Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4

Morgan memastikan wanita itu ‘bersih’ dan dia membuka pintu sambil mengomel keras dalam hati. “Silakan masuk, Miss. Tunggulah di sini sementara aku panggilkan Oka.” Morgan mengantar Alice melewati foyer dan menunggu di ruang tamu sementara dia berderap masuk kembali ke kamar tidur utama dan langsung menuju kamar mandi.

“What the hell! Fucking shit! Aku masih lelaki normal, Morg! Brengsek!” Oka terburu menutup tubuh perkasanya ketika Morgan menerjang masuk kamar mandi tanpa permisi.

“Kau! Meniduri pacar preman Brooklyn!”

“Jaga mulutmu!”

“Jaga burungmu!”

Oka tertawa dengan suaranya yang berat. Ia keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk di seputar pinggang dan menggosok kepalanya dengan handuk yang lebih kecil. Morgan berdiri di depannya, tinggi mereka setara dengan postur tubuh luar biasa. Tangan kanan Morgan menempel di dada telanjang Oka.

“Singkirkan tanganmu atau kupatahkan!” desis Oka kejam.

“Pakai bajumu dan temui Alice Wellington, you motherfucker!”

“Alice di sini?” tanya Oka kaget dan Morgan memutar matanya. Nyaris saja Oka tidak bisa menahan diri dan menonjok Morgan. Dia tidak suka ada yang memutar mata di depannya. Terasa merendahkan!

Hanya karena ada Alice yang menunggunya di ruang tamu saja yang menghentikan Oka menghajar Morgan di tempat. Oka bergegas menampik tangan kanan Morgan dengan kasar lalu berjalan menuju ruang closet untuk memilih baju. “Boleh minta tolong, Morg? Tolong sediakan kami minum.”

“Brengsek, bacot busuk! Aku bukan kepala pelayanmu, Tuan Collins!” maki Morgan hanya untuk ditertawakan Oka. Morgan keluar kamar tetapi entah mengapa malah menuju dapur dan menyiapkan minuman untuk Alice. Tentunya sambil bersumpah serapah.

Morgan mendatangi ruang tamu sambil membawa baki yang diatasnya hanya tersedia satu minuman untuk Alice. Oka juga tiba di ruang tamu bersamaan dengan Morgan. Alice sontak berdiri dan menghambur ke pelukan Oka, lalu menangis di lehernya.

Oka dengan luwes menangkap tubuh Alice lalu berputar sehingga Alice membelakangi Morgan dan dirinya yang menghadap ke arah Morgan. Tepat waktu! Karena di detik Alice menangis, detik itu juga Morgan memamerkan gestur akan muntah. Oka mengedipkan mata jahil.

“Tenanglah, Alice … tenang, Choco Girl,” Oka mengelus lembut punggung Alice. Selama Oka menenangkan Alice, Morgan mendekat sambil mulutnya terus mengomel tanpa suara. Oka mengkode dengan tangan yang lain agar Morgan meletakkan minuman di meja dekat dirinya dan Alice.

“Aku … aku mi-minta maaf, Oka,” isak Alice yang sudah mulai melepas pelukannya.

“Hei, It’s not your fault. Bukan salahmu, sayang,” ujar Oka dan ia melihat Morgan mencibir ke dinding. Oka meraih gelas minuman, gerakannya seolah akan melempar ke Morgan yang reflek menunduk. Ternyata Oka hanya mengambil gelas minum untuk dia berikan pada Alice. Tetapi tampang Oka luar biasa jahil ketika melihat ke arah Morgan yang keki.

“Minumlah, dear …,” hibur Oka.

“Ka-kamu tidak apa-apa?” Alice masih mengisak dan Oka mempertontonkan wajah menderita, seolah ia telah kehilangan sesuatu yang berharga.

"Sebenarnya ada sesuatu yang serius , ingin aku bicarakan denganmu, Oka," ucap Alice gemetar.

Oka mengernyit. Dengan perasaan heran, dia bertanya, "Apa itu?"

Bukannya langsung bicara, Alice malah tampak makin gugup. Oka mendekat padanya dan meletakkan tangannya yang besar di lutut Alice yang gemetar.

“It's okay, Alice. Jangan khawatirkan aku," jawab Oka menenangkan wanita yang sedang ada di hadapannya saat ini dan melanjutkan kalimatnya dalam hati, “Pacarmu yang babak belur.”

“Oka nyaris terluka, untunglah patroli polisi lewat sehingga Oka selamat. Aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi padanya kalau tidak ada patroli polisi,” imbuh Morgan manipulatif, tidak jauh berbeda dengan Oka.

Dari balik sikap dinginnya, Morgan sengaja tunjukkan ekspresi kesedihan, untuk menambah keyakinan dari drama yang sudah Morgan dan Oka skenariokan. Mendengar semua ini, Alice spontan menumpahkan derai air mata lagi, di balik katupan kedua tangan ke wajah cantiknya.

Alice terlihat sekali, menyesali apa yang terjadi pada pria yang disukainya ini. Perasaan empati Alice muncul, ketika cinta juga memberikan simpati.

Oka melemparkan tatapan tajam ke arah Morgan ketika Alice menutup wajah dan Morgan mengangkat bahu sambil menyeringai jelek. Bisa-bisanya Morgan bilang Oka bakal kalah. Hah!! Dua pria yang bersahabat itu saling memaki tanpa suara selama Alice menangis sambil menutup wajahnya. Oka mengacungkan jari tengah ke arah Morgan lalu memasang wajah sedih tapi tabah ke arah Alice.

“Apa yang ingin kau bicarakan, Choco Girl?” tanya Oka lembut. Alice menggeleng sedih sambil menundukkan kepala. Oka merengkuh kepala Alice dan memintanya mendongak hanya untuk menemukan mata wanita itu basah oleh air mata.

“Jangan khawatirkan Morgan. Apa yang ada di sini tidak akan pernah bocor keluar,” ujar Oka dengan nada datar. Namun, tatapannya melembut ke arah Alice. Morgan yang mendengar suara Oka tersenyum miring, ia bisa melihat punggung Alice lebih relaks saat Oka berkata seperti itu.

“Br-Brad mungkin akan memukulku jika ia datang ke apartemenku malam ini. Mu-mungkin ia akan menemuiku di coffeshop. A-aku takut, Oka,” isak Alice.

Oka menatap datar ke arah Alice. Tentu saja dia tahu tabiat Brad. Memangnya bagaimana bisa Alice sedemikian mudah jatuh ke pelukannya jika Brad adalah kekasih yang baik?

Karena Oka tahu Brad suka memukuli Alice makanya Oka memutuskan untuk mendekati wanita ini. Agar Alice tahu, dunia tidak hanya berputar di sekitar Brad. Ada lelaki lain yang lebih baik dari pria brengsek itu.

“Alice, Dengar. Aku baik-baik saja. Dan, sejujurnya … aku tahu tabiat buruk Brad. Aku minta maaf karena membawamu ke situasi yang tidak menguntungkan begini.” Oka bicara dengan lembut ke arah Alice. Kedua tangannya masih merengkuh wajah Alice dan memaksa wanita itu untuk terus menatapnya.

“Aku akan melindungimu. Hm? Kami akan mengantarmu dan menjagamu selama kamu bekerja di coffeshop. Kami akan berada di tempat yang Brad tidak bisa melihat, bahkan kamupun tidak akan menyadari kehadiranku dan Morgan,” kata Oka cukup jelas dan tegas.

Di belakang wanita itu, Morgan berdiri tegap laksana tentara yang menjaga perbatasan dan wajahnya serius meski memutar mata lagi ke arah Oka. Walaupun pria berbadan kekar itu tampak keberatan dengan kalimat Oka tetapi ia tidak mendebatnya.

“Mak-maksudmu?” Alice bertanya bingung.

"Aku dan Morgan akan menjagamu dari jauh. Berlakulah biasa. Jangan takut, Brad tidak akan bisa mendekatimu. Kamu tidak perlu terlalu takut, manisku. Sekarang, ayo kita sarapan sebelum mengantarmu bekerja,” ujar Oka dengan nada manis.

“Oka … aku—aku ….” Dan Alice tidak bisa menyelesaikan kalimatnya karena Oka meraih kepala Alice dan melekatkan bibirnya ke bibir Alice. Oka melumat bibir Alice dengan ganas, seolah akan menyedot habis seluruh pasokan udara di paru-paru wanita itu. Alice menyambar lengan atas Oka dan mengelus tendon kekarnya. Mereka berciuman makin intens. Morgan melotot membuat bola matanya seakan meloncat keluar. Dan dia mengacungkan tinju ketika Oka tidak kunjung menyudahi ciumannya. Morgan bersiap menendang vas bunga ketika Oka mendadak berdiri dan menarik Alice yang oleng karena mendadak diajak berciuman sedemikian panas. Oka memeluk tubuh langsing Alice dan memutarnya seolah berdansa, tapi langkahnya jelas. Ia menuju ke ruang makan.

“Bajingan!” Bisikan Morgan hanya untuk Oka setelah yakin Alice tidak bisa mendengarnya. Oka yang mendengar bisikan itu bersikap cuek dan meninggalkan Alice di ruang makan sementara dirinya memutari konter dapur dan mulai bekerja di balik konter sambil dipandangi Alice dengan mata terpesona.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel