11. Penyusup
Satu bulan lamanya aku menjadi pengajar di SMA Al-Hikam. Awalnya grogi, gugup dan takut menjadi satu. Tapi lama-kelamaan akhirnya bisa beradaptasi.
"Us Caca," sapa ustazah Shafa, guru kimia.
"Ustazah Shafa. Hati-hati Us. Ckckck. Njenengan ini lagi hamil juga tetep gak bisa diem."
"Hehehe. Mau gimana lagi Us, udah bawaan dari orok hehehe." Ustazah Shafa adalah ustazah yang umurnya sebaya denganku sedangkan yang lain rata-rata sudah berusia di atas 30 tahun.
"Ustaz Ahmad gak jemput apa?"
"Nanti Us, katanya masih ada rapat dengan para Ustaz."
"Owh."
Suasana sepi, karena ini sudah pukul empat sore. Aku baru saja mendampingi ekskul Pramuka. Saat tengah melewati koridor kelas dua belas kulihat sekelebat anak yang tengah mengendap-ngendap seperti maling.
"Sebentar Us. Tunggu disini!"
Aku langsung melesat menuju si penyusup yang menggunakan helm dan berjaket tebal.
"Hei, siapa kamu!" teriakku.
Dia kaget dan akan berlari tapi kutarik jaketnya. Terjadi tarik-tarikan, dia meninju perutku. Aku terjatuh kesakitan lalu dia berlari tapi kukejar. Ustazah Shafa berteriak meminta tolong. Terjadi aksi kejar-kejaran seperti aksi film laga.
Dia terpojok olehku karena salah mengambil jalur dan tak ada pintu. Aku tahu dia terdesak olehku dan mau tak mau harus melewatiku. Tapi sekarang aku sudah siap.
Dia melayangkan tinjunya ke arahku dan aku mengelak. Kami terlibat adu jotos dimana sekarang aku tengah meringkusnya dengan memelintir kedua tangannya kebelakang. Kemudian menyeretnya menuju ruang kepala sekolah.
Ustazah Maryam sangat syok melihat ada penyusup masuk ke kompleks sekolah. Apalagi ketika dilihat ternyata si pelaku membawa kabur sejumlah uang, HP dan laptop. Dan lebih syok lagi karena ternyata si pelaku adalah salah satu santri putra. Gus Azzam, Gus Fadil dan beberapa ustaz dari pondok putra datang menuju kompleks SMA.
"Ya Allah, Ega! Kamu lagi rupanya!" bentak salah satu ustaz.
"Dia santri kita Ustaz," tanya Gus Fadil.
"Iya Gus, dia santri kita yang selalu membuat onar. Sudah banyak pelanggaran yang dia lakukan Gus. Kami semua sudah kewalahan menghadapinya."
Akhirnya si anak yang bernama Ega di sidang. Walaupun sudah dicerca dengan berbagai macam omelan Ega nampak cuek. Sorot matanya nampak aneh, aku melihat matanya memerah, banyak cekungan, pupil mata melebar dan tidak fokus. Fix ini pecandu narkoba. Kulihat hampir semua ustaz memarahinya hanya Gus Fadil yang masih tetap sabar menanyainya. Sedangkan Gus Azzam kulihat dia hanya diam tanpa berkomentar.
"Baiklah orangtuamu akan kami panggil. Entah kamu akan tetap mondok atau tidak tergantung kesepakatan antara kami dengan kedua orangtuamu."
Semua orang akhirnya meninggalkan ruang sidang. Gus Azzam yang paling terakhir keluar. Saat dia melewatiku aku berbisik.
"Dia pecandu Gus." Membuat Ustazah Shafa yang duduk di dekatku melebarkan matanya.
"Maksudmu?" tanya Gus Azzam.
Aku menghela nafasku pelan.
"Dari ciri fisik terutama matanya. Dia pecandu, pecandu narkoba."
Gus Azzam terdiam kemudian mengangguk. Dia pergi meninggalkan ruangan.
"Kamu keren tadi Us Caca. Suwer. Gak nyangka aku, ternyata kamu jago berkelahi."
Aku hanya tersenyum dan tak ingin menanggapi apapun.
*****
Kudengar dari Ipeh dan Nurul, kasus Ega berbuntut panjang, orang tua Ega bersikeras tetap memondokkan Ega sedangkan pihak pondok ingin mengeluarkannya. Bahkan Gus Azzam yang biasanya diam turut ikut campur. Katanya terjadi perdebatan sengit antara Bu Nyai Laila dengan Gus Azzam. Sesuatu yang tak pernah terjadi hingga entah hasil apa yang akhirnya disepakati. Yang orang-orang tahu, Gus Azzam mengajak Ega pergi ke sebuah tempat selama dua hari dua malam hingga ketika mereka kembali wajah Ega nampak sumringah. Sebelum berpamitan Ega yang baru kelas 10 meminta maaf kepada semua ustaznya bahkan dia meminta maaf padaku.
"Ustazah Caca, Ega minta maaf karena pernah memukul Ustazah. Doakan Ega ya, Ega mau rehabilitasi dulu. Nanti saat Ega sudah sembuh Ega akan balik lagi dan ketemu sama Ustazah Caca yang cantik dan keren."
Aku tersipu malu mendengar ucapan Ega. Duh, coba yang gombalin bukan berondong. Bakalan aku ajak nikah dia. Hahaha.
"Gak usah keganjenan," celetuk suara dingin. Aku meliriknya sinis, dia malah balik tersenyum mengejek. Dih dasar.
"Gus Azzam, terima kasih. Saya janji akan kembali. Saat saya kembali, saya harap Gus Azzam sudah jadi singa raja. Itu doa saya." Ega bicara lagi.
"Saya akan tunggu kamu Ega. Dan saat kamu kembali, saya harap kamu akan menjadi seseorang yang lebih berguna."
"Pasti Gus. Ega pamit Gus, Ustazah."
Kami mengantar Ega sampai dia masuk ke mobilnya, sebelum mobil melaju. Ega mengucapkan sesuatu yang membuatku tercengang.
"Gus, Ustazah. Semoga kalian berjodoh ya? Kalian cocok," ucapnya sambil melambaikan tangan dan tersenyum.
Baik aku dan Gus Azzam sama-sama kikuk karena bukan hanya kami berdua yang ada tapi ada Abah, Umi dan beberapa ustaz serta ustazah. Mereka semua nampak tersenyum simpul mendengar omongan Ega. Ya ampun.
Setelah kepergian Ega, ada satu hal yang masih mengganggu pikiranku. Aku tak paham maksud dari Ega, soalnya Gus Azzam juga diam saja, gak mungkin juga aku tanya sama dia kan? Ketika kutanyakan kepada Kang Bimo jawabnya 'rahasia'. Dih, Kang Bimo udah ketularan virus nyebelin gusnya.
