Bab 3: Sentuhan yang Tak Disengaja
Setelah insiden yang mendebarkan di area jemuran, pikiran Oscar semakin dipenuhi oleh Devina. Bayangan setiap lekuk tubuhnya yang tertampak samar di balik daster tipis tak pernah hilang, seolah terpampang nyata di retina matanya.
Setiap kali Anya mengajaknya ke rumah, ada adrenalin yang membuncah dalam dirinya, campuran antara harapan dan kecemasan. Ia bukan lagi datang hanya untuk Anya, melainkan juga untuk Devina.
Oscar mencari-cari setiap kesempatan, setiap celah, untuk bisa berduaan dengan Devina, untuk sekadar melihat, menikmati pemandangan yang memabukkan, atau kalau mungkin, menyentuh.
Obsesinya telah tumbuh menjadi monster yang lapar, tak pernah merasa cukup, selalu menginginkan lebih.
Suatu sore, beberapa hari kemudian, Oscar datang ke rumah Anya setelah menyelesaikan kuliahnya. Ia melihat motor skuter matik berwarna merah milik Anya sudah terparkir rapi di garasi, jadi ia tahu pacarnya sudah pulang. Namun, saat masuk ke dalam rumah yang biasanya ramai, suasana terasa sepi. Hanya terdengar samar-samar suara air mengalir dari arah dapur, diselingi dentingan piring.
"Tante Devina?" panggil Oscar perlahan, suaranya sedikit ragu, namun ada nada penasaran yang tak bisa disembunyikan.
"Oh, Oscar? Masuk, masuk! Jangan sungkan!" sahut suara Devina dari dapur, terdengar ceria dan hangat. "Anya lagi ke kamar mandi sebentar, katanya mau keramas."
Oscar berjalan pelan menuju dapur. Pemandangan yang menyambutnya langsung membuat perutnya bergejolak, gairah kembali membakar dari dalam. Devina sedang memotong buah-buahan segar untuk membuat es buah, tangannya lincah bergerak di atas talenan.
Ia mengenakan kaus rumahan longgar berwarna putih yang dipadukan dengan celana pendek selutut berwarna gelap. Kaus putih itu, meskipun sengaja dibuat longgar, masih mampu menampakkan siluet payudara Devina yang besar dan kencang, naik turun mengikuti setiap gerakannya. Celana pendeknya menonjolkan paha berisi dan betis jenjangnya yang mulus, terlihat begitu kencang dan sehat. Oscar merasakan panas menjalari tubuhnya.
"Wah, lagi bikin es buah, Tante?" tanya Oscar, mencoba bersikap senormal mungkin, berusaha menyembunyikan getaran dalam suaranya. Tapi matanya tak bisa lepas dari gerakan tangan Devina yang lincah mengupas mangga, kulitnya yang kecokelatan terlihat begitu lembut dan bersih.
"Iya, nih. Cuaca Semarang panas begini paling enak minum es buah yang segar," jawab Devina sambil tersenyum manis, senyum yang bagi Oscar terasa seperti undangan. Wanita itu sama sekali tidak menyadari tatapan intens dan penuh hasrat yang dilayangkan Oscar padanya.
Oscar berdiri di dekat meja dapur, berpura-pura tertarik pada proses pembuatan es buah yang sebenarnya tidak begitu ia perhatikan. Aroma manis buah-buahan seperti mangga, melon, dan stroberi bercampur dengan aroma tubuh Devina yang samar, menciptakan kombinasi memabukkan yang merangsang indra Oscar.
Ia merasakan ereksi kembali muncul, mendorong celananya hingga terasa sesak dan kaku. Oscar mengutuk dirinya sendiri karena begitu mudahnya terangsang hanya dengan melihat Devina, dengan setiap detail kecil dari penampilannya.
"Oscar, bisa tolong ambilkan es di freezer?" pinta Devina, menunjuk kulkas besar di sudut dapur. "Es batunya sudah di kantong, kok."
"Oh, tentu, Tante," Oscar bergegas membuka freezer dengan sedikit canggung. Saat ia mengambil kantong es batu dari dalam, tubuhnya sedikit condong ke arah Devina yang masih sibuk mengaduk buah di mangkuk besar. Entah sengaja atau tidak, siku Oscar sedikit menyenggol punggung Devina. Sebuah sentuhan yang singkat, nyaris tak terasa, namun bagi Oscar itu adalah sebuah ledakan.
Devina terkesiap pelan, tubuhnya sedikit bergetar karena sentuhan tak terduga itu.
"Ups, maaf, Oscar," katanya, sedikit memutar tubuhnya, matanya menatap Oscar sesaat.
"Maaf, Tante, Oscar yang tidak hati-hati," balas Oscar, jantungnya berdebar kencang, memompa darah dengan kecepatan luar biasa.
Sentuhan singkat itu, bahkan hanya di punggung Devina yang terbalut kaus tipis, sudah cukup untuk mengirimkan gelombang listrik ke seluruh tubuhnya, merambat dari ujung jari hingga ke seluruh syarafnya. Ia bisa merasakan kehangatan tubuh Devina, kelembutan kulitnya yang tipis terlapisi kain kaus.
Devina melanjutkan pekerjaannya, seolah tidak terjadi apa-apa, mungkin menganggapnya sebagai kecerobohan belaka. Oscar berdiri di sampingnya, dengan tangan sedikit gemetar, menuangkan es batu ke dalam mangkuk besar berisi es buah.
Pandangannya tak sengaja jatuh pada lengan atas Devina yang mulus, otot bisepnya sedikit terbentuk dari gerakan mengaduk yang berulang. Kemudian matanya bergerak naik ke bahu Devina, yang tertutup kain kaus putih, lalu naik lagi ke lehernya yang jenjang, di mana beberapa helai rambut basah menempel di kulitnya.
"Sudah cukup ya, Tante?" tanya Oscar, suaranya sedikit parau, berusaha keras terdengar normal.
"Iya, sudah, Oscar. Terima kasih banyak, ya," jawab Devina. Ketika Devina mencoba mengangkat mangkuk besar berisi es buah yang sudah hampir penuh, ia terlihat sedikit kesulitan, mungkin karena bebannya cukup berat.
Oscar melihat celah emas, sebuah kesempatan yang tak akan ia sia-siakan.
"Biar Oscar bantu, Tante," katanya cepat, dan tanpa menunggu persetujuan, ia segera mengambil alih mangkuk itu dari tangan Devina.
Jemari mereka bersentuhan lagi, kali ini lebih lama. Oscar sengaja menahan sentuhan itu sedikit lebih lama dari yang seharusnya, merasakan kelembutan kulit Devina yang hangat, telapak tangannya menempel erat pada punggung tangan Devina.
Ia melihat Devina sedikit terkesiap lagi, dan ada rona merah tipis yang perlahan muncul di pipi wanita itu. Apakah Devina menyadarinya? Apakah ia merasakan sentuhan disengaja Oscar? Atau hanya perasaannya saja yang terlalu berlebihan? Harapan melambung di dada Oscar.
Mereka membawa es buah ke meja makan yang ada di tengah ruang makan. Oscar masih bisa merasakan kehangatan dari sentuhan Devina yang tertinggal di tangannya, seolah cap panas yang tak kasat mata. Ia duduk berhadapan dengan Devina, menikmati es buah yang segar, namun pikirannya tak pernah jauh dari wanita di depannya. Setiap gerakannya, setiap senyumnya, setiap rona merah di pipinya adalah godaan yang tak pernah henti, sebuah undangan yang semakin jelas di mata Oscar.
Tak lama kemudian, suara siraman air dari kamar mandi berhenti, diikuti langkah kaki yang mendekat.
Oscar dan Devina saling pandang sesaat, sebuah momen singkat yang terasa seperti mengandung banyak makna tersembunyi, sebuah rahasia yang hanya mereka berdua tahu. Beberapa detik kemudian, Anya keluar dari kamar mandi, mengenakan handuk di rambutnya yang masih basah.
"Wah, ada es buah!" seru Anya riang, suaranya memenuhi ruangan, menghampiri meja makan dengan senyum lebar. "Mama baik sekali, tahu saja Anya kepanasan habis seminar!"
Oscar tersenyum pada Anya, memberikan senyum terbaiknya, senyum seorang pacar yang setia dan penuh kasih. Namun, dalam hatinya, ia sudah merencanakan bagaimana ia akan menciptakan "sentuhan tak disengaja" lainnya.
Obsesinya terhadap Devina tidak hanya terus bertumbuh, tapi juga semakin berani, semakin nekat, mencari cara untuk merengkuh apa yang terlarang itu, apa pun risikonya.
