BAB. 6 Keinginan Terselubung Rayner
Jet pribadi milik Tuan Zay Brett akhirnya perlahan menuruni langit Dubai, mendarat dengan mulus di salah satu landasan di bandara internasional yang megah. Cahaya lampu yang gemerlap di Kota Dubai terlihat berkilauan dari jendela pesawat, menandakan kedatangan mereka di pusat salah satu kota termaju di dunia. Di dalam kabin yang mewah, Rayner yang duduk di samping istrinya, Deborah, yang tampak tak sabar.
“Yeah, akhirnya kita sudah sampai di Dubai!” seru Rayner dengan antusias.
Raynard, saudara kembarnya, yang duduk tak jauh darinya hanya bisa tersenyum tipis dan menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Rayner yang tak pernah berubah sejak kecil.
“Kita cuma transit, Rayner,” ucap Raynard, mencoba mengingatkan adiknya.
“What? Hanya sekedar untuk transit? Tentu saja itu tidak boleh terjadi!” seru Rayner sambil tersenyum penuh misteri.
Rayner pun pura-pura tak mendengarkan apa sedang dikatakan oleh kakak kembarnya, Raynard. Karena dia sudah punya rencana sendiri di kepalanya.
“Mommy,” panggil Rayner manja kepada ibunya, Nyonya Olivia, yang duduk di seberangnya.
“Iya, Rey. Ada apa?” tanya Mommy Olivia lembut kepada putra bungsunya.
“Begini, Mom. Ada yang ingin aku sampaikan tentang sesuatu, nih.” seru Rayner lagi semakin bersikap manja kepada ibunya, layaknya anak kecil yang sedang menginginkan mainan baru kepada orang tuanya.
“Iya, Rey. Katakan saja, kamu mau apa dari Mommy?” ucap Nyonya Olivia, semakin penasaran.
Rayner pun semakin bersemangat karena respon baik dari ibunya. Pria tampan itu pun segera berkata,
“Begini, Mom. Bagaimana kalau kita tinggal di Dubai beberapa hari ke depan? Aku mau ajak Deborah jalan-jalan, kita berdua juga bisa sambil honeymoon di sini.”
Nyonya Olivia menoleh ke arah putra bungsunya, sambil tertawa pelan melihat wajah memelas dayi Rayner.
“He-he-he. Ide yang sangat bagus, Rey. Tapi sepertinya Daddy-mu pasti sudah memiliki jadwal meeting yang sangat padat di Jakarta sana. Jadi kita ita cuma berhenti sebentar di sini untuk mengisi bahan bakar saja.”
“Yah …. Mommy!” serunya kecewa.
Namun Rayner tak menyerah. Dia pun segera mencondongkan tubuhnya sedikit mendekati ibunya. Lalu berkata lagi,
“Mommy, please .... Coba rayu Daddy, ya? Kita tiga hari saja di sini. Aku janji, nggak akan lama. Setiap orang juga bisa istirahat sebentar dari perjalanan panjang ini.”
Deborah yang duduk di samping Rayner hanya tersipu malu mendengar rengekan suaminya. Dia sebenarnya tak keberatan dengan ide Rayner, tapi caranya membujuk orang tuanya selalu penuh drama. Sang istri hanya bisa menunduk, berharap tak menjadi pusat perhatian.
Raynard, yang mengamati dari kejauhan, kembali menggeleng-gelengkan kepala. “Rayner? Apakah ini beneran adalah Rayner? Baru kali ini aku lihat kamu begitu gigih buat merengek,” sindir Raynard kepada adik kembarnya.
Rayner pun menatap Raynard dengan senyum lebar.
“Ya jelas, dong! Aku adalah Rayner Brett! Sekarang Aku dan Deborah sedang dalam misi penting!”
Nyonya Olivia mengernyit, penasaran.
“Misi penting apa?”
Rayner menoleh pada kedua orang tuanya dengan ekspresi serius, lalu berbicara dengan nada yang sedikit lebih rendah, seolah-olah ingin membuat pernyataan penting.
“Mommy, Daddy, asal kalian tahu, Aku dan Deborah sedang bekerja keras untuk mewujudkan keinginan Mommy dan Daddy.”
Deborah merasa wajahnya mulai memanas. Dia memang tahu apa yang akan diucapkan oleh Rayner, dan dirinya semakin malu.
“Apa maksudmu, Rayner?” tanya Tuan Zay Brett, yang duduk di dekat Nyonya Olivia, yang akhirnya tertarik pada percakapan putra bungsunya.
Rayner menarik napas dalam-dalam, sebelum menjawab pertanyaan ayahnya dengan nada penuh kemenangan.
“Aku dan istriku sedang berusaha memberikan Mommy dan Daddy, cucu!”
Deborah langsung tertunduk, wajahnya semakin memerah. Dia tidak tahu harus berkata apa. Berbicara tentang rencana keluarga di depan orang tuanya saja sudah membuatnya gugup, apalagi di depan Raynard, sahabatnya, yang kini juga menjadi saudara iparnya. Dia bisa merasakan tatapan mata semua orang di ruangan itu tertuju padanya.
Raynard tertawa pelan, tidak bisa menahan dirinya.
“He-he-he! Kamu memang selalu dramatis, Rayner,” tukasnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Nyonya Olivia tampak terkejut sesaat, lalu tertawa lembut.
“Rayner, kamu memang selalu tahu bagaimana membuat Mommy tersenyum.”
Rayner semakin bersemangat. “Jadi bagaimana, Mommy? Cuma tiga hari saja kok, kita berada di sini. Kita bisa istirahat, jalan-jalan, menikmati pemandangan Kota Dubai. Dan siapa tahu ... cucu yang diidam-idamkan tersebut bisa datang lebih cepat kalau kita ada di sini!” ujarnya sambil melirik ke arah Deborah yang semakin menunduk malu.
Melihat kegigihan Rayner, Nyonya Olivia mulai luluh. Dia pun menoleh pada suaminya. “Darling, bagaimana menurutmu? Mungkin kita bisa beristirahat sebentar. Sudah lama juga kita tidak liburan keluarga.”
Tuan Zay Brett terdiam sejenak, merenungkan permintaan itu. Dia tahu betapa Rayner selalu ingin punya waktu bersama keluarganya, dan meski jadwalnya padat, sepertinya sang ayah tak bisa menolak permintaan sederhana seperti ini.
“Hmm, baiklah,” jawab Tuan Zay akhirnya.
“Daddy akan menghubungi Aspri yang ada di Jakarta agar menunda beberapa pertemuan dengan klien. Tapi ingat, hanya tiga hari, tidak boleh lebih.”
Rayner langsung melonjak senang.
“Yes! Terima kasih, Mommy! Daddy, memang yang terbaik!” serunya dengan penuh semangat, sebelum memeluk ibunya erat-erat.
Deborah hanya bisa tersenyum malu, sementara Raynard menghela napas panjang, jelas-jelas terhibur oleh tingkah laku adik kembarnya.
“Rayner, kamu benar-benar tahu cara mendapatkan apa yang kamu inginkan,” seru Raynard sambil menepuk bahu adiknya.
“Yah, kalau untuk hal yang penting seperti ini, aku pasti akan berusaha!” balas Rayner dengan senyum penuh kemenangan.
“Sekarang, Deborah dan aku bisa menikmati bulan madu yang sempurna di Dubai, dan kita semua juga bisa menikmati waktu bersama-sama.”
Deborah tersipu lagi mendengar kata “bulan madu” yang terus diulang-ulang Rayner. Dia sebenarnya senang bisa menghabiskan waktu lebih banyak bersama suaminya, tapi dirinya juga tak bisa mengabaikan rasa malunya setiap kali Rayner berbicara tentang hal-hal pribadi di depan keluarganya.
“Deborah, Sayangku. Kamu nggak apa-apa kan kalau kita tinggal di sini sebentar?” tanya Rayner dengan lembut, mencoba memastikan istrinya setuju.
Deborah mengangguk pelan, masih merasa canggung.
“I .. itu terserah kamu, Rayner. Aku ikut saja.”
Rayner tersenyum puas.
“Yes Baby! Ini akan jadi liburan keluarga yang sangat luar biasa!”
Tuan Zay Brett pun terlihat dengan segera mengeluarkan ponselnya dan menelepon asistennya yang ada di Jakarta. “Halo, bisa tolong reschedule meeting dengan klien dalam tiga hari ini, Ya! Kami akan berada di Dubai sedikit lebih lama. Terima kasih.”
Setelah menutup telepon, Tuan Zay menatap anggota keluarganya. Lalu berkata,
“Baiklah, semuanya. Kita akan berada di sini selama tiga hari. Kalian bisa menikmati waktu santai kalian. Tapi setelah itu, kita harus kembali ke rutinitas yang telah menunggu di Jakarta.”
“Setuju!” jawab Rayner dengan senang.
“Kita bisa mulai dengan menjelajahi pusat kota besok pagi!”
Raynard, meskipun tak pernah sepenuhnya setuju dengan Rayner, ikut tersenyum melihat semangat adiknya.
“Ya, mungkin ini saat yang tepat untuk sedikit bersantai.”
Deborah, meski masih merasa malu, mulai terbawa suasana kegembiraan.
“Aku rasa ini akan menjadi pengalaman yang tak terlupakan,” ucapnya pelan.
Rayner punmerangkul istrinya dengan lembut.
“Benar, Sayangku. Ini pasti akan menjadi momen yang indah untuk kita berdua, Deborah.”
Dengan keputusan itu, suasana dalam pesawat menjadi lebih ringan. Keluarga Brett akhirnya siap menikmati waktu mereka di Dubai. Meski awalnya hanya transit, Rayner berhasil mengubahnya menjadi kesempatan istimewa untuk bersantai bersama keluarga dan menikmati momen-momen berharga bersama Deborah.
