Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Delapan

Tepukan lembut di pipi Zuhra mengusik tidur nyenyaknya. Matanya bahkan terasa amat lengket untuk sekedar terbuka. Karena itu dirinya hanya bergumam sambil berbalik dan tidur lagi. Namun tidak bertahan lama saat indera pendengarannya menangkap suara khas seseorang.

“Kamu mau sholat Subuh bareng atau saya tinggal?”

Zuhra bahkan langsung terduduk setelah mendengar suara Dirgam. Dirinya meringis menahan malu karena sebagai istri harusnya dia yang membangunkan Dirgam, bukan malah sebaliknya.

Memang, hal terberat bagi Zuhra selama ini adalah bangun Subuh, bahkan bundanya harus rajin-rajin menggedor pintu agar dirinya tidak tidur lagi.

“Mas duluan aja, Zuhra belum mandi,” ucapnya seraya mengamati Dirgam yang sudah tidak mengenakan piyama tidur, itu artinya pria itu sudah mandi.

“Sepuluh menit, saya tunggu.”

Setelah mengatakan hal itu Dirgam berjalan keluar kamar meninggalkan Zuhra yang hanya mampu mengedipkan matanya, ada hal aneh yang berdesir lirih di dalam dirinya. Namun entah apa.

✏✏✏

Zuhra duduk termangu di atas ranjang, mengingat-ingat kembali saat tadi pagi Dirgam menjadi imam sholatnya. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Zuhra bahwa seseorang seperti Dirgam akan menjadi suaminya.

Tipe pria idaman Zuhra adalah seseorang seperti Reno. Meskipun sedikit nakal tapi Reno itu humoris, dan selalu bisa membuat Zuhra tertawa. Bahkan dalam keadaan sedih sekalipun.

Itulah sebabnya saat Reno memintanya untuk jadi kekasih, Zuhra tidak menolak. Menurutnya, Reno itu memang keren, dan pintar.

Tapi ternyata keren saja tidak cukup, terbukti ketika dengan kekerenannya itu dia meninggalkan Zuhra tanpa memikirkan nasib gadis dan anaknya. Keren tanpa tanggung jawab sama dengan nol.

Dirgam Arhab, beberapa hari tinggal bersama pria itu membuat Zuhra mengerti sedikit tentang Dirgam. Pria kaku, yang sulit mengekspresikan diri. Itu bukan sesuatu yang Dirgam buat-buat, laki-laki itu memang sedikit pendiam dan tertutup.

Suara ketukan pintu membuat Zuhra tersadar.

Zuhra membuka pintu kamar dan mendapati seorang wanita paruh baya berdiri di sana. “Kenapa, Mbok?” ucap wanita itu sambil mempersilahkan masuk.

“Makan siangnya, Nyonya.”

Zuhra menautkan alis tidak suka. “Panggil Zuhra aja, Mbok.”

“Maaf, tapi--”

“Zuhra ngerasa nggak sopan kalau Mbok panggil gitu.”

“Ehm, Mbok juga nggak sopan kalau manggil nama begitu,” ucap Mbok Darmi, pekerja rumah tangga di rumah besar Dirgam.

Mbok Darmi akan datang pagi-pagi sekali untuk memasak dan membereskan apartemen. Setelah selesai, wanita itu akan kembali ke rumah orang tua Dirgam yang katanya lumayan dekat dari apartemen ini.

Pria itu sengaja agar Zuhra tidak kelelahan membereskan apartemen, Zuhra cukup mengurus keperluan dirinya saja.

“Ya udah, Mbok panggil neng aja, ya?” tawar Mbok Darmi.

Zuhra mengangguk setuju, tidak terlalu buruk dibanding nyonya. “Zuhra belum laper, Mbok.”

“Tuan yang minta, katanya Neng harus makan dan minum vitamin.”

Zuhra mengangguk. “Ya udah, tinggal aja, Mbok, nanti Zuhra makan.”

Mbok Darmi menuruti perintah nyonya-nya dan beranjak keluar.

Zuhra melirik botol kecil yang terletak di nampan yang dibawa oleh Mbok tadi. Dia tidak merasa pernah membeli vitamin karena memang jarang mual. Tapi memang dua hari ini badannya terasa sedikit lemas. Mungkinkah pria itu yang membelikan untuknya?

Zuhra mendengar suara pintu kamarnya kembali di buka, kali ini tanpa ketukan.

Belum juga disentuh makan siangnya.

“Loh, kok?” Zuhra bingung mendapati Dirgam berdiri di sana.

“Kenapa belum dimakan?”

“Ehmm, ini Zuhra mau makan, Mas.” Dia mengambil nampan dan memindahkan ke pangkuan.

Dirgam mengangguk seraya berlalu menuju lemari, menarik kaos dan celana pendeknya.

“Mas … kenapa pulang?” tanya Zuhra saat Dirgam sudah mengganti pakaiannya di kamar mandi.

“Kenapa? Nggak mau lihat saya di sini?” tanyanya balik.

“Bukan gitu,” sangkal Zuhra. “Mas nggak balik ke kantor lagi? Memangnya nggak sibuk?”

Dirgam menggeleng.

Bukannya menjawab, Dirgam malah duduk di hadapan Zuhra sambil menatap lekat istrinya itu membuat Zuhra gugup setengah mati.

“K-kenapa? Kakak juga mau?” tanya Zuhra seraya menyodorkan sesendok nasi beserta lauknya.

Dirgam lagi-lagi menggeleng, tapi tatapannya masih saja sama.

“Kamu menyesal menikah dengan saya?”

Zuhra menghentikan gerakan sendok di tangannya. Menyesal?

Dirgam memang bukan seseorang yang dicintainya, bukan seseorang yang masuk ke dalam kriteria calon suami. Namun, sejauh ini Zuhra tidak pernah merasa menyesal, atau memang dia tidak memikirkannya. Entahlah Zuhra juga bingung, dan lebih bingung lagi ketika melihat ekspresi menuntut jawaban di wajah Dirgam.

“Zuhra nggak tahu, Kak, yang jelas Zuhra nggak pernah sampe kepikiran soal itu.”

Lama Dirgam terdiam mendengar jawaban Zuhra, sampai akhirnya pria itu mengembuskan napas panjang, entah karena lega atau lelah.

“Saya tahu kamu masih bertanya-tanya alasan saya menikahi kamu, tapi satu yang pasti, saya benar-benar serius.

“Saya tidak janjikan kebahagian, Ra, tapi saya bisa menjadi tempat kamu menyandarkan segala keluh kesah serta rasa sakit yang kamu alami.”

Zuhra mengangguk, hatinya tersentuh dengan ungkapan Dirgam, ini lebih manis dari sekedar janji-janji kosong yang sering Reno ucapkan.

“Mas juga harus mulai terbiasa dengan kehadiran Zuhra,” pinta wanita itu.

Dirgam mengangguk. “Saya selalu berusaha untuk itu.”

Zuhra meletakkan nampannya di atas nakas, entah keberanian dari mana yang didapatnya sehingga dengan lancang kedua tangannya menggenggam tangan Dirgam.

“Mas juga bisa cerita apa pun ke Zuhra. Bahagia, sedih, sakit, muak, bosan, dan apa pun yang mau Kakak bagi ke Zuhra, Zuhra siap, karena sekarang Zuhra istri Mas,” ucap Zuhra lugas, “ajari Zuhra, Kak. Ajari Zuhra jadi istri yang baik untuk Mas, jadi istri yang selama ini Mas impikan.”

Tanpa aba-aba tubuh Zuhra tertarik ke depan, merasakan hangatnya pelukan Dirgam yang menyebabkan perasaan membuncah di dirinya.

“Saya akan berusaha sekuatnya.” Embusan napas Dirgam menyadarkan keterpakuan Zuhra. Keningnya berkerut karena baru menyadari panas yang tidak biasa di badan Dirgam.

“Kakak sakit?” paniknya seraya melepaskan pelukan suaminya itu.

Tangannya menempel di dahi Dirgam dan semakin terpekiklah dirinya menyadari bahwa Dirgam demam. Pantas saja pria itu pulang cepat dari kantor.

“Kenapa nggak bilang dari tadi, sih?” omel Zuhra seraya bangkit dari duduk.

“Mau ke mana?” tanya Dirgam saat melihat pergerakan Zuhra.

“Mau ambil kompres sama ....” Zuhra berpikir sejenak. “Air panas atau air dingin, ya?” gumamnya.

Dirgam menggeleng sambil tersenyum tipis. “Minta Mbok Darmi yang siapin, kamu di sini aja.”

Zuhra yang tadi sedikit menangkap sudut bibir Dirgam tertarik ke atas menjadi tercenung sejenak.

“Mas ganteng kalau senyum kayak tadi,” celetuknya.

“Kapan saya senyum?” tanya Dirgam datar.

Zuhra berani taruhan kalau dia tadi tidak salah lihat. Dirgam benar-benar tersenyum.

“Kenapa senyum aja gengsi, sih?” gerutu Zuhra.

“Kenyataannya memang saya tidak senyum, tapi kalau kamu pingin lihat bisa saya lakuin kok.”

“Edan.” Zuhra menggeram seraya berlalu meninggalkan Dirgam menuju dapur untuk mencari Mbok Darmi. Hari ini Zuhra tahu, bahwa Dirgam adalah manusia biasa yang bisa sakit dan tersenyum juga. Zuhra menarik sudut bibir tipis ketika mengingat hal itu. Oh, suaminya yang super gengsi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel