Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5: Tercekat di Dapur

Ketegangan yang tak terucap di antara Oscar dan Devina tumbuh subur, tak terlihat sedikit pun oleh Anya. Setiap pertemuan di rumah kini terasa seperti permainan kucing kucingan yang berbahaya, di mana Oscar adalah pemburu yang haus, dan Devina, entah disadari atau tidak, adalah mangsa yang enggan, namun tak sepenuhnya menolak.

Obsesi Oscar semakin berakar kuat, hasratnya terhadap Devina tak lagi bisa ia bendung. Aroma dosa itu semakin pekat, menggodanya untuk melangkah lebih jauh Lagi.

Suatu malam, sekitar pukul delapan, Oscar menelepon Anya. Suasana di luar sudah mulai gelap, hanya diterangi lampu-lampu jalan yang menerangi malam.

"Sayang, aku antar tugas ke rumah teman sebentar. Kamu sendirian di rumah? Mama kamu ke mana?" tanyanya dengan nada suara dibuat santai, berusaha terdengar normal.

"Nggak kok, Mama ku ada di rumah. Paling lagi di ruang keluarga nonton TV atau di dapur," jawab Anya santai, suaranya terdengar renyah di ujung telepon. "Mau ke sini setelah itu? Aku sudah selesai bimbingan, nih."

"Mungkin. Lihat nanti ya. Kalau sudah selesai cepat, aku ke sana," Oscar memutuskan, senyum licik tersungging di bibirnya. Ia punya rencana lain, sebuah rencana yang sudah ia matangkan berhari-hari.

Setelah memutus panggilan telepon, Oscar tidak pergi ke rumah temannya. Ia langsung mengarahkan motornya ke rumah Anya, melaju dengan kecepatan sedang, jantungnya berdebar kencang. Ia tahu Devina mungkin sedang menonton televisi atau melakukan hal lain di dalam rumah, dan Anya masih di kamarnya. Ini adalah kesempatan emas, sebuah momen yang telah ia nantikan dengan penuh antisipasi.

Benar saja, saat Oscar tiba, motor Anya memang sudah terparkir di garasi, namun lampu kamar Anya masih terang, ia mungkin masih asyik di kamarnya, entah sedang bersiap untuk tidur atau membaca buku. Rumah terasa sepi, hanya ada suara televisi samar dari ruang keluarga, mengindikasikan Devina memang ada di dalam.

Oscar melangkah masuk tanpa mengetuk, karena pintu gerbang otomatis sudah terbuka. Ia melangkah hati-hati menuju ruang keluarga. Ia menemukan Devina di dapur, punggungnya menghadap pintu, sedang menyiapkan teh hangat.

Wanita itu mengenakan daster biru muda yang sama persis seperti saat menjemur pakaian beberapa hari lalu, namun kali ini ia tidak mengikat rambutnya. Rambut hitam panjangnya tergerai indah, menutupi sebagian punggungnya, menambah pesona Devina.

"Tante?" panggil Oscar lembut, suaranya sedikit serak, memecah keheningan yang intim.

Devina tersentak kaget, hampir menjatuhkan teko porselen yang sedang ia pegang. Air teh hangat sedikit tumpah. Ia berbalik dengan cepat, matanya membelalak melihat Oscar yang tiba-tiba sudah berada di belakangnya. Ada rona merah tipis muncul di pipinya, perpaduan kaget dan sedikit rasa bersalah karena ketahuan sendiri bersama pacar anaknya dalam kondisi seperti itu, di mana hanya ada mereka berdua di dapur.

"Oscar? Astaga, kok sudah di sini? Bukannya tadi mau ke rumah teman dulu?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar, berusaha menenangkan diri.

Oscar tidak menjawab. Ia melangkah mendekat, perlahan namun pasti, seolah sebuah predator yang mengintai mangsanya. Sorot matanya tajam, penuh hasrat yang tak lagi bisa ia sembunyikan.

Devina mundur selangkah demi selangkah, hingga tubuhnya menabrak meja dapur di belakangnya. Matanya membelalak panik, menatap Oscar dengan campuran takut dan cemas yang kentara.

"Ada apa, Oscar?" suaranya nyaris berbisik, berusaha menyembunyikan ketakutan yang menjalar. Ia tahu ada sesuatu yang berbeda dari tatapan Oscar malam ini.

Oscar tidak peduli dengan pertanyaan Devina. Nafsunya sudah di ubun-ubun, membakar seluruh akal sehatnya. Ia meraih pergelangan tangan Devina, mencekalnya lembut namun tegas, lalu menariknya mendekat hingga tubuh Devina menempel pada meja dapur yang dingin.

Devina mencoba melepaskan diri, meronta pelan, tapi Oscar terlalu kuat. Kekuatan seorang pria muda yang dipenuhi nafsu tak bisa dilawan oleh seorang wanita paruh baya.

Tanpa basa-basi, Oscar membungkuk dan langsung mencium bibir Devina. Ciuman itu mendesak, penuh nafsu, tanpa izin, sebuah invasi yang tak terduga.

Devina memberontak, memalingkan wajah, mencoba menghindar, tapi Oscar menangkup rahangnya dengan tangan yang satu, memaksa Devina untuk menerima pagutannya. Awalnya, ciuman itu terasa menjijikkan bagi Devina, sebuah serangan tak terduga yang menginvasi ruang pribadinya, sebuah pengkhianatan yang tak pernah ia bayangkan. Ia memejamkan mata erat, mencoba menahan diri untuk tidak memekik atau berteriak.

Namun, ciuman Oscar terus berlanjut, semakin dalam, melumat, menghisap bibirnya dengan paksa. Lidah Oscar memburu masuk, mengajak lidah Devina menari dalam pagutan panas yang penuh dosa. Di tengah gejolak penolakan dan rasa bersalah yang menusuk, tubuh Devina bereaksi secara spontan, di luar kendalinya. Sebuah sensasi asing, sekaligus familiar, mulai menjalari tubuhnya.

Pemberontakannya perlahan melemah, dan tanpa sadar, ia mulai membalas ciuman itu, meskipun masih dengan ragu dan air mata yang terus menggenang di pelupuk matanya.

Saat bibir mereka masih terpaut dalam ciuman yang memabukkan itu, tangan Oscar bergerak lincah. Satu tangannya menekan punggung Devina ke meja, menjebaknya agar tak bisa bergerak, sementara tangan yang lain dengan cepat meremas payudara Devina yang besar dan kencang di balik daster tipis.

Jemarinya yang kuat memijat gundukan kenyal itu, menarik putingnya yang sudah menegang akibat rangsangan yang tak terduga. Devina tersentak, sebuah rintihan tertahan lolos dari tenggorokannya, suaranya tertelan oleh pagutan bibir Oscar. Sensasi itu terlalu membanjukkan, terlalu memalukan, tapi di saat yang sama, rasa nikmat yang mengejutkan itu membakar seluruh tubuhnya, meruntuhkan sisa-sisa pertahanannya.

Devina ingin berteriak, ingin memaki, ingin mendorong Oscar menjauh, tapi takut Anya mendengar. Bayangan Anya yang mungkin saja keluar dari kamar mandi kapan saja membungkamnya.

Ia hanya bisa pasrah, membiarkan tubuhnya bereaksi di luar kendalinya, merasakan hasrat yang telah lama terkubur kini bangkit kembali. Air mata terus mengalir di pipinya, perpaduan rasa bersalah yang teramat dalam, jijik atas dirinya sendiri, dan hasrat yang tak lagi bisa ia sembunyikan.

Ini adalah pacar anaknya, pemuda yang seharusnya menjadi menantunya, namun kini ia berdiri di sana, mencekik Devina dalam pelukan nafsu yang tak terucap, menggerayangi tubuhnya, dan membangkitkan gairah yang telah lama ia kubur dalam-dalam, jauh di lubuk hatinya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel