Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Tujuh

Terkadang kita selalu melihat pelangi di atas kepala orang lain, lalu merasa kalau hidup mereka lebih indah dan berwarna dari hidup kita sendiri, tanpa kita sadari bahwa di atas kepala kita ada langit cerah dan begitu elok yang di anugerahkan oleh Tuhan.

Zuhra mulai mengepak beberapa barang dan pakaian miliknya. Hari ini dirinya akan pindah dari rumah ayah dan bundanya. Statusnya sekarang sudah berubah. Jadi sudah seharusnya dia siap akan semua perubahan.

“Sudah siap?”

Zuhra menoleh saat mendengar pertanyaan Dirgam, “Belum, Mas.”

“Hm.”

Ingin sekali rasanya Zuhra mendengus kesal dengan reaksi Dirgam. Apa tidak ada jawaban lain? Kapan hubungan mereka ada kemajuan kalau seperti itu.

Zuhra memasukkan bajunya ke dalam koper dengan dongkol.

“Kenapa sebanyak itu?” Dirgam mengernyit di tepi ranjang.

Zuhra pun tak kalah bingung, namanya perempuan ya pasti punya banyak baju atau alat kosmetiklah.

“Bawa yang penting saja, sisanya tinggalkan,” perintahnya, “apalagi barang kenangan.”

Nah, kan. Ambigunya muncul lagi. Barang kenangan apa maksudnya? Dan yang penting-penting saja? Ini semua penting tahu.

Zuhra menekuk wajahnya, kalau tahu begitu dia tidak akan membongkar habis-habisan isi lemarinya.

“Bawa satu koper ini saja,” ucap Dirgam seraya menarik koper sedang yang berisi baju-baju rumahan Zuhra.

“Eh, tapi, Kak--”

“Yang lain tinggalkan saja.”

Bahu Zuhra merosot, apa yang bisa dia lakukan dengan sepatu beserta novel-novelnya?

✏✏✏

“Kamu itu yang nurut sama suami,” ucap Bu Ratna seraya memeluk sayang anak perempuannya.

“Iya, Bun.”

“Jangan iya iya aja, dilakuin!” titah sang bunda, “Dirgam, kalau anak ini nakal jewer aja.”

Zuhra mencebik karena ucapan bundanya, sementara Dirgam hanya mengangguk seraya memasukkan koper Zuhra ke bagasi mobil.

“Dikurangin sifat manjanya, kasihan nanti Nak Dirgam.” Ucapan sang ayah semakin membuat wajah Zuhra masam.

“Iya, Yah, Bun. Eh, Bang Ran di mana, Bun? Zuhra belum pamit.”

“Bang Ran tadi ke rumah sakit pagi-pagi sekali, ada operasi katanya, tapi Bunda sudah bilang kok kalau kamu hari ini pindah.”

Zuhra mengangguk maklum, abangnya itu memang super sibuk.

“Kalau begitu kami pamit, Ayah, Bunda.” Dirgam menyalami tangan kedua orang tua Zuhra sebelum membuka pintu penumpang untuk sang istri.

“Ya, hati-hati.”

Dirgam balas mengangguk lalu menjalankan mobil.

Dirgam yang pelit bicara membuat Zuhra bosan. Dirinya ingin menghidupkan musik namun takut mengganggu konsentrasi menyetir suaminya, akhirnya Zuhra memilih untuk memejamkan mata dan tidur.

Beberapa waktu kemudian Zuhra merasakan guncangan kecil di tubuhnya. Perlahan ia mengerjab dan sadar bahwa mobil yang mereka tumpangi sudah berhenti.

Mengedarkan pandangan, Zuhra menatap bingung sekitarnya.

“Saya ada meeting tiba-tiba,” jelas Dirgam.

Zuhra menoleh pada Dirgam. “Sulit ya, Mas, kalau ber aku-kamu sama Zuhra?”

Dirgam berdehem. “Akan saya coba. Sekarang, ayo turun.”

Dari orok juga ngomongnya ‘bakal di coba bakal di coba’ terus.

“Kalau ada rapat kenapa ajak Zuhra? Zuhra tunggu di sini aja,” tolaknya.

“Nggak. Kamu tunggu di ruangan aku.”

Perkataan Dirgam sontak saja membuat Zuhra kembali menoleh dan tersenyum riang.

“Ayo,” ucapnya suka cita.

Dirgam mengembuskan napas sembari menggeleng-geleng kepala tidak percaya.

Aku-kamu?

✏✏✏

Zuhra mengamati sekeliling ruangan bernuansa hitam dan abu-abu ini, luasnya cukuplah untuk bermain futsal.

Suami pelitnya itu sudah menghilang entah ke mana. Dengan bosan, Zuhra mengganti-ganti saluran TV plasma di hadapannya.

Tidak ada siaran yang menarik minat wanita itu, semua hanya talk show yang menurut Zuhra hanya mengedepankan sensasi saja, akhirnya ia memilih serial TV yang cocok ditonton oleh anak-anak, yaitu Tinkerbell. Meski sudah berkali-kali diulang, tapi itu lebih menarik dari acara sensasi.

Sudah satu jam berlalu tapi Dirgam belum juga kembali. Dengan langkah gontai, Zuhra berjalan menuju meja kerja Dirgam, niatnya ingin melihat-lihat tempat kerja pria itu.

Tidak ada yang istimewa, sama saja seperti apa yang Zuhra tonton di drama-drama biasanya. Kursi empuk yang bisa berputar, saluran telepon, beberapa tumpukan kertas, dan sebuah bingkai foto.

“Foto?” gumam Zuhra.

Zuhra mendekat agar bisa melihat lebih jelas wajah di dalam bingkai tersebut.

Seorang wanita cantik dengan rambut gelombang berwarna kecoklatan sedang tersenyum ceria. Zuhra perkirakan umur wanita itu tidak jauh berbeda dengan usia Dirgam.

“Lihat apa kamu?”

Zuhra tersentak kaget. “Ng ... itu, Zuhra cari handphone, iya handphone.”

Dirgam manatap lekat Zuhra. “Di tanganmu.”

“Eh, oh, hehe .... Iya, Mas, Zuhra lupa.” Bibirnya mengeluarkan tawa konyol.

“Ayo pulang!”

Zuhra sudah mulai terbiasa dengan sikap irit Dirgam, jadi ya, sudahlah.

“Mas, kita pindah ke mana sih?” tanya zuhra bingung, bodohnya dia yang sedari tadi ak menanyakan hal itu.

“Apartemen saya.”

Zuhra menautkan alisnya, ia kira mereka akan tinggal di perumahan atau apalah itu, bukan malah di apartemen. Bagi Zuhra tinggal di Apartemen itu kurang bisa bersosialisasi, tapi ya cocoklah untuk Dirgam yang punya kepribadian tertutup seperti ini.

“Mas, tadi itu perusahaan punya kamu?”

“Bukan, ini punya papa.”

“Yang mimpin Mas?”

“Hm.”

Zuhra mengerucutkan bibir sebal mendengar sahutan pria itu. “Kenapa nggak pakai sopir aja? Mas nggak capek?”

Dirgam hanya melirik sekilas lalu kembali fokus ke jalan. “Kamu mengkhawatirkan saya?” tembak pria itu langsung.

Zuhra sontak menggeleng keras. “Enggak kok!” elaknya cepat.

Dirgam menarik sudut bibir sekilas, sangat tipis sekali. Zuhra bahkan hampir tak percaya bahwa pria itu baru saja tersenyum.

“Mas barusan senyum?” tanya Zuhra tak percaya.

Pria berdehem pelan, tapi tak menggubris pertanyaan antusias wanita itu. Fokusnya masih tetap ke jalan.

Zuhra bertanya dengan semangat tapi tidak ditanggapi memilih diam. Matanya mulai beralih memperhatikan interior mobil Dirgam yang Zuhra tahu pasti bukanlah mobil murahan.

Zuhra ini aslinya memang cerewet dan selalu penasaran. Namun di dekat Dirgam, dia mencoba bersikap biasa. Bukan sok jaim, tapi buat apa bertanya kalau hasilnya nol. Hanya saja, yang namanya kebiasaan terkadang begitu saja terlepas, dia tidak bisa mengontrol bibirnya untuk bertanya seperti saat ini.

“Mobil Mas masih baru, ya?”

“Hm.”

Oke, Zuhra menyesal keceplosan bertanya. Dirinya berjanji nanti akan membeli lem dan menempelkan ke mulut.

“Sudah sampai, yo turun!”

Zuhra mengikuti saja tanpa bertanya, toh juga tidak akan ada artinya.

“Kamar Zuhra di mana?” tanyanya ketika mereka sudah memasuki apartemen Dirgam.

Dirgam berjalan lurus dan menekan handle pintu. “Masuk dan istirahatlah.”

“Ini kamar Zuhra?” tanya wanita itu takjub. Kamar yang luas dan nyaman, membuat Zuhra merasa tak sabar membaringkan diri di sana.

“Hm.”

“L-lalu kamar Mas?”

Dirgam mendengus. “Kita sudah menikah, ingat?”

Zuhra mengangguk, jawaban Dirgam cukup memberitahu bahwa mereka akan sekamar, dan hal itu cukup membuat Zuhra merasa gugup.

“Saya mau mandi, kopermu sebentar lagi diantar.”

Lagi-lagi Zuhra mengangguk paham.

✏✏✏

Hening menyelimuti acara makan malam mereka berdua, setelah mandi tadi Dirgam turun sebentar. Zuhra pikir suaminya itu entah pergi ke mana, ternyata membeli makanan untuk mereka berdua.

“Habiskan makananmu.”

Zuhra cemberut. “Zuhra nggak suka sayurnya.”

“Itu baik untuk ibu hamil.”

“Tapi, Zuhra mual, Mas.”

Dirgam menghela napas. “Maunya apa?”

Zuhra menggigit bibir bawahnya. “Bakso.”

Dirgam melotot kaget. “Nggak, orang sehat aja nggak baik makan bakso, apalagi yang hamil seperti kamu.”

“Tapi--”

“Ganti!”

“Mie Ayam?”

“Ganti!”

“Mi goreng?”

“Ganti!”

Begitu terus sampai tahun depan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel