Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 3

Sebelum Sharon menikah, ia dipanggil oleh pak Gunawan untuk membahas tentang pekerjaanya. Mereka ngobrol berdua secara empat mata, pak Gunawan mengatakan apakah dia akan melanjutkan pekerjaan ini atau tidak? Mengingat kalau Sharon sudah menikah dengan Marcel, beliau menilai kalau dirinya cukup baik menjaga Sharon selama ini. Jadi sangat disayangkan kalau ia mengakhiri pekerjaan ini, beliau menawarkan kerjaan ini lagi kepadanya dengan jabatan yang sama.

“Lau, kamu sudah menjalankan pekerjaan kamu dengan baik. Saya tahu kalau ini bukan pekerjaan yang mudah, saya ingin kamu masih bekerja dengan saya. Walau Sharon sudah menikah ikut dengan suaminya, saya tugaskan kamu menjadi asisten Kiara anak kedua saya.”

“Tugas utama kamu adalah membantu Kiara, mengatur jadwal hariannya, memastikan kalau Kiara baik-baik saja. Kiara mungkin akan lebih sulit diatur dibanding Sharon, dia agak pembangkang, emosinya tidak setabil seperti Sharon mungkin karena umurnya masih muda. Saya harap kamu bisa memantau semua kegiatan Kiara dan ke semua kegiatannya.”

Lauren hanya mengangguk, “Baik pak.”

Mereka kini berada di meja makan, seperti biasa ia juga ikut duduk dan makan di rumah ini. Ia memandang Kiara yang duduk hadapannya, biasa tempat duduk itu diisi oleh Sharon. Suasana pagi tampak hening, hanya terdengar alunan music dari audio mengalun lembut.

“Kiara …” ucap pak Gunawa menatap Kiara.

“Iya, pi,” Kiara memandang ayahnya..

“Papi mau memperkenalkan kamu kepada Lauren. Kamu sudah kenal kan?” Tanya papi.

Kiara menatap gadis bernama Lauren itu, ia tahu kalau wanita itu adalah asisten pribadi Sharon dulu. Dia memiliki wajah cantik, kulitnya putih, dan wajahnya terawat dengan baik. Kiara meraih cangkir berisi teh hangatnya, ia mengangguk.

“Iya, kenal. Asistennya Sharon kan?”

“Iya, kamu benar sayang.”

“Papi mau ngasih tau, kalau sekarang Lauren bertugas menjadi asisten kamu.”

Kiara melirik wanita itu, mereka sama-sama terdiam beberapa detik, “Okay,” ucap Kiara dia meletakan lagi cangkir di meja.

Di meja makan kembali hening, hanya dentingan garpu dan sendok terdengar dari segala sisi.

“Kamu hari ini mau ke mana, Kia?” Tanya papi, memandang Kiara yang sudah rapi.

Kiara menarik napas sebenarnya ia tidak memiliki banyak kegiatan di rumah ini, kadang bosan melanda. Ayahnya juga tidak menyuruhnya membantu dirinya di kantor karena di sana sudah ada Sharon.

“Mau ke kantor Braga,” ucap Kiara tenang.

Alis pak Gunawa terangkat, lalu tertawa, “Wah, bagus itu. Hubungan kalian semakin dekat ya,” ucapnya lagi.

Mami Kiara juga ikut Bahagia mendengar anaknya sudah dekat dengan Braga, “Kamu kalau panggil Braga, panggilnya mas, atau kakak, karena dia lebih tua dari kamu Kia.”

Kiara mendengar itu lalu tertawa, “What! Manggil Braga mas, kakak? Oh, tentu tidak!” ucap Kiara dalam hati, Ia tidak akan membuat pria itu besar kepala memanggil mas atau kakak, setelah pria itu mencampakkannya di tepi jalan sungguh sangat menjengkelkan menurutnya. Ia masih sakit hati atas prilaku Braga tadi malam.

“Denger kan Kia, apa yang mami ucapain?”

Kiara tersenyum dan mengangguk, “Denger kok mi, mungkin cocok panggil mas.”

“Nah gitu dong, mami seneng dengernya.”

“Mami dan papi bahagia kamu akhirnya mau menikah dengan Braga.”

“Kamu sudah tau kan, pekerjaan calon suami kamu apa?” Tanya papi.

Kiara menatap papinya, sejujurnya ia tidak tahu apa-apa tentang Braga, dan ia juga tidak mau mencari tahu,

“Iya tahu pi,” ucap Kiara, karena ia tidak ingin membahas Braga terlalu banyak di meja makan ini.

Kiara melihat jam di tangannya menunjukkan pukul 08.30 menit, ia beranjak dari duduknya, “Kayaknya Kia harus pergi deh ma, pi.”

“Ke kantor Braga?”

“Iya, tas Kia ketinggalan di mobilnya Braga, jadi di suruh ambil sama Braga pagi ini.”

“Kok bisa?” Tanya mami.

“Namanya juga lupa, mi.”

Papi Kiara memandang Lauren, “Lau, kamu antar ya Kia ke kantornya Braga.”

“Baik pak.”

Kiara melihat Lauren beranjak dari duduknya, ia yakin kalau Lauren itu seumuran Sharon kakaknya. Dia melangkan menu pintu utama, diiringi oleh Lauren di sampingnya.

“Kamu tahu kan kantornya Braga di mana?” Tanya Kiara.

“Iya, tahu.”

“Kamu juga tahu nomor ponsel pribadinya Braga?”

Lauren tersenyum dan kembali mengangguk, “Iya tahu semua, apa non Kia mau menghubungi pak Braga?” Tanya Lauren.

“Jangan panggil non, panggil Kia saja,” sebenarnya ia tidak menyangka kalau Lauren memiliki nomor Braga, sementara dirinya tidak memiliki nomor pria itu.

“Baik, Kia.”

Lauren melangkah menuju plataran halaman, tadi pagi ia sudah memanaskan mobil, karena mobil ini merupakan tanggung jawabnya. Lauren masuk ke dalam mobil, dia menyalakan mesin. Mobil BMW inilah yang ia pakai untuk mengantar Sharon ke sana kemari. Kini beralih untuk mengantar Kiara adiknya.

Lauren melihat Kiara dari balik kaca mobil, wanita itu melangkah menuju ke mobil. Ia harus sadar kalau wanita cantik itu adalah calon istri Braga. Ia masih ingat saat di Swiss, Braga menciumnya, suatu moment yang sangat romantic menurutnya.

Mereka sempat berbicara saat pernikahan Sharon waktu itu. Percakapan mereka masih berada di dalam benaknya.

“Saya dengar kamu akan menikah dengan Kiara?” Ucap Lauren membuka topik pembicaraan.

Braga mengigit bibir bawah, dia mengangguk dan tersenyum, “Iya.”

“Kamu terima perjodohan itu?”

Braga menarik napas, Kembali mengangguk, “Berhubung saya orangnya tidak ingin durhaka, maka saya turuti kemauan orang tua saya,” jelas Braga tenang.

“Syukurlah kalau begitu, saya turut berbahagia mendengarnya.”

Braga menghela napas, “Tapi saya tidak tahu ini akan berjalan dengan lancar atau tidak, karena sepertinya Kiara tipe wanita yang pemberontak. Dia bukan Sharon,” ucap Braga lagi, karena memang seperti itulah adanya. Ia tidak yakin bisa dengan sabar menghadapi Kiara dengan sifatnya seperti meledak-ledak dan suka tantrum.

Lauren menatap tatapan Braga yang memandangnya, “Hemmmm.”

“Dia sudah punya kekasih bernama Arya,” ucap Braga lagi, karena memang kenyataanya seperti itu. Kekasih Kiara sempat datang ke Jakarta, namun orang tua Kiara tidak welcome, akhirnya pulang dengan sia-sia.

“No coment, untuk masalah itu,” gumam Lauren.

“Saya sebenarnya tidak mengerti, yang saya merasa seperti fatamorgana. Umur saya dan dia jauh berbeda, pola pikir dan komunikasi juga berbeda, sepertinya akan sulit untuk bersama.”

“Terus gimana? Tetap ingin kamu lanjutkan?”

“Yah, jalanin saja. Hanya setatus aja kan.”

Lauren mengangguk, “Okay, semoga berjalan dengan lancar, semua keputusan ada di tangan kamu,” ucap Lauren.

“Tapi saya masih mengharapkan untuk dekat dengan kamu sampai kapanpun.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel