Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 1: Aroma Dosa yang Menggoda

Sore itu, terik Matahari Semarang masih menyengat di kulit, menusuk pori-pori, meski jam sudah menunjukkan pukul empat. Langit barat mulai memudar, namun sisa panas siang hari masih tertahan di udara, seolah enggan beranjak.

Oscar Nugraha menghela napas panjang, merentangkan tangan sejenak, aktifitas hari ini yang terasa mencekik lehernya. Kemeja putihnya sudah sedikit lengket di punggung, menyisakan jejak seharian beraktivitas di bawah tekanan. Kuliah hari ini, dengan segudang presentasi dan diskusi yang menguras energi, cukup menguras tenaga dan pikirannya. Namun, pikiran untuk menjemput Anya di rumahnya selalu berhasil mengusir lelah.

Sebuah janji manis, sebuah jeda dari rutinitas yang monoton, selalu menjadi motivasi utamanya. Anya Paramitha, pacarnya yang berusia 21 tahun, adalah gadis ceria dengan senyum yang selalu menghangatkan hati Oscar, layaknya secangkir kopi di pagi hari yang dingin. Baginya, Anya adalah paket lengkap, sebuah impian yang terwujud di hadapannya: cantik dengan kulit sawo matang khas Indonesia, cerdas dengan pemikiran yang tajam, dan berasal dari keluarga yang mapan, memberikan kesan stabilitas yang selalu didambakan Oscar.

Semua temannya iri pada Oscar, sering melontarkan pujian tentang betapa beruntungnya dia memiliki Anya. Namun, bukan hanya senyum Anya yang membuat Oscar bersemangat setiap kali bertamu ke rumah bergaya modern minimalis itu. Ada magnet lain yang lebih kuat, lebih berbahaya, sebuah tarikan tak kasat mata yang selalu menariknya ke rumah itu, jauh melampaui sekadar kerinduan pada kekasihnya. Magnet itu bernama Devina.

Setibanya di rumah Anya yang asri, dengan taman kecil di depan dan deretan pot bunga anggrek yang tertata rapi, Oscar disambut Devina di ruang tamu. Pintu gerbang besi yang otomatis terbuka mengantar Oscar ke halaman berubin bersih, tempat ia memarkir mobilnya. Aroma melati dari sudut taman menyambutnya, bercampur dengan wangi pengharum ruangan yang samar-samar.

Mama Anya, begitu Oscar selalu memanggilnya dengan penuh hormat, tersenyum hangat, senyum yang selalu terasa terlalu ramah untuk seorang ibu pacar, seolah mengandung makna tersembunyi yang Oscar sendiri tak berani mengurainya.

Usianya sudah 42 tahun, sebuah angka yang bagi banyak wanita akan menunjukkan tanda-tanda penuaan, tapi Devina seolah menolak untuk tunduk pada gravitasi. Tubuhnya masih singset, kulitnya kencang nyaris tanpa kerutan, terutama di sekitar mata yang masih memancarkan kilau muda.

Devina terlihat lebih muda dari usianya, seolah waktu berhenti berputar khusus untuknya. Hari ini, Devina mengenakan daster longgar bermotif bunga-bunga kecil berwarna pastel. Kain katun itu jatuh begitu saja mengikuti lekuk tubuhnya yang berisi, tidak ketat namun cukup untuk memperlihatkan gundukan payudara yang kencang dan pinggul yang montok yang seolah menari lembut setiap kali ia bergerak. Oscar merasakan tenggorokannya kering.

"Anya masih di kamar mandi, Oscar. Aduh, biasa itu anak gadis, dandan tidak habis-habisnya," ujar Devina sambil terkekeh pelan, suaranya renyah dan merdu.

Ia melambaikan tangannya, mempersilakan Oscar di sofa empuk berwarna krem yang terletak di tengah ruangan.

"Ayo, duduk dulu, jangan sungkan."

Oscar mengangguk, mencoba menyembunyikan getaran aneh di dadanya yang mulai bergemuruh. Ia duduk, punggungnya sedikit kaku, matanya tak bisa lepas dari Devina yang bergerak anggun menuju dapur yang terhubung langsung dengan ruang keluarga.

Setiap langkah Devina, ayunan lembut pinggulnya, dan cara daster itu bergeser di tubuhnya, bagai tarian lambat di mata Oscar, sebuah simfoni gerakan yang memabukkan. Otaknya mulai memproduksi fantasi-fantasi liar yang sering menghantuinya akhir-akhir ini, gambaran-gambaran yang seharusnya tidak pernah terlintas tentang ibu dari kekasihnya. Sebuah gejolak yang memalukan namun tak bisa ia kendalikan.

"Mau teh atau kopi, Oscar? Atau mungkin jus dingin saja untuk menyegarkan tenggorokan?" suara Devina membuyarkan lamunan Oscar, suaranya terdengar begitu dekat, seolah ia bisa merasakan kehangatan napas Devina. Ia berbalik, memegang dua cangkir di tangannya, menatap Oscar dengan senyum manis.

"Teh saja, Tante. Terima kasih," jawab Oscar, suaranya sedikit tercekat, berjuang untuk terdengar normal. Ia melirik jam dinding di atas televisi, berharap Anya tidak terlalu lama, berharap kehadiran Anya bisa memecah keheningan yang menyesakkan ini. Bukan karena tidak sabar ingin berkencan dengan Anya, melainkan karena setiap menit yang dihabiskannya berdua saja dengan Devina di ruangan itu adalah siksaan. Siksaan yang ia nikmati secara diam-diam, sebuah dosa yang terasa manis.

Devina kembali dengan dua cangkir teh hangat beraroma melati, mengepulkan uap tipis yang menenangkan. Ia menyerahkan satu cangkir pada Oscar, jari-jari mereka bersentuhan sesaat.

Sentuhan singkat itu, secepat kilat, namun terasa seperti sengatan listrik. Sensasi hangat menjalar di ujung jari Oscar, lebih dari sekadar suhu cangkir porselen yang ia pegang. Ia memaksakan senyum, berusaha menyunggingkan ekspresi yang paling alami, sambil mati-matian berusaha mengusir bayangan-bayangan yang menari-nari di kepalanya.

Di sisi lain, Devina duduk di sofa tunggal di hadapan Oscar, menyilangkan kaki, mengambil tegukan tehnya dengan anggun. Kakinya yang jenjang, meski tertutup daster, masih terlihat menarik.

Obrolan ringan mengalir, mengisi kekosongan yang sempat tercipta. Devina bercerita tentang kejadian lucu di pasar tadi pagi, tentang seorang ibu-ibu yang salah mengambil tas belanja, atau tingkah laku seekor kucing yang mencuri ikan dari pedagang. Suaranya renyah dan penuh tawa, memenuhi ruangan dengan keceriaan. Setiap kali ia tertawa lepas, dadanya bergerak-gerak, naik-turun dengan irama yang teratur.

Oscar menelan ludah, pandangannya tanpa sadar terfokus pada lekukan di balik kain daster Devina. Payudara itu, besar dan tampak begitu kencang, bergoyang-goyang lembut seiring tawanya, seolah memanggil untuk disentuh. Oscar merasa napasnya tertahan, seperti ada beban berat di dadanya.

Tiba-tiba, Oscar merasakan darahnya mendidih, menjalar ke seluruh tubuhnya, sensasi panas yang tidak asing lagi. Ia merasakan sensasi familiar, panas yang tak tertahankan, dan dalam hitungan detik, ia tahu bagian bawah dirinya sudah Ereksi. Celana panjang kainnya terasa semakin sempit, membatasi ruang gerak ‘benda’ yang kini menegang keras.

Oscar buru-buru mengalihkan pandangan, berpura-pura tertarik pada lukisan bunga abstrak di dinding di belakang Devina. Ia menggeser posisi duduk, sedikit membungkuk dan menutupi dengan tasnya untuk menyembunyikan ereksinya yang tak diundang, sebuah reaksi tubuh yang memalukan di hadapan ibu pacarnya sendiri.

Devina, tampaknya tidak menyadari sedikit pun pergolakan batin Oscar, terus bercerita dengan riang, seolah tidak ada yang aneh. Ia bahkan bertanya tentang kuliah Oscar, tentang rencana masa depan Oscar dan Anya, tentang betapa ia berharap Oscar bisa membahagiakan putrinya.

Oscar hanya mengangguk-angguk, sesekali menyahut singkat, mencoba fokus pada ceritanya, bukan pada tubuh di depannya yang terus memanggil-manggil. Di benaknya, ia tahu ini salah besar. Devina adalah ibu dari pacarnya, wanita yang harusnya ia hormati, wanita yang seharusnya menjadi figur seorang ibu baginya.

Tapi entah kenapa, setiap kali ia melihat Devina, terutama saat wanita itu berpakaian santai di rumah, naluri primitif dalam dirinya berteriak, menguasai akal sehatnya. Ada daya tarik yang mematikan, sebuah pesona terlarang yang membuatnya semakin terjerat dalam jaring-jaring godaan, sebuah perasaan yang membuatnya merasa bersalah sekaligus terangsang.

Suara langkah kaki menuruni tangga akhirnya memecah ketegangan di ruang tamu, sebuah melodi penyelamat bagi Oscar. Anya muncul, rambutnya masih sedikit basah, mungkin baru selesai keramas atau mandi sore. Ia mengenakan jeans biru pudar dan kaus kasual berwarna putih, terlihat sederhana namun tetap menawan.

"Maaf lama, Ma. Aduh, sudah janji jam empat kok ya baru siap sekarang," ujar Anya, suaranya riang, seolah tidak ada beban. Ia menoleh pada Oscar dengan senyum manis. "Oscar, sudah lama datangnya?"

"Baru saja, Sayang," jawab Oscar, berusaha tampil senormal mungkin, lega sekaligus kecewa karena momen privatnya yang penuh gejolak dengan Devina harus berakhir. Ia bangkit dari sofa, menyunggingkan senyum tulus pada Anya, menyembunyikan badai di dalam dirinya.

Namun, di dalam hatinya, benih dosa itu telah tumbuh semakin besar, berakar dalam, menunggu untuk mekar menjadi sesuatu yang mungkin akan menghancurkan segalanya. Aroma dosa itu, kini terasa semakin menggoda.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel