Bab 5
“Sarapan, bro?”
“Menurutmu? Hanya kau yang butuh makan di sini?” geram Morgan dan sepenuhnya diabaikan Oka karena pria itu sudah mulai menyiapkan menu makan pagi.
Seperti biasa, sarapan pagi Oka adalah makanan full protein. Karena Oka harus menjaga massa otot dan kekekaran tubuhnya. Ia perlu tubuh yang kuat. Berjaga dan siaga kalau keluarganya membutuhkan bantuan Oka untuk menyelesaikan masalah mereka. Maka ia menyiapkan sarapan full protein untuk dirinya dan Morgan. Sementara untuk Alice, dia menyiapkan menu yang berbeda. Omelet dan pancake.
Oka mengeluarkan telur dan dada ayam tanpa kulit dari dalam lemari es dan mulai memasak daging ayam dalam airfrye berteknologi tinggi miliknya. Sementara menunggu, ia mengocok telur untuk membuat omelet dan menyiapkan adonan pancake. Oka sedang membuat jus brokoli dan menyediakan air putih ketika melihat ke arah Morgan yang berpangku tangan di sebelah Alice. Mata Oka bersinar tidak suka. “Tidak mandi?” tanya Oka sambil menaikkan alisnya. Morgan menatap malas padanya. Oka yang tidak suka ia duduk di sebelah Alice berupaya mengusirnya.
“Kenapa? Tuan Collins terganggu dengan bauku? Alice bahkan tidak terganggu. Oh, apakah Tuan Collins akan bercinta denganku?” goda Morgan dengan berani. Alice mengikik di dekatnya.
Sebuah piring melayang dan Morgan dengan tangkas menangkapnya sebelum piring itu menyambar kepalanya atau jatuh ke lantai dan hancur berkeping. “Nice shot, Mister Collins!”
“Mau coba sekali lagi?” tanya Oka, nadanya seperti madu tapi mengancam. Bahkan, tangan kanan pria itu sudah meraih pisau panjang dan mengabaikan Alice yang terkesiap.
“Tidak, terima kasih, Tuan,” jawab Morgan tenang dan meletakkan piring itu di atas meja makan dengan kesopanan yang luar biasa lalu menggebah dirinya menuju kamar mandi tamu. Oka tersenyum menenangkan ke arah Alice.
“Jangan takut, manisku. Kami hanya bercanda,” hibur Oka seraya menghidangkan menu yang sudah siap ke meja makan.
Morgan menyelesaikan ritual mandinya dengan cepat. Setelahnya pun ia mengarahkan langkah kaki ke kamar lemari pakaian Oka dan tanpa canggung mencari pakaian Oka untuk ia kenakan. Kaus polo biru navy dan celana kain warna khaki menjadi pilihannya. Morgan mematut di depan cermin, puas dengan penampilannya, ia memburu langkah kembali ke ruang makan. Alice dan Oka tampak mesra berdua, saling menyuapkan makanan.
“Kurasa, pakaian yang kau kenakan adalah milikku, Tuan Maxwell!” gerutu Oka ketika menoleh ke arah Morgan dan mendapati pria itu memakai pakaiannya. Morgan terkekeh.
“Dan tampak luar biasa padaku, Tuan Collins.”
“Aku berharap pakaian itu kembali ke lemariku dalam kondisi bersih, 24 jam dari sekarang!”
Morgan tidak menanggapi itu, ia terus memotong daging dada ayam dengan seringai konyol, dan mengunyah dengan kecapan dengan suara yang menjijikkan. Oka menggelengkan kepalanya, mengambil garpu yang sudah selesai ia gunakan dan melemparkannya ke arah Morgan. Namun, tidak disangkanya lemparan itu hanya mengenai ruang kosong saat pria menjengkelkan itu memiringkan kepalanya dan terkekeh dengan cibiran.
Morgan dan Oka memang sering bercanda tanpa bermaksud serius untuk melukai. Saking dekatnya mereka, dia juga sudah terbiasa memenuhi perintah Oka. Dan perintah pagi ini jelas. Ia harus mengikuti Oka, mengintai dan menjaga Alice di coffe shopnya. Dan Oka tidak suka jika perintahnya terlalu lama diluluskan.
Oka membawa Alice, bergandengan tangan menuju ke lantai basement-nya dan menuju ke satu mobil berwarna hitam. Morgan mengikuti dengan malas-malasan di belakang Oka. Sebuah Mercedess Benz The W223 S-Class berwarna hitam terparkir di sana dan kuncinya terbuka dengan suara ceklikan pelan dan kilap lampu kekuningan, bersamaan dengan Oka memencet remote di tangannya.
Oka membuka pintu penumpang untuk Alice, membuat wanita itu tersipu senang dan Morgan mencibir di belakang. Sebal dengan perlakuan sok gentleman Oka yang ia tahu hanya dikeluarkan oleh sahabatnya saat pria tersebut berharap lebih dari seorang wanita incarannya.
“Manisku, aku akan mengantarmu dan menunggui selama kau bekerja, apakah tidak mengapa?” tanya Oka selama mereka berkendara menuju ke tempat kerja Alice, sebuah coffershop bernama Brooklyn Blend.
“Kamu akan menungguiku selama aku bekerja?” tanya Alice takjub.
“Tentu, sweetheart. Apa yang tidak aku lakukan untuk wanita semanis dirimu?” ujar Oka bak perayu ulung. Morgan yang duduk di jok belakang, menatap keluar dengan pandangan bosan.
“Morgan bersamaku, Choco Girl. Jangan khawatir.”
“Yeah. Dan akan berakhir Morgan yang mengawasimu, Choco Girl. Paling banter dia molor,” desis Morgan ke arah kaca hingga tak seorangpun yang mendengar kalimatnya.
Tentu saja, pada akhirnya Morgan berjaga di dalam Mercedes Benz yang diparkir di dekat Brooklyn Blend, sebuah coffeshop tempat Alice bekerja. Sedangkan Oka, yang semula online melalui ponsel pintarnya, berakhir dengan tidur setelah menurunkan sandaran jok. Ia membiarkan Morgan berjaga sendiri, mengawasi bagian depan Brooklyn Blend dan memperhatikan setiap orang yang masuk.
Bahkan selama menunggu, jika Oka membutuhkan makanan atau minuman, Morgan pula yang keluar dari mobil untuk membelinya.
Menjelang jam kepulangan Alice, Morgan mendadak menegakkan punggung dan mengarahkan pandangan tajam ke pintu masuk Brooklyn Blend. “Oho! Kau tidak akan suka ini, Tuan Collins.”
Oka tidak bergerak, dan tetap rebah di sandaran jok yang rendah. Morgan menoleh ke arahnya dan berwajah ceria lalu berkata, ”Baiklah. Selesai sampai di sini kisah Alice dan Oka, rupanya. Great! Ayo pulang.”
“Apa maksudmu, Morg,” ucap Oka santai tanpa merubah posisinya. Matanya bahkan masih terpejam dengan nyaman.
“Aku barusan melihat sekelompok gangster masuk ke Brookyn Blend. Aku tidak tahu bagaimana rupa Brad. Tapi, tidak seorangpun di sana ada yang mirip Brad Pitt,” kata Morgan santai. Oka membuka mata dan bangkit dari posisinya. Ia memindai area depan Brooklyn Blend.
“Aku tidak suka ini, Morg,” ujarnya.
“Oya? Kukira kau hobi terperangkap di dalam mobil selama lebih dari enam jam hanya untuk memelototi kaca depan coffeshop. Oh, tunggu! Aku yang melakukan itu. Sebagian besar waktumu di sini kau pakai tidur, asshole!” omel Morgan. Oka mengabaikan omelan itu karena di dalam Brooklyn Blend telah terjadi kericuhan dan Oka membuka pintu mobil untuk memburu ke coffeshop. Morgan mengikuti di belakangnya.
Gerombolan gangster yang disebutkan oleh Morgan sedang mengamuk di dalam coffeshop. Salah satu pria paling besar di sana bahkan sedang berusaha menyeret Alice keluar dari konter. Oka merangsek masuk ke dalam coffe shop dan Morgan dengan setia mengikuti meskipun mulutnya mengomel tanpa suara.
“Cari lawan yang sepadan denganmu, Brad!” seru Oka mengejutkan separuh Brooklyn Blend. Pria besar yang sedang mencengkeram leher Alice menoleh dan matanya menatap galak ke arah Oka.
“Itu dia bajingan yang meniduri pacarku! Bunuh dia!” geramnya tanpa melepas leher Alice.
Gerombolan dengan jumlah dua kali lebih banyak daripada gangster yang mengeroyok Oka sekarang menoleh ke arah Oka dan Morgan dengan tatapan buas. Sebagian besar dari mereka membawa tongkat bisbol dan sebagian lain mengeluarkan pisau lipat.
“O … o … saatnya berpesta, Oka,” desis Morgan di samping Oka dengan senyum miring yang menjadi khas-nya.
