BAB 2
Braga memanuver mobil menuju rumah, dia melirik tas berwarna cream di sana. Ia tahu kalau tas Hermes itu adalah milik Kiara. Braga membiarkan tas itu tetap berada di kursi, ia tau kalau sang pemilik tas mahal itu lupa membawa tas nya saat ia menyuruhnya turun.
“Dasar cewek ceroboh dan pelupa!” Dengus Braga dalam hati.
Tidak lama kemudian, Braga sudah berada di depan rumahnya, dia memarkir mobilnya di plataran. Memang jarak rumahnya dan rumah Kiara memang tidak terlalu jauh masih di area Senayan. Sebenarnya ia sudah keterlaluan kalau ia sudah memberhentikan Kiara di tepi jalan. Ia sepanjang makan malam tadi menahan kesal, karena sebelum ia menyetujui pernikahan itu. Ia mendengar Kiara masih berhubungan dengan kekasihnya bernama Arya. Mereka masihh ngobrol sayang-sayangan di belakangnya, di mana ini merupakan hari di mana ia akan menerima perjodohan itu. Ia mendengar semua percakapan Kiara dan kekasihnya, yang membuatnya emosi dan tidak percaya.
Sebenarnya ia bisa saja menolak perjodohan mereka, namun ia merupakan produk dari orang tua mereka. Hampir semua keluarganya mulai dari kedua orang tuanya, tante, bibi, bahkan temannya merupakan hasil dari perjodohan. Hasilnya dari perjodohan itu, menghasilkan hubungannya sangat baik hingga saat ini.
Sebenarnya ia juga tidak yakin apa perjodohan ini berhasil atau tidak, karena sejak pertama bertemu hubungan ia dan Kiara tidak baik. Ia merasa kalau Kiara bukanlah tipe wanitanya, manja, dia kasar, ketus, egois, dia juga sangat ceroboh. Namun, ia tetap tidak bisa membatalkan perjodohan yang sudah dibangun oleh kedua orang tuanya.
Ia menganggap kalua perjodohan itu seperti dua sisi, ada sisi baik dan buruk. Jika beruntung hubungan itu berjalan dengan baik. Jika tidak beruntung maka hubungan itu akan hambar dan buruk, berakhir dengan perceraian. Ah sudahlah, ia tidak perlu memikirkan terlalu dalam tentang perjodohan mereka. Ia akan menjalaninya sampai di mana ia mampu.
Ketika ia mematikan mesin mobil, ia mendengar suara ponsel di dalam tas itu berbunyi. Braga menarik napas, dia menatap tas Kiara. Ia lalu meraih tas itu, dia buka, ia merogoh ponsel yang masih menyala. Braga menggeser ponsel itu, lalu dia letakan di telinga.
“Halo,” ucap Braga.
“Kembalikan tas saya!” Seru Kiara to the point.
Braga melihat jam di tangannya menunjukkan pukul 22.20 menit, “Kalau kamu mau ambil tas kamu, silahkan ambil sendiri!”
Mata Kiara terbelalak kaget, “What!” umpat Kiara.
“Kamu nggak bisa nyuruh driver kamu antar? Ke rumah saya!”
“Saya bilang ambil sendiri!”
“Sial!” umpat Kiara.
“Kamu yang butuh tas ini, silahkan ambil sendiri,” ucap Braga penuh penekanan.
“Saya akan suruh driver ambil ke rumah kamu.”
“Tidak akan saya kasih, kecuali kamu ambil sendiri!”
Kiara menggeram tidak terima, “Kamu maunya apa sih?”
“Kalau kamu butuh ponsel dan tas ini, ya kamu ambil sendiri!”
“Brengsek!” Ia merasa kalua Braga mempermainkannya.
“Kamu perlu ponsel ini kan malam ini! Agar bisa menghubungi kekasih kamu!”
“Sok tau! Tau apa kamu hidup saya!” Hardik Kiara.
Braga membuka pintu mobilnya, dia melangkah keluar, “Silahkan ambil atau saya biarkan tas kamu di mobil saya. Saya tidak mau buang-buang waktu mengurusi tas kamu!”
“Okay, saya ambil tas saya sekarang. Kamu di mana?”
“Di rumah.”
Braga menarik napas, ia melihat jam di tangannya, “Saya tidak terima tamu malam ini, silahkan ambil besok saja di kantor saya.”
“What!”
Braga lalu mematikan sambungan teleponnya begitu saja. Sementara Kiara gelagapan tidak percaya bahwa sambungan telfonnya di matikan begitu saja oleh Braga.
“Dasar nggak sopan!” umpat Kiara menahan geram.
Sumpah serapah tertaut di dalam hatinya, dia memandang ponsel di tangannya yang hamir saja ia banting. Namun ia tahan, karena ponsel itu adalah milik pembantunya. Kiara menatap bibi yang memperhatikannya dari kejauhan. Kiara menahan emosinya, dia buru-buru mengambalikan ponsel itu kepada bibi.
“Makasih ya bi ponselnya,” ucap Kiara.
“Iya non Kia, nggak apa-apa. Kalau perlu pakek aja lagi, ponsel itu juga dibeliin ibu.”
“Ah, cuma pakek bentar kok. Sekali lagi makasih ya bi.”
“Iya, non. Emangnya ponselnya non ketinggalan?” Tanya bibi penasaran.
Kiara mengangguk, “Iya, tas saya ketinggalan.”
“Kenapa nggak diambil aja non, suruh mang Ujang ambil.”
“Udah malam, besok pagi saja saya ambil bi.”
“Baik non, bibi masuk ke dalam kamar lagi ya non.”
“Silahkan, bi.”
Kiara melihat bibi kembali menuju kamarnya. Sementara Kiara melangkah menuju tangga atas, dia masuk ke dalam kamarnya. Hari ini benar-benar sial! Setiap bertemu dengan Braga emosinya jadi tidak stabil. Kenapa sih, calon suaminya Braga? Kenapa nggak pria lain aja! Dasar cowok nggak tau diri, egois! Geram Kiara.
________________________________
Suasana pagi ini seperti biasa, ia bangun pagi di rumah pak Gunawan. Di rumah mewah penuh keteraturan. Dipenuhi dengan ritme kehidupan yang terorganisir, di mana para pekerja sedang sibuk dengan urusannya masing-masing. Di dinding rumah ada lukisan-lukisan karya seni bernilai tinggi menghiasi dinding. Di beberapa sudut, terdapat ruang khusus untuk berolahraga atau bersantai, dengan peralatan modern dan fasilitas mewah
Semenjak Sharon menikah, majikannya sudah diboyong oleh suaminya, dia sedang menikmati hidupnya sebagai istri seorang dokter spesialis. Jujur selama bekerja sebagai asisten pribadi Sharon ia merasa kalau ini adalah pekerjaan paling mudah untuknya, dibanding pekerjaanya yang lain, apalagi gaji yang ia terima cukup tinggi, nilai tambahnya ia bisa jalan-jalan geratis.
Pekerjaannya ini tentu ia membayar seluruh waktunya. Kegiatannya sehari-hari tergantung dengan kegiatan atasannya seperti apa, kalau majikan sibuk ia ikut sibuk. Sedangkan kalau santai, ia bisa ikut santai. Kegiatanya selama menjadi asisten pribadi, sangat bervariasi mulai dari mengatur jadwal harian, memesan tiket perjalanan, dan selalu siap ke manapun majikannya berada tanpa mengenal waktu. Ia tidak tahu sampai kapan ia berada di posisi ini, yang jelas ia akan menikmati kehidupan ini.
Lauren menuruni tangga, dia melihat suasana di rumah. Seperti biasa pagi ini merupakan pagi yang tenang. Ia melihat sinar matahari yang masuk melalui jendela-jendela yang besar, menerangi ruangan-ruangan yang luas.
Lauren melangkah menuju halaman, melihat tanaman luas yang terawatt sangat baik. Udara pagi yang segar dan bersih. Pelayan dan staff rumah tangga sudah siap menyapa sang pemilik rumah menawarkan kopi dan sarapan yang disajikan dengan sempurna.
Sarapan pagi berupa omelet, croissant segar, jus buah impor dan bahkan kaviar, sesuai dengan selera penghuni rumah. Ruang makan dengan meja panjang yang bisa menampung banyak orang, kini masih berpenghuni karena sang pemilik rumah belum keluar dari kamarnya. Staff di rumah ini semuanya sudah sangat terlatih dengan baik bergerak dengan cekatan. Sementara dirinya tidak mengatur urusan rumah, karena ia lebih dekat dengan pemilik rumah.
Beberapa menit kemudian, akhirnya sang pemilik rumah sudah keluar dari kamarnya dengan berpakaian rapi dan wangi. Dia menyapa pak Gunawan dan istrinya, lalu di susul Kiara yang baru turun dari tangga.
“Pagi Lau,” sapa pak Gunawan menyapa Lauren.
“Pagi juga pak,” ucap Lauren.
