapi kok aku masih penasaran ya. Udahlah dengerin aja.
"Untung Umi Aisyah hamil ya, kalau enggak huh ... tuh mulut Bu Nyai Laila gak bakalan diem."
"Makanya, jadi orang itu harus hati-hati sama omongan kita. Takutnya kembali ke kita tuh omongan. Kalian lihat saja apa yang terjadi sama Bu Nyai Laila, sejak dulu ngomongin Umi Aisyah mandal mandul gak inget kalau omongan itu bisa berbalik sama diri sendiri."
"Kok berbalik Yu Sarni."
"Ya berbalik, buktinya kedua anaknya, kalian tahu kan Gus Fatur udah 5 tahunan nikah tapi belum juga punya anak, kabarnya juga dari 2 tahun yang lalu punya istri siri tapi juga belum punya anak. Kalau kejadian Gus Fadil belum bisa punya anak juga, mungkin akibat omongan buruk Bu Nyai sama Umi selama ini."
"Ooooo."
Aku memutuskan segera kembali ke sekolah selain karena takut dosa akibat kebanyakan dengar ghibahan yang jelas bikin aku kepo juga karena lima belas menit lagi jamku habis. Aku pun berpamitan dengan para ibu-ibu.
*****
"Kok kayaknya pada ramai kasak kusuk sih Us Shafa?" tanyaku saat duduk di ruang guru dan sedang istirahat kedua.
"Lagi ghibahin Gus Fadil yang mau nikah seminggu lagi," jawabnya santai sambil memakan roti bantal.
Aku melongo, "Jadi kabar yang kudengar sebulan yang lalu itu beneran?"
"Yap."
"Kok ... terus Abah sama Umi gimana tanggapannya?" tanyaku.
"Abah Ilyas sudah mengatakan keberatannya tapi gak direspon, Gus Fadil kan memang terlalu nurut sama emaknya. Kesannya anak mami. Aku dengar Abah marah sekali tahu."
"Kenapa harus dipoligami? Bukannya Ning Salima itu orangnya baik?" tanyaku.
"Katanya gak hamil-hamil padahal kan baru dua tahun. Pasangan yang baru dikaruniai anak setelah menikah bertahun-tahun juga banyak kan? Aku aja pas denger alasannya marah tahu, Us. Dan kehebohan kemarin terjadi di ndalem Gus Fadil. Istrinya dijemput sama keluarganya yang dari Pekalongan. Mereka gak terima anaknya diperlakukan seperti itu. Tapi mereka juga gak bisa marah sama Abah Ilyas toh yang memilih menikahkan Ning Salima sama Gus Fadil kan mereka sendiri."
Aku mengernyit dan langsung memandang Ustazah Shafa dengan sorot kepo minta diceritain.
"Aslinya Abah Ning Salima itu temen karib Abah. Dia itu kesengsem sama Gus Azzam walau waktu itu penampilan Guse you knowlah gondrong hihihi."
Aku ikut terkekeh. Iya Gus Gondrong yang tetep kelihatan ganteng.
"Beliau katanya meminta mereka dipertemukan, belum sampai tahap ta'aruf, tahu-tahu malah ada undangan pernikahan Ning Salima dan Gus Fadil."
"Oh gitu." Aku manggut-manggut.
"Makanya kamu ati-ati aja sama Bunyai Laila kalau bisa jauh-jauh dari dia. Tukang fitnah dia."
Aku mengangguk karena setelah tiga kali bertemu beliau, aku sudah bisa memastikan Bu Nyai Laila itu versi lain Lik Mirna. Dari sini aku bisa menyimpulkan bahwa karakter seseorang baik sebagai orang biasa atau kalangan santri tetap ada peran antagonis dan protagonis. Semua tergantung dari perkembangan mental dan olah emosi seseorang yang akan membentuk karakternya kelak.
