Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Sembilan

Dirgam menatap lurus ke depan, di mana punggung kokoh seseorang yang berbalut jas formal bersama antek-anteknya menghilang.

Pandangan pria itu begitu sulit diartikan, membuat Zuhra yang sedari tadi juga ikut mengamati berhenti mengunyah makanannya.

“Mas....” Teguran Zuhra mengalihkan perhatiannya.

Dirgam menoleh dengan pandangan seakan bertanya ‘ada apa?’

“Kenapa nggak makan?” tanya Zuhra.

“Tadi sudah makan dengan klien.”

“Kalau gitu kenapa pesan makanan sebanyak ini?” gerutu Zuhra.

Dirgam mengedikkan bahu. “Kamu ‘kan harus makan dua porsi. Ingat, kamu bukan hanya memerlukan gizi untuk dirimu sendiri saja,” omelnya.

“Meskipun begitu, bukan berarti Zuhra harus menghabiskan semua ini. Ingat, perut Zuhra cuma satu ini saja,” kesalnya.

“Sudah jangan cerewet, habiskan yang sanggup kamu habiskan saja,” perintahnya.

Sebenarnya makanan di sini semuanya enak, hanya saja perut wanita itu sudah terasa penuh sekali. Sekarang memang sudah jam sembilan, sudah lewat waktu Zuhra biasa makan malam. Sebenarnya tadi pun Mbok Darmi sudah menyiapkan makan malam untuk dirinya.Tapi sayang, rasa mualnya tidak mau berkompromi. Jadi, saat Dirgam pulang dan Mbok Darmi melapor, Zuhra diajak atau lebih tepatnya diseret untuk makan malam di luar oleh Dirgam. Bukan seperti makan malam romantis seperti pasangan-pasangan lainnya, bahkan disini hanya Zuhra yang makan. Pria itu hanya duduk sebagai penonton, memang tadi pagi demam pria itu sudah turun, sehingga ia berkeras pergi ke kantor meski Zuhra sudah melarangnya.

“Zuhra udah selesai.”

Dirgam mengangguk dan mengajak Zuhra pulang setelah ia selesai membayar.

“Ugh, Zuhra kenyang. Mas sih tadi nggak mau nyobain cumi asamnya, enak banget tahu,” ucapnya seraya mengelus perutnya yang mulai terasa membuncit karena kehamilannya.

“Apa enaknya asam?” kata Dirgam acuh.

“Enak tahu, tadi Zuhra sam--”

“Aww....” Zuhra memekik saat seseorang menabrak punggungnya dengan keras.

“Aduh, maaf ... maaf,” ucap si penabrak cepat.

Untung saja ada lengan Dirgam yang dengan sigap melingkar di sekeliling perutnya sehingga Zuhra tidak terjatuh.

“Zuhra ....”

Zuhra tersadar dan menoleh ke belakang.

“Albi? Lo ....”

“Sorry, tadi nggak sengaja, gue buru-buru.”

Zuhra mengangguk. “Nggak apa-apa.”

Mata Albi menautkan alisnya saat menatap Dirgam. “Siapa?” tanyanya pada Zuhra.

“Eng ... kenalin, dia--”

“Dirgam, suaminya Zuhra.” Dirgam menjawab sambil mengulurkan tangan kanannya.

“Suami??!” Albi terkejut setengah mati mendengar keterangan pria itu.

“Zuhra, apa mak--”

“Bukannya Anda sedang buru-buru?” potong Dirgam.

“Oh, astaga. Zuhra, aku pergi dulu, nanti aku hubungi lagi.” Albi bergegas pergi setelah berpamitan, matanya sempat menangkap raut wajah Dirgam yang terlihat tidak senang.

✏✏✏

Zuhra merasakan hawa kelam mengelilinginya, bukan karena aura mistis atau semacamnya, melainkan karena sikap bungkam Dirgam sedari tadi. Setelah kejadian beberapa jam lalu, Dirgam seperti mogok bicara padanya. Pria itu kembali menjadi sosok seperti pertama kali mereka bertemu, menakutkan.

Ada apa dengan pria itu?

Zuhra menghela napas gusar, sudah hampir tengah malam, namun Dirgam belum juga keluar dari ruang kerjanya untuk istirahat. Zuhra menguetkan tekad, menepis segala rasa takut pada apa nantinya yang akan Dirgam lakukan karena tindakannya ini.

Beberapa kali dia mengetuk pintu. Tidak ada sahutan dari Dirgam. Dia mencoba sekali lagi, berharap Dirgam bersuara dan mengizinkannya masuk. Namun, hasilnya lagi-lagi nihil.

Tidak peduli lagi akan kemarahan Dirgam nanti, Zuhra mendorong pintu kokoh itu, matanya berpendar mengelilingi ruangan. Fokusnya terhenti pada satu objek di sofa ruangan itu. Dirgam sedang tertidur pulas.

Zuhra menggelengkan kepala melihat kelakuan pria itu. Dirinya berbalik kembali ke kamar, mengambil selimut dan membawanya ke ruang kerja.

Dilepaskannya sepatu yang belum sempat Dirgam tanggalkan dengan hati-hati, agar tak mengganggu tidur pria itu. Kemudian Zuhra menyelimuti tubuh Dirgam dengan selimut yang tadi diambil.

Zuhra mengamati wajah tenang Dirgam, tanpa sadar tangannya terulur mengusap dahi suaminya yang berkerut dalam tidur.

“Have a nice dream, My Hubby,” bisiknya lembut.

✏✏✏

Dirgam mulai mengerjap beberapa kali, matanya masih terasa begitu lengket. Akhir-akhir ini dirinya memang sangat lelah dengan proyek pembangunan cabang baru yang hingga kini belum juga rampung karena berbagai macam kendala. Belum lagi mamanya yang terus saja meminta dirinya dan Zuhra untuk tinggal di sana yang ditolak mentah-mentah oleh Dirgam.

Bukan tanpa alasan Dirgam menolak kemauan sang mama, hanya saja Dirgam tidak ingin Zuhra merasa tertekan di sana. Dia bukan tidak tahu ketidaksukaan adiknya –Nissa- kepada Zuhra, dan dia juga tahu bagaimana perangai buruk adiknya itu.

Dirgam bergerak meregangkan otot. Aktifitas itu terhenti saat merasakan sebuah selimut yang membungkus tubuhnya. Mata pria itu bergerak liar mengelilingi isi ruangan dan terpaku melihat sepasang sepatu miliknya tersusun rapi di sudut ruangan. Senyum tipis terukir di bibirnya.

Pria itu melangkah keluar, berjalan menuju kamar dan berpapasan dengan Mbok Darmi yang sedang mengepel lantai dapur.

“Zuhra belum bangun, Mbok?” tanya Dirgam saat tak melihat Zuhra di meja makan.

Mbok Darmi terdiam sejenak, “Sudah, Tuan, tapi...”

“Tapi apa?”

“Eng ... anu ... itu, tadi Nyonya mual-mual.”

Dirgam langsung berjalan cepat menuju kamar mereka. Ini aneh, selama ini Zuhra tidak pernah mengalami mual-mual di awal kehamilannya.

Di dalam kamar, Dirgam tidak menemukan keberadaan Zuhra, tapi suara gemericik air dari kamar mandi membuat langkahnya tertuju ke sana.

“Ada yang sakit?” tanya Dirgam pelan.

Zuhra terkejut dan membalikkan badan menghadap Dirgam. “Mas sudah bangun?” tanyanya lemah.

“Kamu pucat, ayo ke dokter.”

Zuhra menggeleng lemah, “Mas marah sama Zuhra?” Suara wanita itu terdengar sengau.

Dirgam mengernyit. “Kenapa harus marah?”

“Mas diemin Zuhra semalaman,” ucapnya sambil terisak. Sungguh, Zuhra tak mengerti kenapa ia bisa secengeng ini.

Dirgam menghela napas panjang. Entahlah, ia hanya merasa kesal dengan kedekatan Zuhra dan laki-laki itu semalam, tapi sungguh ia tak berniat mendiamkan Zuhra. Hanya saja, sulit baginya untuk mengontrol emosi dan lebih memilih untuk diam.

“Ssst, jangan berpikir macam-macam.” Dirgam menuntun Zuhra keluar dari kamar mandi. “Ayo, kamu harus sarapan.”

“Mas nggak marah lagi?” cicit Zuhra seraya duduk di pinggir ranjang.

“Bukan marah, hanya kelelahan.” Dirgam masih berdiri di hadapan istrinya, mengusap dahi wanita itu yang berkeringat.

“Tapi, Mas nggak mau tidur di kamar sama Zuhra.” Suara wanita itu kembali serak.

Pria itu menatap Zuhra dengan intens. ”Bukannya harusnya kamu senang, kemarin-kemarin kamu ‘kan yang keberatan kita tidur sekamar?” tanya pria itu kalem.

Rona merah menjalar di pipi wanita itu, kepalanya menunduk karena malu. “Itu … itu … Zuhra cuma tanya, bukan keberatan!” kilahnya lantang.

“Jadi sebenarnya kamu senang tidur dengan saya?”

“Eh … bukan gitu … maksudnya … itu ….” Zuhra melotot jengkel ke arah pria itu. “Nggak tau ah! Mas nyebelin,” ucapnya kesal seraya menghentakkan kaki meninggalkan Dirgam yang tersenyum tipis tanpa sepengetahuannya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel