BAB 4
Kata-kata Braga membuatnya berdesir, ah ya ia harus sadar Kiara dan Braga akan menikah. Semoga saja pilihan Braga tepat, ia tidak akan menjadi orang ketiga dalam hubungan Kiara dan Braga nantinya, ini merupakan tantangan baru untuknya, mengurus semua keperluan Kiara hingga dia menikah nanti.
Lauren melihat Kiara sudah membuka hendel pintu. Dia masuk ke dalam mobil, tidak lupa memasang sabuk pengaman dan beberapa detik kemudian mobil pergi meninggalkan area rumah.
Lauren memanuver mobilnya seperti biasa, mobil membelah jalan menuju kantornya Braga.
“Kia, apa kamu sudah janjian dulu untuk bertemu pak Braga sebelumnya?” Tanya Lauren.
“Sudah.”
“Syukurlah kalau sudah, setahu saya kalau pak Braga akan sulit di temui kalau nggak appointment dulu,” jelas Lauren.
“Hemmm gitu, kamu tau dari mana?”
“Pernah beberapa kali nganterin Sharon ke tempat Braga, urusan kerjaan.”
“Gitu ternyata.”
“Kamu kenal Braga juga?”
Lauren tersenyum dan lalu mengangguk, “Iya kenal. Kenalnya dari Sharon. Saya harus tau siapa-siapa saja yang dekat dengan Sharon, tanpa terkecuali temannya. Karena ini tanggung jawab saya.”
“I see. Sebenarnya saya nggak terlalu suka sih ada asiten pribadi, kayaknya ribet aja ke mana-mana di ikutin,” jelas Kiara, karena selama ia kuliah di New York ia tidak pernah mendapat prilaku khusus seperti ini.
Lauren yang mendengar itu hanya diam, ia tahu kalau Kiara merasa kalau dia telah kehilangan kebebasannya karena ada dirinya. Jadi butuh waktu untuk dia menyesuaikan diri. Sepanjang perjalanan menuju kantor Braga mereka mendengarkan lagi dibalik audio.
“Kamu udah kerja sama Sharon berapa lama?” Tanya Kiara penasaran membuka topik obrolan.
“Lebih dari lima tahun.”
“Lumayan lama juga ya,” ucap Kiara.
Lauren tersenyum, “Kamu jangan merasa kalau saya beban, anggap saja saya teman kamu, Kia.”
Kiara mengangguk, “Iya.”
“Kalau ada apa-apa langsung kasih tau saya saja, saya siap membantu.”
“Iya, terima kasih.”
___________________
Beberapa menit kemudian akhirnya mobil sudah berhenti di Prosperity tower yang terletak di Sudirman Central Business District, ini merupakan kantor di mana Braga bekerja. Lauren memarkir mobilnya di basement, dia memandang Kiara yang berada di belakang, bersiap untuk keluar.
“Mau dianterin?” Tanya Lauren.
“Tidak usah, saya tidak lama kok,” ucap Kiara.
“Office-nya Braga di lantai berapa?” Tanya Kiara lagi.
“Ada di lantai 20.”
“Apa saya bisa masuk ke sana?”
“Tidak bisa, di sana harusnya ada kunci akses. Tapi saya akan segera memberitahu secretaris pak Braga untuk menjemput ibu di lobby.”
“Terima kasih,” ucap Kiara, ia merasa kalau Lauren sangat membantu.
Kiara melangkah menuju lobby basement, dia masuk ke dalam lift dan lift membawanya ke lantai dasar. Ia melihat banyak karyawan yang sedang buru-buru masuk ke dalam lift Gedung. Suasana lobby utama agak ramai, karena memang ini adalah hari kerja.
Kiara memilih menunggu tidak jauh dari lift, ia memang memiliki beberapa ponsel. Namun yang ia gunakan kesehariannya adalah nomor pribadinya. Tidak lama ia menunggu, ia memandang seorang wanita mengenakan stelan jas berwarna hitam berjalan mendekatinya.
“Dengan ibu Kiara?”
“Iya, saya dengan Kiara.”
Wanita itu tersenyum kepada Kiara, lalu mengulurkan tangannya, “Perkenalkan saya Claudia sekretarisnya pak Braga.”
Kiara membalas uluran tangan itu, “Saya kiara.”
“Senang kenalan dengan ibu Kiara.”
“Terima kasih.”
“Mari, bu ikut saya. Bapak sudah menunggu ibu di atas.”
Kiara mengikuti Langkah kaki wanita itu menuju lantai atas, ia menarik napas ia masuk ke dalam lift dan lift membawanya menuju lantai atas.
_____________________
Kiara melirik jam melingkar di tangannya menunjukkan pukul 09.30 menit. Dia memperhatikan ruangan kerja Braga, suasana ruangan mencerminkan profesionalisme, kenyamanan, dan ketenangan sang pemilik. Desain interiornya mewah dan minimalis, ruang tunggu sofa, ada lukisan pegunungan di dinding. Dia menatap Claudia baru saja keluar dari ruangan, wanita itu tersenyum kepadanya.
“Dipersilahkan masuk ke dalam, ibu.”
“Terima kasih,” ucap Kiara.
Kiara masuk, dia memandang Braga di sana. Pria itu sedang duduk di kursi ergonomis. Mengenakan kemeja putih dan blezer gelap, rambutnya tersisir rapi. Dia terlihat rapi dan tampan, mereka saling menatap satu sama lain, namun pria itu tanpa senyum memandangnya.
“Saya ke sini mau ambil tas,” ucap Kiara to the point.
Braga lalu mengambil tas itu dari lemari, ternyata wanita itu menepati janjinya pagi ini datang ke kantornya. Braga menyerahkan tas itu kepada Kiara.
Kiara mengambil tas dari tangan Braga. Tidak ada perkataan apapun yang keluar dari mulut pria tu. Kiara memeriksa di dalam tasnya, masih ada dompet, alat makeup dan ponselnya di sana.
“Okay, terima kasih,” ucap Kiara setelah mengecek semua yang ada di dalam tasnya.
Braga menarik napas, “Kamu sama Lauren ke sini?” Tanya Braga.
“Iya. Kenapa?”
“Tanya saja.”
“Kalian sudah kenal lama?” Tanya Kiara penasaran.
“Lumayan,” jawab Braga.
Kiara memicingkan matanya, menatap Braga, “Dia menjadi asisten saya saat ini,” gumam Kiara.
“Baguslah kalua begitu,” ucap Braga, waktu di acara pernikahan Sharon. Lauren memang sudah memberitahunya, kalau dia mengambil pekerjaan menjadi asisten Kiara.
“Apa kerjanya baik?”
“Sharon lebih tau di banding saya, tanyalah kepada dia.”
“Saya pikir kalian dekat,” ucap Kiara, dia mengambil ponsel di dalam tasnya.
Braga memandang Kiara, dia tidak menjawab pertanyaam itu. Braga menarik napas,
“Tadi malam ponsel kamu tidak berhenti bergetar.”
“Hemmmm.”
“Dari pacar kamu,” ucap Braga lagi.
“Lain kali, kamu jangan bongkar-bongkar tas saya.”
“Saya tidak membongkar tas kamu Kia, saya tidak sengaja melihatnya.”
Kiara melihat pada layar ponselnya, di sana ada sepuluh panggilan tidak terjawab dari Arya kekasihnya. Kiara memandang Braga sekali lagi.
“Apa kamu tidak mau membatalkan pernikahan ini?” Tanya Kiara.
Braga menatap Kiara dengan serius, “Kamu mau membatalkannya?”
“Yah, tentu saja. Ini masih ada kesempatan untuk membubarkannya. Saya juga merasa kalau saya tidak cocok dengan kamu,” jelas Kiara.
“Kalau kamu tidak menginginkannya, kenapa kamu tidak lakukan tadi malam?” Gumam Braga.
“Karena kamu mengiyakannya.”
“Kita belum ada kesepakatan apapun di sini, jadi saya ingin tau sesuai dengan hati kamu. Kamu pasti tidak mengingikan perjodohan ini, kan?”
“Percayalah, kepura-puraan itu sangat menyakitkan,” ucap Kiara lagi.
Braga memandang Kiara dengan serius, “Saya tetap akan melakukannya.”
“Buat apa?”
“Jelas, untuk ekspansi bisnis dan diversifikasi,” gumam Braga, pernikahan dalam di keluarga mereka tentu untuk memperluas sektor bisnis yang berbeda, jika saat ini dia sukses di manufaktur keluraga dan keluarga pihak wanita dominan di sektor bank, maka membuka peluang kerja sama baru dan merger.
“Ckckckck, kamu mengorbankan hidup kamu hanya untuk sebuah bisnis?” Ucap Kiara lagi.
“Saya tidak masalah mengorbankan hidup saya untuk perjodohan. Jika tidak ada kecocokan di antara kita, nanti juga akan berakhir dengan perceraian.”
“What! Kamu punya pikirkan seperti itu. Kamu menikahi saya hanya untuk mengubah status saya menjadi seorang janda?”
“Kenapa tidak? Saya juga akan berstatus duda, kan? Hubungan kita hanya status demi kepentingan bersama?”
