Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

DETIK DETIK KEHANCURAN

Rian sudah permisi pulang tanpa mendengarkan rayuan Rayya untuk bercinta, entah mengapa kali ini Rian lebih berhati-hati urusan bercinta dengan Rayya, dirinya sangat ingin namun ia tak berniat melanjutkan, mungkin karena Rian berpikir bahwa Rayya adalah istri koleganya. Ia tidak mungkin berbuat senaif itu. Rian masih sangat mencintai Rayya tetapi buat Rian menjaga kehormatan Rayya adalah hal yang harus ia lakukan. Lagi pula bila tertangkap ia bercinta dengan Rayya maka pasti semua usahanya bersama Haji Ridwan akan hancur berantakan.

“Aku ingin, tapi tidak untuk hari ini.” Bisik Rian di telinga Rayya yang masih telanjang bulat tanpa busana.

Rian kemudian pamit pulang. Hari masih terlalu pagi, bahkan untuk berbincang pun Rian menolak, ia butuh menguasai nafsu dan perasaannya. Ia lelaki normal, berdekatan dengan wanita seperti Rayya sungguh membuat ia tak mungkin bisa menahan dirinya.

“Assalamualaikum, Ray.” Suara tenor Pak Ridwan suaminya berada di sebrang, hanya komunikasi via selular ini yang menghubungkan dirinya dengan suaminya.

“Waalaikumsalam, ada apa ?” Jawab Rayya ketus.

“Kok, ada apa sih Ray ?”

“Habisnya udah lama nggak ada kabar.”

“Aku harus berhati-hati Ray, karena istriku sudah mulai curiga dan sepertinya ia mulai mencari jalan agar bisa mengetahui hubungan kita.”

“Terus, atas itu mas menjauhiku, lalu kemudian mas akan menceraikan aku dengan alas an itu ?”

“Ray, kamu salah. Salah besar. Aku tidak akan meninggalkanmu tapi aku akan berhati-hati agar kita tidak salah jalan.”

“Iya, tapi kalau tidak menghubungi terus, Ray kan jadi kangen.”

“Aku ngerti, Ray. Tapi aku harap kau bersabar, kalau istriku kalap kita malah akan hancur, Ray.”

“Berita ini saja sudah membuat Ray hancur, Mas.” Rayya mulai manja dan pura-pura terisak.

“Di rumah ini semua tempat berisi kenangan tentang, mas.”

“Mas sangat mengerti, Ray. Tapi Mas mohon kamu bersabar.”

“Kapan mas bisa dating kemari lagi, aku kangen” Ray mulai merajuk.

“Sebentar lagi mas transfer kamu tiga puluh juta ya, itu untuk belanja satu bulan ini karena mungkin mas belum bisa dating selama satu bulan ini.”

Ray kini benar-benar terisak. Miliknya harus diambil lagi oleh pemilik aslinya. Lalu aku ini siapa ?” Tanya Rayya dari dalam hatinya.

“Hallo, Ray, Ray, jangan menangis, mas masih suami mu, mas akan upayakan kita untuk ketemu, jadi kamu tetap sabar ya.”

“Aku nggak bisa ngomong apa-apa, Mas.” Suara Ray parau.

“Ray sayangku, aku juga saying kamu.” Ucap Pak Ridwan dari seberang.

“Mas, biasanya Ray kalau kangen sama mas, Ray akan jalan-jalan menghibur diri, gini aja biar uangnya nggak habis mas kirim sedikit-sedikit saja dulu.”

“Oh, jangan,”

“kenapa, Mas ?”

“Mas, khawatir kalau kamu lagi membutuhkan, saat itu mas malah tidak bisa dihubungi.”

“Mas….” Teriak parau Rayya dari bibirnya.

“Oke , mas kirim enam puluh juta, semoga cukup. Kamu hemat ya uangnya.”

Ray hanya diam tidak menjawab, lalu dengan sengaja ia hempaskan tubuhnya di ranjang empuk miliknya. Secuil dari hatinya gelisah akan kehilangan Pak Ridwan. Tapi hanya secuil, yang lain tidak. Sisanya hanyalah ketakutan dirinya akan jadi seperti dulu, tanpa cinta dan tanpa uang. Tapi, enam puluh juta cukuplah untuk biaya hidup sebulan, lumayan bila nanti Pak Ridwan pergi setidaknya ia tidak akan jatuh miskin. Rayya bicara sendiri dengan imajinya.

“Tapi, apa iya aku akan melepaskan Pak Ridwan untuk bahagia bersama istrinya begitu saja ? Sedang aku dibuang seperti sampah.”

“Betapa bodohnya aku, kalau aku menderita maka Pak Ridwan juga harus menderita. Aku bukan alas kaki yang terus diinjak disemua tempat. Aku harus jadi sesuatu agar diriku berharga dan keluarga Pak Ridwan harus tahu bahwa aku pernah ada di hati Pak Ridwan. Mereka harus merasakan kepedihan yang aku rasakan. Harus,”

Ray menggumam sendiri, dalam kekalutannya sendiri. Ia merasa jengah terus menerus jadi yang kalah tanpa sedikitpun memberikan pelajaran pada mereka. Rayya mulai berpikir keras. Tentang bagaimana caranya membalas Pak Ridwan yang seolah-olah member lampu hijau bahwa dirinya akan meninggalkan Rayya begitu saja.

Di luar mentari kian garang bersinar, seolah menantang Rayya bahwa pertarungan ini harus ia menangkan.

Hallo, ini Bu Lasmi istri Pak Haji Ridwan ya ?” Tanya Rayya.

“Iya, ini siapa ?” Suara di sebrang ketus sekali.

“Saya Rayya, kapan kita bisa ketemu, saya ingin bercerita tentang suami ibu tapi ibu harus diam agar tidak ada gejolak ya, Bu.”

“Maksudnya ?”

“Kita ketemu dulu, Bu.”

“Oke, kamu di mana ?”

“Saya di Martapura.”

“Hari ini juga saya ke Martapura, kamu tunggu saya di Rumah Makan Wong Solo tepat pukul satu siang.”

“Siap, Bu.”

Rayya bersorak riang, ia harus berhasil menghancurkan sebelum hancur. Rayya bersiap-siap, ia ajak Marni untuk ikut menggendong Rasya, Rayya sendiri memoles wajahnya dengan bedak dan lipstick berwarna merah darah, ada mascara dan eye liner di matanya. Ia cantik sempurna. Gaun berwarna merah darah ia kenakan di tubuhnya, gaun cantik keluaran butik seharga dua juta tujuh ratus ribu dengan pernak-pernik bruklat di badannya membuat ia makin anggun saja. Tidak lupa kerudung panjang warna senada dan tas juga sepatu merah yang sama. Rayya Nampak jelita, pantas saja bila ia jadi istri ke dua.

Pukul setengah satu ia meminta sopir mengantar ke alamat yang telah ditentukan, sesampainya di sana Rayya menghubungi Bu Lasmi karena ia sama sekali tidak tahu wajah Bu Lasmi yang mana.

“Saya mengenakan blazer hitam dan dalaman warna biru muda.” Ucap wanita itu. Sebelum turun Rayya meminta sopir mengawasi sekeliling.

“Orangnya duduk di ruangan ber AC, Bu.”

“Oke, makasih ya.” Rayya pun turun menuju tempat yang sudah diceritakan sang sopir.

“Ibu Lasmi perkenalkan saya Rayya, “ Seru Rayya sambil mengulurkan tangannya.

“Ya.” Jawab Bu Lasmi ketus.

Sepertinya orang ini penuh masalah dalam hidupnya, tampak sekali tidak ada senyum di bibirnya, pantas saja Pak Ridwan meninggalkannya menikah lagi. Hidup dengan cucian belum kering begini, keindahannya di mana ?. Rayya menggumam

“Kamu to the point saja.Apa yang kamu tahu tentang suami ku ?”

“Bu, ibu tenang dulu, saya akan bercerita runtun dan atas cerita itu saya tidak akan minta uang sepeser pun dari ibu.”

“Cerita saja, agak cepat dikit ya, waktu saya tidak banyak!” Sombong sekali Bu Lasmi bicara, sebagai istri pejabat sepertinya sangat layak memang bila ia bersikap demikian namun bukan Rayya namanya bila ia tidak bisa mengendalikan keadaan.

“Oh, kalau ibu sibuk kita tunda saja perbincangan kali ini.” Rayya pura-pura berdiri dan ingin pergi.

“Eh, kamu jangan main-main saya sudah membuang waktu dengan dating kemari. Kamu harus tahu itu!”

“Ibu tidak usah membentak saya, ibu harus ingat saya bukan bawahan ibu !” Rayya tidak mau kalah. Bu Lasmi pun diam, ia mulai sedikit takut karena bila hari ini batal artinya ia tidak akan mendapatkan informasi tentang suaminya.

Rayya merogoh tas brandednya lalu mengeluarkan banyak foto dan melemparkannya pada Bu Lasmi.

Bu Lasmi melihat foto-foto itu lalu bergantian melihat Rayya, ya wajah di foto dengan wajah wanita di depannya memang orang yang sama.

“Saya istri ke dua Pak Ridwan, tapi ibu tenang saja kedatangan saya kemari hanya ingin bilang kepada ibu bahwa ibu harus punya taktik agar suami ibu mau menceraikan saya sebelum saya menghabiskan harta ibu, ibu bilang kalau ada teman ibu yang punya foto-foto itu, ibu harus paksa Pak Ridwan menghubungi saya via telepon dan menceraikan saya.”

“Jadi kamu ???!”

“Sudah, ibu tidak usah lebay, saya tidak ingin dunia memanggil saya PELAKOR. Itu sebabnya saya minta ibu memoohon pada Pak Ridwan untuk menceraikan saya. Saya dulu mau dinikahi suami ibu karena saya hamil dengan temannya sesame pejabat, saya butuh lelaki agar saya tidak malu dengan kehamilan saya. Saya berjanji akan pergi dari kehidupan suami ibu selamanya meski ia terus-terusan memohon agar bila saya butuh uang tidak segan-segan meminta pada beliau. Ya… semoga saja saya punya uang terus sebelum saya punya suami lagi. “ Rayya mulai bersandiwara.

Dada Bu Lasmi terasa nyeri, mukanya merah padam, makanan di meja sama sekali tidak tersentuh. Wanita mana yang mau suaminya menikah lagi terlebih rivalnya adalah wanita secantik Rayya. Bu Lasmi jelas terlihat hancur. Lalu ia ingat ucapan Rayya tentang uang, ya, uang.

“Aku akan memberimu uang seratus juta dengan syarat jangan pernah muncul dalam kehidupan suami ku.” Suara Bu Lasmi tegas. Bu Lasmi tahu bila bersaing fisik maka dirinya akan kalah, keriput di wajahnya banyak nian, bibirnya juga sudah mulai Nampak hitam sedang Rayya masih segar dan menggoda, ia harus gunakan uang untuk menjauhkan Rayya dari suaminya.

“Ibu tidak perlu menyogok saya, ini bukan tentang uang, ini tentang kesungguhan. Suami ibu sungguh lelaki yang sangat baik.”

“Jangan puji suami ku di depan ku apalagi dari bibir mu, berapa nomer rekening mu ? Aku transfer sekarang !”

Rayya pun menuliskan nomer rekeningnya, lalu lima menit kemudian uang itu telah masuk di rekeningnya tanpa basa-basi lagi. Rayya pun berdiri, memasang kerudung merahnya agar menutupi setengah rambutnya lalu mengenakan kaca mata di mata indahnya. Atas itu Rayya kian tampak mempesona.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel