Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Enam

Keadaan rumah Zuhra sudah mulai ramai pagi ini, beberapa kerabat yang tinggal di luar Pulau Jawa sudah mulai tiba di Jakarta. Beberapa pekerja juga tengah sibuk menata peralatan pesta untuk esok hari. Sesekali Zuhra juga ikut mengecek apakah semua sudah sesuai dengan yang direncanakan atau belum.

Sudah hampir seminggu dirinya tidak bertemu Dirgam, terakhir kali bertemu pria itu adalah pada hari minggu lalu. Setelahnya Dirgam tidak pernah berkunjung lagi. Jika ada keperluan penting seperti hal-hal yang menyangkut pernikahan maka pria itu akan mengutus orang kepercayaannya.

“Mbak, kelihatannya Zuhra ini gemukan? Efek seneng punya calon suami guanteng, ya?” Salah satu kerabatnya sempat bertanya.

Zuhra tersenyum kaku, kehamilannya memang masih dirahasiakan oleh keluarganya. Ayah Zuhra masih bingung ingin menceritakan seperti apa. Lagipula itu adalah aib keluarga.

“Iya, Vin, udah tenang dia sekarang.” Bunda Zuhra mengusap kepala anaknya menenangkan.

“Loh, Ra, tapi bukannya kemarin kamu mau jadi pramugari? Kok malah kawin duluan sih?”

“Hush, nikah, Vin.” Koreksi Tante Nirma, adik bungsu Pak Albar.

“Eh, iya itu maksudnya, kalau kawin duluan, bisa panjang urusan,” ucap bude Vina seraya bergidik.

Zuhra semakin tidak nyaman dengan obrolan ini, dirinya memutuskan pamit ke kamar guna menghindari perbincangan tersebut.

“Zuhra ke kamar dulu ya, Tante, Bude,” pamitnya.

“Iya, Nduk, istirahat yang banyak, biar besok seger ya,” nasihat bude Vina.

“Iya, Bude.”

Sesampainya di kamar, bukannya tidur, Zuhra malah membuka laci meja belajar. Matanya memandang lurus pada kertas biru muda yang menampilkan gambar barisan pramugari cantik di depan sebuah maskapai penerbangan.

Dulu sekali, dirinya memang berangan-angan jadi pramugari, terbang di udara seperti bidadari cantik. Namun sayang harapan itu harus pupus dan terkubur dalam tanpa bisa tergali lagi.

Zuhra menyimpan kembali brosur tersebut. Matanya kini tertuju pada sebuah boneka teddy bear di sudut kamarnya, boneka pemberian Reno. Ah, apa kabar laki-laki itu?

Zuhra membuka kaca jendela kamarnya, gerimis mulai turun membasahi dedaunan. Mereka bilang aroma tanah bercampur air hujan adalah yang terbaik, Zuhra mencoba untuk menikmatinya.

Hujan.

Bagian satu persen dari hujan adalah air, sementara sisanya adalah kenangan.

Begitulah kata orang, dan sekarang Zuhra mengalaminya. Kenangan bersama Reno mulai berputar di ingatan, mengakibatkan kerusakan yang lebih parah pada batinnya.

Semua berputar cepat di benak, mulai dari awal pertemuan mereka, suka dan duka, canda serta tawa yang mereka lalui bersama.

Namun, entah bagaimana tiba-tiba saja bayangan wajah datar Dirgam menginterupsi ingatannya tentang Reno, seolah wajah datar itu memperingatkan Zuhra untuk berhenti.

Pikiran Zuhra kini teralihkan pada Dirgam. Sedang apa pria itu? Benarkah mereka akan menikah besok?

Hati Zuhra kini diliputi rasa gelisah dan takut, entah takut karena apa.

Wanita itu menundukkan kepala untuk melihat suasana di halaman belakang, beberapa orang sibuk memindahkan peralatan yang tidak bisa terkena hujan.

Zuhra menghela napas dalam, kenapa bisa hujan padahal pagi tadi begitu cerah? Apakah ini pertanda buruk?

Zuhra tidak tahu, dirinya cuma bisa berdoa semoga besok berjalan lancar.

✏✏✏

“Saya terima nikahnya Zuhra Kalinka binti Muhammad Albar dengan mas kawin tersebut. Tunai.”

Setetes air bening mengalir syahdu di pipi Zuhra saat para saksi mengatakan sah secara bersamaan.

Suara tegas Dirgam saat mengucapkan ijab qabul entah kenapa mampu membuang jauh rasa takut yang menggelayuti hati dan pikiran Zuhra sejak kemarin. Seolah ucapan tersebut begitu mujarab baginya. Zuhra seperti mendengar janji Dirgam untuk sehidup semati bersama. Entah bagaimana, tapi Zuhra memang merasa seperti itu. Dirgam begitu lantang dan tegas mengucapkannya, bahkan dalam satu tarikan napas.

“Nduk,” Zuhra merasa seperti ada yang mencolek lengannya. Zuhra menoleh dan mendapati Bude Vina yang memberi kode kepadanya.

Awalnya Zuhra bingung, namun dirinya segera sadar saat melihat Dirgam memandangnya datar.

Zuhra meraih tangan Dirgam yang beberapa waktu lalu berjabatan erat dengan tangan ayahnya. Diciumnya punggung tangan milik pria itu dengan lembut.

Ya, Allah. Kumohon jangan biarkan tangan ini melepaskan genggaman tangan kami seberat apa pun cobaan yang engkau berikan nanti.

Di dalam hati Zuhra berjanji akan berusaha menjadi seorang istri yang baik untuk Dirgam. Meski apa pun alasan pria itu menikahinya, Zuhra akan siap untuk menerima. Mungkin akan sulit di awal. Zuhra tahu jalan mereka tidak akan mulus, bahkan pasangan yang menikah karena cinta pun mengalami banyak gejolak rumah tangga, apa lagi mereka yang menikah dengan alasan yang Zuhra tidak ketahui. Ralat ... alasan Dirgam yang tidak Zuhra ketahui. Namun, Zuhra sedikit pun tidak punya cita-cita menikah dua kali apalagi menyandang status janda. Sungguh, Zuhra tidak ingin itu.

Masalah hati yang masih terpaut pada Reno, Zuhra akan belajar mengatasinya. Bagaimana pun melupakan itu sulit, tetapi sedikit demi sedikit Zuhra akan menggeser posisi Reno dipikirannya dan menggantikannya dengan Dirgam. Semoga hatinya juga mampu begitu.

Setelah melepas punggung tangan Dirgam, Zuhra dikejutkan dengan sapuan hangat di keningnya. Cukup lama Dirgam berdiam di posisi tersebut sehingga membuat Zuhra gugup karena wajahnya saat ini tepat berhadapan dengan dada bidang pria itu. Aroma kayu-kayuan begitu terasa di penciuman Zuhra.

Setelah melepas kecupan singkatnya Dirgam kembali duduk tenang seraya menjabat tangan para saksi dan pak penghulu itu sendiri.

Zuhra yang tadinya kaget bukan main karena ciuman pria tersebut -walau hanya di dahi-, menjadi bodoh sesaat. Apalagi melihat tingkah santai pria itu setelahnya. Okelah, perlakuannya itu tidak akan aneh kalau mereka memang menikah karena cinta, tapi ini ... Ah, sudahlah.

✏✏✏

“Apa hobimu memang melamun?”

Zuhra terkesiap kaget mendengar suara berat yamg berasal dari arah pintu masuk kamarnya.

“Mas, udah selesai?” tanyanya gugup.

“Kenapa melamun?” Kebiasaan Dirgam adalah bertanya balik saat ditanya.

“Zuhra nggak ngelamun.”

“Lalu apa?”

Zuhra memperhatikan Dirgam yang mulai berjalan sambil melepas jas hitamnya, membuka kancing tangan kemeja putihnya lalu menggulung hingga siku. Begitu seksi dan memukau di mata Zuhra.

Zuhra cepat-cepat menggelengkan kepalanya untuk mengenyahkan pikiran tidak waras itu.

“Zuhra cuma istirahat, tadi capek. Maaf ya, Mas, tadi Zuhra duluan ke kamar.”

Di pesta tadi Zuhra memang merasa lelah, berjam-jam berdiri dan menyapa para tamu undangan cukup melelahkan baginya. Apalagi sepertinya Dirgam mengundang seluruh kolega dan rekan bisnis, membuat Zuhra kewalahan sendiri mengatasi pegal di kaki. Akhirnya saat tamu-tamu hanya tinggal beberapa orang, Zuhra memutuskan untuk beristirahat. Saat itu Dirgam sedang berbincang dengan koleganya yang datang dari Bali. Karena tidak ingin mengganggu, Zuhra membiarkan saja dan masuk ke kamar lebih dulu.

Dirgam menatap lama Zuhra, lalu pria itu mengembuskan napas berat. “Harusnya beritahu kalau lelah.” Dirgam berjalan semakin mendekat, “lain kali jangan memaksakan diri.”

Zuhra mengangguk patuh pada perintah Dirgam.

“Istirahat, saya mau mandi.”

Lagi-lagi Zuhra mengangguk kecil, setelah tubuh tegap itu menghilang di balik pintu kamar mandi, barulah dia mengembuskan napas lega. Berada di dekat Dirgam ternyata tidak bagus untuk pernapasannya, karena dia jadi seringkali menahan napas.

Zuhra membaringkan badan di atas ranjang empuknya. Dirinya memang sudah lebih dulu mandi dan mengganti baju yang begitu berat dan rumit tadi dengan piyama tidur.

Ugh, tidak ada lingerie seksi dan malam pertama yang panas seperti pasangan-pasangan lainnya, yang ada hanya tidur.

Jujur saja Zuhra cukup kecewa dengan jalan takdirnya yang seperti ini, tetapi dirinya ingin marah pada siapa? Sudah pasti pada dirinya sendiri, karena di sini tersangka utama adalah dirinya.

Meskipun semua ini tidak lepas karena perbuatan kurang ajar Reno, tetapi tetap saja Zuhra salah. Seandainya dulu dirinya tidak tergoda rayuan pria tersebut, seandainya dia bisa sedikit pintar, seandainya dulu ia menuruti nasihat abangnya, seandainya ... yah, hanya tinggal seandainya.

Zuhra menarik napas sekali lagi dan mengembuskannya perlahan. Bersamaan dengan itu matanya mulai terpejam, sejenak meninggalkan segala kemelut yang melanda kehidupannya.

Sayup-sayup terdengar suara pintu kamar mandi berderit, tidak lama setelah itu rasa hangat di dahi Zuhra kembali terasa, sama seperti saat pertama Dirgam menciumnya pagi tadi. Mungkinkah ini kali kedua? atau hanya mimpi belaka.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel