Bab 4: Godaan di Dapur
Beberapa minggu berlalu sejak insiden "sentuhan tak disengaja" di dapur. Insiden yang bagi Oscar terasa seperti kemenangan kecil, sebuah sinyal bahwa batas tipis antara mereka mulai kabur. Obsesi Oscar terhadap Devina semakin mengakar kuat, semakin sulit disembunyikan, bahkan dari dirinya sendiri.
Setiap kali ia berada di rumah Anya, matanya akan secara otomatis mencari Devina, melacak setiap gerakannya. Ia terpesona oleh setiap gerakan wanita itu, setiap tawa renyahnya, bahkan setiap helaan napas yang menaik-turunkan dada montoknya.
Fantasinya semakin liar, semakin detail, dan ia merasa sudah saatnya mengubah fantasi-fantasi gila itu menjadi kenyataan, sedikit demi sedikit, satu sentuhan pada satu waktu.
Suatu sore, Oscar datang ke rumah Anya tanpa pemberitahuan sebelumnya, sebuah keberanian yang didorong oleh hasrat membara. Ia sudah mencari tahu jadwal Anya; ia tahu kekasihnya ada bimbingan skripsi di kampus yang biasanya baru selesai larut sore.
Ia juga tahu bahwa Devina biasanya ada di rumah sendirian pada jam-jam itu, mengurus urusan rumah tangga. Jantungnya berdebar kencang, memompa darah ke seluruh tubuh dengan irama tak beraturan, saat ia menekan bel rumah yang sepi. Devina membuka pintu, mengenakan daster rumahan berwarna hijau muda yang menyejukkan mata, namun dengan potongan leher yang menampilkan belahan dada rendah. Aroma masakan dari dapur menguar lembut, bercampur dengan aroma tubuh Devina yang samar, sebuah kombinasi yang langsung membius indra Oscar.
"Oscar? Aduh, kok tidak bilang mau ke sini? Tante kan jadi tidak siap-siap," Devina tersenyum ramah, namun ada sedikit nada terkejut di suaranya, sedikit gugup mungkin.
"Maaf, Tante. Oscar cuma mau numpang ambil buku Anya yang ketinggalan waktu itu," jawab Oscar, tersenyum lebar dan sebisa mungkin terlihat lugu. Alasan yang ia siapkan terdengar masuk akal, sebuah kebohongan putih yang sempurna.
"Sekalian mau tanya soal tugas, siapa tahu Tante bisa bantu, kan Tante lebih tahu banyak."
"Oh, begitu. Anya belum pulang dari bimbingan, lho. Mungkin sekitar setengah jam lagi," kata Devina sambil membiarkan Oscar masuk, menggeser tubuhnya sedikit untuk memberi ruang. "Tante lagi masak di dapur, kalau mau ditemani, silakan saja. Tidak apa-apa."
"Tentu saja, Tante," Oscar mengangguk cepat, antusiasme palsu terpancar dari wajahnya.
"Oscar sekalian mau tanya-tanya itu sambil Tante masak."
Mereka berdua menuju dapur. Devina kembali sibuk dengan masakannya, mengaduk sup ayam di panci besar dengan gerakan terampil. Oscar berdiri di sampingnya, lebih dekat dari yang seharusnya, jarak yang terasa intim. Ia bisa merasakan kehangatan yang memancar dari tubuh Devina, mendengar deru napasnya yang tenang, bahkan suara kain daster yang bergesek pelan setiap kali Devina bergerak.
Pandangannya tak henti mengamati setiap gerak-gerik Devina. Payudaranya yang besar dan kencang bergerak-gerak di balik daster setiap kali Devina mengulurkan tangan mengambil bumbu atau membungkuk sedikit untuk mengecek masakan di bawah.
Oscar merasa nafsunya melonjak lagi, hampir tak terkendali, sebuah gelombang panas membakar di bawah perutnya.
"Tante masak apa?" tanya Oscar, suaranya sedikit serak, lebih dalam dari biasanya.
"Sup ayam, Oscar. Anya suka sekali sup buatan Tante," jawab Devina, tersenyum sambil menunjuk ke panci dengan sendok sayur.
Oscar mencondongkan tubuhnya, pura-pura melihat isi panci, seolah benar-benar tertarik pada sup ayam. Ini adalah kesempatannya, momen yang ia cari. Dengan sengaja, ia membiarkan lengan atasnya menyentuh lengan Devina.
Sentuhan itu tidak disengaja lagi; ada tekanan ringan yang disengaja, sentuhan yang lebih dari sekadar "tidak sengaja." Devina sedikit terkesiap, tubuhnya menegang sesaat, namun yang membuat jantung Oscar berdebar lebih kencang adalah: Devina tidak menarik diri. Ia tetap di posisinya. Oscar tahu Devina merasakannya, sentuhan yang disengaja ini.
"Baunya enak sekali, Tante," bisik Oscar, suaranya kini lebih rendah, lebih intim, nyaris tak terdengar. Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Devina, seolah ingin berbagi rahasia. Oscar mengambil napas dalam, menghirup aroma Devina. Aroma sampo yang wangi, sabun mandi yang segar, dan aroma khas kulit wanita dewasa yang memabukkan, semuanya bercampur menjadi satu, menciptakan sebuah aroma yang Oscar mulai gandrungi dan ia dapati sangat adiktif.
Devina menoleh sedikit, matanya yang indah bertemu dengan mata Oscar. Ada kerlingan aneh di sana, sebuah campuran antara kaget, bingung, dan... sesuatu yang lain, sesuatu yang Oscar tidak bisa identifikasi tapi ia yakini adalah sinyal. Sesuatu yang membuat Oscar semakin berani, semakin terdorong untuk melangkah lebih jauh. Rona merah tipis yang familiar kembali muncul di pipi Devina, menjadikannya tampak semakin menarik di mata Oscar.
Oscar tidak menunggu. Dengan gerakan halus namun cepat, ia membiarkan punggung tangannya menyentuh punggung tangan Devina yang masih memegang sendok sayur. Sentuhan itu berlangsung sedetik, kemudian dengan sengaja, jari-jarinya merayap naik, menyentuh pergelangan tangan Devina, lalu lengan atasnya, seperti laba-laba yang merayap perlahan. Ia melakukannya dengan gerakan lambat, seolah tidak sengaja, namun tatapannya tak pernah lepas dari mata Devina, mengukur setiap reaksi kecil wanita itu.
Devina menarik tangannya, tapi tidak dengan kasar atau terkejut. Gerakannya terasa lambat dan penuh keraguan.
"Oscar, nanti supnya tumpah," katanya, suaranya sedikit bergetar, pandangannya beralih ke panci, menghindari tatapan Oscar.
Oscar menyadari bahwa Devina tidak sepenuhnya menolak. Ada keraguan di sana, sebuah kebimbangan yang memicu Oscar untuk melangkah lebih jauh, mendorong batas yang ada.
"Maaf, Tante. Oscar terlalu penasaran," Oscar tersenyum miring, senyum yang ia tahu bisa memikat dan berhasil mendapatkan apa yang ia inginkan.
Ia melangkah sedikit mundur, namun tidak melepaskan intensitas tatapannya dari Devina.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang tegang, hanya suara adukan sup yang terdengar.
Devina tampak gelisah, sesekali melirik Oscar, tatapan mereka beradu singkat sebelum Devina kembali fokus pada pancinya. Oscar tahu ia telah menanamkan sesuatu, sebuah kecurigaan, sebuah godaan yang kuat. Batasan mulai terkikis, tembok pertahanan Devina mulai runtuh. Ia bisa merasakan pergeseran kecil dalam atmosfer antara mereka, sebuah ketegangan seksual yang tak terucap, namun sangat terasa, memenuhi seluruh ruangan.
Tepat ketika Oscar hendak mencari alasan lain untuk menyentuh Devina, suara kunci berputar di pintu depan. Anya pulang. Oscar dan Devina saling pandang panik sesaat, sebuah momen singkat yang penuh dengan pengakuan diam-diam. Devina segera memutar tubuhnya menghadap panci, melanjutkan mengaduk sup dengan gerakan terburu-buru, mencoba terlihat sesibuk mungkin.
Oscar, dengan senyum tenang dan ekspresi tanpa dosa, melangkah mundur ke meja makan, berpura-pura mengagumi desain dapur.
"Ma! Oscar sudah datang?" seru Anya dari ruang tamu, suaranya riang seperti biasa.
"Sudah, Sayang. Sini, sudah Tante siapkan es buah," jawab Devina, suaranya berusaha terdengar normal dan tidak tercekat. Oscar melihat tangannya sedikit gemetar saat mengangkat mangkuk sup untuk dipindahkan.
Oscar tahu, ia telah berhasil. Ia telah melangkah melewati batas. Dan ia tidak akan berhenti sampai Devina sepenuhnya berada dalam genggamannya. Apa pun yang harus ia lakukan untuk itu.
