Bab 2: Pemandangan di Jemuran
Sejak sore yang menyesakkan itu, bayangan Devina dalam daster longgar yang menampakkan setiap lekuk tubuhnya yang menggoda tak pernah lepas dari pikiran Oscar.
Itu bukan sekadar bayangan, melainkan sebuah film pendek yang terus berputar di benaknya, adegan demi adegan yang selalu berujung pada satu titik: sensasi panas yang membakar di celananya saat Mama Anya tertawa, suara renyahnya yang seolah mengelus telinganya, dan goyangan lembut payudaranya yang montok masih begitu nyata, menghantuinya siang dan malam.
Oscar mencoba mengalihkan perhatiannya dengan tenggelam dalam tugas kuliah yang menumpuk, atau menghabiskan waktu lebih banyak dengan Anya, kekasihnya yang ceria. Ia bahkan mencoba menyibukkan diri dengan olahraga dan bermain game online bersama teman-temannya. Namun, semua sia-sia. Setiap kali ia memejamkan mata, wajah Devina dengan senyum ramahnya yang terlalu akrab, dan tubuhnya yang berisi lagi singset, muncul begitu saja, lebih nyata dari kenyataan. Oscar merasa terjebak dalam lingkaran setan obsesi yang semakin dalam.
Beberapa hari kemudian, kebetulan datang lagi, seolah takdir memang bersekongkol dengan hasrat terlarangnya. Hari itu, Anya ada kelas tambahan di kampus, sebuah seminar yang molor hingga sore hari. Ia menelepon Oscar, suaranya sedikit cemberut, meminta Oscar menjemputnya sedikit lebih siang dari biasanya.
Oscar memutuskan untuk datang lebih awal, dengan alasan klise yang ia persiapkan matang-matang: ingin mengerjakan tugas di rumah Anya sambil menunggu. Sebuah alasan sempurna yang tak akan menimbulkan kecurigaan.
Setibanya di rumah, pintu pagar sudah terbuka, Devina menyambutnya di teras dengan senyum hangat yang sama, senyum yang kini terasa seperti jebakan manis. Devina mengenakan daster rumahan biasa, kali ini berwarna biru muda polos dengan motif garis-garis tipis, tampak sederhana namun entah mengapa justru semakin menonjolkan lekuk tubuhnya yang aduhai.
Rambutnya diikat asal ke belakang dengan cepol sederhana, memperlihatkan lehernya yang jenjang dan putih, sebuah pemandangan yang menambah pesona alami Devina.
"Anya belum pulang ya, Tante?" tanya Oscar, mencoba menahan pandangannya agar tidak terlalu terpaku pada Devina, namun matanya secara otomatis jatuh pada area dadanya sebelum kemudian naik ke wajahnya.
"Belum, Oscar. Paling sebentar lagi. Aduh, biasa itu seminar memang suka molor, ya. Kamu tunggu saja di ruang tengah, atau mau ditemani di dapur kalau mau ngopi atau minum jus?" jawab Devina sambil membawa keranjang cucian yang penuh dengan pakaian basah.
Dari keranjang itu tercium aroma deterjen yang segar, bercampur dengan wangi khas tubuh Devina yang samar.
"Tante mau jemur pakaian dulu di belakang, mumpung masih ada matahari." Ucapnya Lagi.
"Ah, tidak usah, Tante. Oscar bantu saja kalau begitu," ucap Oscar spontan, tanpa berpikir panjang.
ini adalah kesempatan emas yang ia tunggu-tunggu, kesempatan untuk melihat Devina lebih dekat, di luar pengawasan Anya, tanpa alasan yang mencurigakan. Jantungnya berdebar tak karuan.
Devina tampak sedikit terkejut dengan tawaran tak terduga itu, namun kemudian senyum manis merekah di bibirnya.
"Wah, tidak usah repot-repot, Oscar. Kamu kan tamu, harusnya duduk manis saja."
"Tidak apa-apa, Tante. Sekalian Oscar gerak-gerak, tadi seharian di kampus cuma duduk terus," balas Oscar, beranjak dari sofa dengan langkah mantap dan mengikuti Devina menuju area jemuran di belakang rumah.
Sebuah adrenalin menjalari tubuhnya, perasaan mendebarkan karena akan segera menyaksikan pemandangan yang ia impikan.
Area jemuran itu cukup luas, berlantai keramik kasar anti-slip, dikelilingi pagar tinggi yang membuat mereka tersembunyi sepenuhnya dari pandangan tetangga, memberikan privasi yang sempurna. Beberapa pot tanaman hias tertata rapi di sudut, menambah kesan asri. Matahari siang masih cukup terik, memancar hangat di kulit, namun semilir angin sesekali berembus, membuat suasana tidak terlalu gerah.
Devina mulai mengeluarkan pakaian dari keranjang, merentangkannya satu per satu di tali jemuran yang terbuat dari kawat baja. Oscar berdiri agak di belakangnya, pada jarak yang cukup aman namun juga strategis, membiarkan pandangannya menikmati pemandangan di depannya, setiap gerakan Devina adalah sebuah tontonan yang memabukkan.
Daster biru muda itu menempel samar di tubuh Devina, menyoroti setiap gerakannya, seolah ia mengenakan selubung tipis yang justru menonjolkan lekuk tubuh. Ketika Devina mengangkat tangan tinggi-tinggi untuk menjepit pakaian di tali jemuran yang lebih tinggi, kain daster itu sedikit terangkat, menyingkap betisnya yang jenjang dan berisi, terlihat mulus tanpa cela.
Oscar menelan ludah, jakunnya naik turun. Pandangannya tak bisa lepas, terhipnotis oleh pemandangan itu. kemudian, adegan yang paling ditunggu Oscar tiba. Devina membungkuk untuk mengambil pakaian dari keranjang di kakinya, sebuah keranjang rotan yang diletakkan di lantai.
Saat itulah, mata Oscar membelalak, napasnya tercekat. Daster itu tertarik ke atas, mengikuti gerakan tubuhnya, menampakkan lekuk bokongnya yang sintal dan bulat, terbungkus kain tipis daster yang seolah menyatu dengan kulitnya. Dan yang lebih lagi, setiap kali ia menegak atau membungkuk, payudaranya yang besar dan kencang bergoyang-goyang di balik kain daster yang tipis, mengikuti setiap gerakan tubuhnya yang lentur.
Pemandangan itu bagai magnet raksasa bagi mata Oscar, menariknya tanpa ampun. Ia merasa tubuhnya kembali panas, seperti terbakar dari dalam, darahnya berdesir hebat di seluruh nadinya, dan ereksi tak terhindarkan kembali menyerang dengan kekuatan penuh. Celana panjangnya kembali terasa sesak, seolah ingin meledak. Oscar buru-buru memalingkan wajah, berpura-pura melihat tanaman di sudut halaman, menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, mencoba mengendalikan gairah liarnya.
Devina tampak tidak menyadari tatapan intens Oscar atau perubahan fisik yang dialaminya. Ia terus menjemur pakaian dengan gerakan lincah dan biasa, sesekali bersenandung kecil. Terkadang, ia akan berbalik dan tersenyum pada Oscar, menanyakan hal-hal ringan tentang kuliah Anya, tentang rencana liburan mereka, atau bahkan tentang cita-cita Oscar di masa depan.
Setiap kali Devina berbalik, Oscar harus mengendalikan dirinya mati-matian, berjuang keras untuk memasang ekspresi datar, takut obsesinya yang menjijikkan ini akan terbaca jelas di matanya. Ia bahkan sampai bergeser sedikit agar ereksinya tak terlihat.
Hampir sepuluh menit mereka berada di sana, dalam keheningan yang dipenuhi suara jepitan pakaian dan desiran angin.
Oscar membantu Devina memindahkan keranjang cucian yang sudah kosong, dan saat jemari mereka bersentuhan lagi, saat Oscar mengambil alih pegangan keranjang, sensasi panas itu kembali, menjalar dari ujung jari hingga ke seluruh tubuh.
Ini bukan sekadar sentuhan biasa, ini adalah sentuhan terlarang yang selalu berhasil memicu gairah gelap dalam dirinya, sebuah janji tersembunyi yang ia yakini ada di sana.
Saat mereka kembali ke dalam rumah, Oscar merasakan kepalanya sedikit pening, bukan karena panas matahari yang menyengat, melainkan karena gejolak nafsu yang tak pernah surut setiap kali ia berada di dekat Devina. Aroma tubuh Devina yang bercampur dengan wangi deterjen masih tercium jelas, menempel di hidungnya, semakin memperparah keadaannya. Ia tahu, obsesi ini semakin dalam, semakin sulit dikendalikan. Dan di lubuk hatinya yang paling gelap, yang paling jujur, ia tidak ingin mengendalikannya. Ia menikmati siksaan manis ini.
Tak lama kemudian, suara bel pintu terdengar nyaring, memecah kesunyian dan mengakhiri momen berdua mereka. Itu Anya, akhirnya pulang dari kampusnya. Oscar menghela napas, bersiap untuk kembali ke peran sebagai pacar yang setia dan penuh kasih, menyembunyikan semua rahasia gelapnya. Namun, bayangan Devina yang menjemur pakaian, dengan setiap lekuk tubuhnya yang bergoyang-goyang di balik daster tipis, sudah terpatri kuat dalam benaknya, menjadi fantasi baru yang akan menemaninya di malam-malam yang panjang.
