Bab 3
New York pagi hari.
Oka membuka mata perlahan-lahan dari kasur empuk di apartemen mewahnya di Manhattan. Meskipun semalam ia baru saja berkelahi melawan enam orang, tidak ada tanda-tanda luka di tubuhnya. Matahari pagi yang cerah menerobos masuk melalui jendela, cahaya itu yang membangunkan Oka.
Dengan gerakan lincah, Oka bangkit dari tempat tidurnya dan bergegas menuju ruang olahraga pribadi. Baginya, rutinitas pagi yang melibatkan latihan karate adalah kewajiban untuk menjaga stamina dan kekuatannya selama ini
Setelah berganti pakaian olahraga yang nyaman, Oka mulai melakukan pemanasan dengan gerakan-gerakan yang lembut namun penuh konsentrasi. Tiap tarikan napas dan gerakan tubuhnya dipenuhi dengan keahlian yang telah ia latih begitu lama.
Tepat ketika Oka bersiap untuk memulai latihan karate yang intens, telepon genggamnya berdering. Dia mengambil ponsel dan melihat panggilan masuk dari Alice. Tanpa ragu, Oka menerima panggilan itu. Lega mengetahui wanita itu masih bisa menghubunginya.
"Pagi, Choco Girl! Apakah aku begitu mempesonamu sehingga sepagi ini kau sudah merindukanku?" sapa Oka dengan suara hangat. Alice tidak langsung menjawab. Ia tidak merespon candaan Oka.
"Oka, apakah kau baik-baik saja?" jawab Alice dengan nada khawatir.
Oka mengenali nada tidak tenang itu. Pasti ini ada hubungannya dengan peristiwa pengeroyokan semalam. Brad—kekasih Alice—tentu melampiaskan marahnya pada Alice juga. Terbersit rasa khawatir di hati Oka.
"Aku baik-baik saja, Alice. Bagaimana denganmu? Ada sesuatu yang ingin kau bicarakan?" tanya Oka sambil menyalakan speaker agar bisa melanjutkan gerakan pemanasan.
"A-aku akan menemuimu di apartemen. Apakah tidak apa-apa?" tanya Alice dengan serius.
Oka menghentikan gerakannya sejenak, menyadari mendesaknya nada Alice. Mungkin wanita ini butuh perlindungan. Oka menghentikan gerakan pemanasan dan fokus kepada Alice.
"Please, Alice. Datanglah. Pintu apartemenku terbuka untukmu," jawab Oka dengan tegas. Alice mendesah pelan, terdengar sedikit lega.
“Aku akan ke sana,” ujar Alice cepat dan memutuskan sambungan
Oka mematikan sambungan ponselnya. Dia jadi berubah pikiran setelah berbicara dengan Alice. Mungkin lebih baik kalau latihan hari ini diganti jogging saja.
Oka meninggalkan apartemennya di Manhattan. Udara segar dan semangatnya membara ketika dia memutuskan untuk pergi jogging ke Central Park. Dengan sepatu olahraga hitam dan pakaian yang nyaman, memilih rute Central Park West.
Oka mulai berlari di sepanjang sisi barat Central Park, melewati gedung-gedung bersejarah Museum Sejarah Alam Amerika. Ia menuju ke arah barat menuju Jalan 8th Avenue, lalu belok ke utara menuju Central Park. Oka melanjutkan melalui jalan-jalan kota dan melintasi Columbus Circle menuju Central Park West.
Ia menoleh ke kanan dan menikmati arsitektur bangunan utama museum dan pusat sains modern yang dirancang seperti tumpukan salju besar, yaitu Gilder Center. “Sepertinya akan segera dibuka,” pikir Oka.
Saat melintasi jalan-jalan yang sibuk, Oka mempercepat larinya. Gedung-gedung pencakar langit menjulang tinggi di sekitarnya, berkelebat di sekitar Oka. Cahaya pagi yang sinarnya memantul di antara bangunan-bangunan megah, menyinari dan menghangatkan pria yang berlari sepanjang pedestrian.
Tak lama setelah memulai joggingnya, Oka melihat sahabatnya, Morgan Maxwell, sedang duduk di sebuah bangku di dekat jalur lari. Oka mendekatinya dengan wajah heran.
“Bro!” sapa Morgan, ia mendekati Oka untuk bersalaman dengan penuh semangat.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Oka dengan tatapan curiga.
“Jogging, bro. Menurutmu?!”
“Entahlah. Sesuatu terselubung? Dari Hoboken ke Central Park? Yeah, right!” Oka meragukan jawaban Morgan dan terbukti sekarang Morgan terbahak dengan kalimat pedas Oka yang mempertanyakan mengapa Morgan yang tinggal di Hoboken harus pergi sejauh 4,1 mil untuk jogging di Cental Park?
Oka memutuskan mengabaikan keberadaan sahabatnya di sekitar apartemen miliknya. "Kemarin Rose menghubungiku, dia ingin aku pulang ke Indonesia di akhir bulan ini," kata Oka sambil mengatur napasnya. "Dia ingin aku hadir di peresmian perusahaan miliknya dan keluargaku pun sudah merindukanku."
“Kamu yakin? Mungkin mereka memancingmu datang supaya papamu bisa menendangpantatmu!” tukas Morgan kasar, membalas kalimat pedas sahabatnya. Oka mendengus dan meninju bahu Morgan yang kemudian terkekeh.
“Kita harus batalkan kembali rencana untuk naik ke Everest, Morg.” ujar Oka sambil membetulkan tali sepatunya.
Morgan mengangguk dan menatap jauh ke depan, mencoba mengingat kembali momen-momen indah yang mereka alami di pegunungan. "Toh, kita tidak pernah sampai di puncak Everest. Kita cuma ingin bersantai dan menemukan wanita. So, kalau kamu mau membatalkan, no problem."
Oka dan Morgan melanjutkan jogging mereka di Central Park. Keduanya tampak luar biasa dengan postur nyaris setara. Morgan memiliki tinggi badan yang sama dengan Oka, 187 sentimeter. Namun, perawakan Morgan sedikit lebih besar. Morgan bisa saja dikira US Navy, hanya saja ia memiliki rambut sedikit gondrong yang membuatnya tampak urakan.
Selepas jogging, Morgan mengikuti Oka pulang ke apartemennya. Oka sudah bisa langsung menduga, kalau semalam Morgan menghabiskan waktu dengan wanita di sekitar Manhattan dan sekarang terlalu malas untuk pulang. Lebih memilih ikut ke apartemen Oka.
“Pria brengsek!” desis Oka sambil menyeberangi ruang tamu.
“Siapa? Kau?” ujar Morgan yang mengikutinya. Oka mendengus tertawa, ia mengabaikan sahabatnya dan enteng saja menarik kaus yang ia kenakan melalui leher dan menarik lepas melewati kepala, memamerkan punggung kekarnya.
“Woohoo! Apa ini?? Ada yang berpesta semalam?” Morgan yang mengejar Oka dan mendorong tinjunya ke bahu belakang Oka.
“Akh!”
“Pria brengsek yang manja?” ejek Morgan dengan satu alis terangkat. Oka yang merasa nyeri di bagian belakang bahunya yang ditekan Morgan, berusaha melongok bahu belakang tetapi tidak berhasil. Akhirnya Oka menggunakan pantulan bayangannya di kaca dan mendapati bahu belakangnya memar.
“Darn it!” makinya pelan. Morgan terkekeh mendengar Oka emosi. Ia mendorong bahu memar Oka sekali lagi membuat pria itu mengerang kasar. “Aku mendapat hadiah dari pria-pria Brooklyn.”
“Perlu bantuan menampar mereka?” ejek Morgan.
“Shut up, Morg!” bentak Oka sambil masuk ke kamar mandi meninggalkan ruang tengah yang sekarang menggemakan tawa Morgan.
Selama Oka mandi, Morgan bergerak bebas di dalam apartemen Oka. Mereka memang sudah bersahabat lama dan saling mengandalkan satu sama lain. Well, kalau dari segi kekayaan, Morgan lebih sering mengandalkan Oka karena dia dari kalangan biasa yang kebetulan bisa dekat dengan Oka yang seorang putera multi bilyuner.
Namun, meskipun Oka putera sulung seorang multi bilyuner Indonesia, tetapi pria itu tidak pernah membawa nama ayahnya untuk menguntungkan diri sendiri. Selama mereka berpetualang bersama, Morgan sering melihat Oka berdiri melawan dengan kedua kakinya sendiri, tidak pernah ia merengek kepada papanya yang memiliki harta maupun kekuasaan yang tidak bisa diremehkan.
Morgan mengangkat bahu ketika menyalakan digital MP4 player canggih milik Oka. Segera saja suara John Legend mengalun lembut dalam All of Me-nya. Dan Morgan mengangkat alis. Lagu romantis? Yeah, right!
“Hoi, Moron! Wanita mana lagi yang kau rayu kemarin!” teriak Morgan ke arah kamar mandi. Tentu saja teriakannya sia-sia karena Oka walaupun mendengar tentu saja akan mengabaikan. Morgan baru saja hendak meneriaki Oka lagi ketika suara bel pintu apartemen berbunyi. Morgan membatalkan teriakannya kemudian menuju ke foyer sambil menggerutu.
Morgan belajar pada kehidupan Oka yang entah bagaimana bisa keras dan berbahaya. Ia tidak langsung membuka pintu tapi memeriksa melalui kamera pengawas. “Tentu saja!” gerutu Morgan secepat matanya selesai memindai kamera pengawas.
Pada kamera itu terpantul citra seorang wanita. Kulitnya sedikit kecoklatan, entah asli ataukah hasil dari berjemur di bawah matahari. Rambut panjangnya berwarna coklat keemasan. Wanita ini memiliki mata yang cantik yang saat ini memancarkan kekhawatiran.
“Siapa?” tanya Morgan setelah memencet tombol interkom.
“Uhm, ehm, apakah Oka ada? Dia baik-baik saja?” tanya wanita tersebut tanpa bisa menyembunyikan nada khawatir.
“Motherfucker!” maki Morgan dalam hati. “Yea, ada. Dia ada. Dan pria itu baik-baik saja. Boleh aku tahu siapa namamu, Miss?”
“Alice. Alice Wellington.”
