BAB. 5 Memanjakan Suami Di Atas Pesawat
Pesawat jet pribadi milik keluarga Brett semakin melesat tinggi di udara, membelah langit biru di atas berbagai negara dan benua. Interior mewah pesawat itu didominasi oleh warna krem dan emas yang elegan, memberikan kesan kemewahan dan kenyamanan yang tak tertandingi.
Di dalam pesawat, suasana relatif tenang, hanya terdengar deru halus mesin dan suara peralatan makan yang beradu pelan. Anggota Keluarga Brett tengah menikmati perjalanan panjang menuju Jakarta, sementara kru pesawat terlihat sibuk mempersiapkan makanan di bagian pantry.
Di bagian depan, Tuan Zay dan Nyonya Olivia duduk dengan nyaman di kursi berlapis kulit yang empuk. Meja kecil di depan mereka dihiasi dengan hidangan makan siang ala western yang menggugah selera. Antara lain steak medium-rare dengan saus lada hitam, kentang tumbuk halus, dan sayuran kukus. Tuan Zay yang mengenakan kemeja putih dengan dasi longgar tampak rileks sambil menyesap anggur merah dari gelas kristal di tangannya.
“Steaknya enak, kan, Darling?” tanya Nyonya Olivia sambil menyuapkan satu potongan daging steak ke mulutnya. Wanita sosialita itu terlihat sedang mengenakan gaun kasual berwarna pastel, yang tampak anggun dan santai.
“Iya sungguh sempurna, Darling. Kru pesawat ini memang benar-benar tahu selera kita,” jawab Tuan Zay sambil tersenyum tipis.
“Aku senang kita memutuskan untuk menggunakan jet pribadi pada perjalanan kali ini. Perjalanan kita jadi terasa lebih santai.”
Nyonya Olivia mengangguk setuju.
“Benar banget, Darling. Rasanya sudah lama kita tidak bepergian bersama dengan suasana setenang ini.”
Lalu di kursi pojok, Raynard terlihat sedang duduk dengan pandangan kosong ke luar jendela pesawat. Pria itu terlihat asyik menatap awan-awan yang menggelayut di kejauhan. Di depannya juga tersaji hidangan makan siang yang sama, namun pria itu tampak tidak begitu bernafsu untuk makan. Sesekali, garpunya bergerak malas menyentuh makanan di piring, tapi pikirannya jelas melayang entah kemana.
"Rebecca ..." gumamnya pelan, nyaris tak terdengar. Sudah bertahun-tahun, dia tidak mendapat kabar dari gadis yang diam-diam dicintainya. Kehilangannya begitu mendalam, seperti sebuah lubang yang tak bisa diisi oleh apapun. Segala sesuatu yang biasa dia nikmati sekarang terasa hampa baginya.
Salah satu kru pesawat, seorang pria berusia sekitar empat puluh tahun dengan seragam rapinya, terlihat sedang mendekat ke arah Raynard.
“Apakah Anda butuh sesuatu, Tuan Raynard?” tanyanya dengan sopan.
Raynard menggeleng pelan. “Tidak, terima kasih,” jawabnya singkat.
Pemuda tampan itu terlihat kembali menatap ke arah luar jendela, mencoba mengabaikan perasaan kosong yang terus membelenggu hatinya.
Sementara itu, di kursi belakang pesawat, Rayner dan Deborah terlihat jauh lebih ceria. Mereka berdua duduk berdampingan, dengan hidangan yang sama terhidang di meja kecil di depan mereka. Rayner, yang mengenakan kaos hitam santai, tersenyum penuh godaan sambil menyuap sepotong steak ke mulut Deborah.
“Ayo, satu gigitan lagi, Sayang. Ini sangat enak, kan?” ucap Rayner dengan nada manja.
Deborah tertawa kecil, bibirnya bergetar menahan malu.
“He-he-he. Kamu memang selalu saja punya cara untuk menggodaku, ya?” balasnya sambil membuka mulut dan menerima suapan dari Rayner, suaminya.
Gaun biru muda yang dikenakan oleh Deborah membuatnya tampak anggun, dan di matanya, terpancar rasa cinta yang tulus kepada suaminya.
Rayner pun tertawa bahagia.
“Ha-ha-ha! Ya, kan kamu istri kesayanganku. Aku harus pastikan kamu selalu bahagia, Deborah.”
Setelah selesai makan, Rayner mengusulkan sesuatu dengan senyum nakal di wajahnya. “Deb, gimana kalau kita istirahat dulu? Di belakang ada satu kamar yang nyaman, kita bisa tiduran sebentar di sana.” Seringai licik, tergambar jelas di raut wajah tampannya saat ini.
Deborah seketika menatap suaminya dengan curiga. “Tidur? Atau ada maksud lain, Rey?”
Rayner tertawa, menunjukkan deretan giginya yang putih bersih.
“Ha-ha-ha! Ya jelas ada maksud lain dong, Sayangku. Ayo, ikut aku,” ucapnya lalu meraih tangan istrinya dan menggenggamnya erat-erat.
Deborah tak bisa menahan tawanya dan akhirnya mengikuti Rayner menuju ke salah satu kamar di bagian belakang pesawat. Kamar itu dilengkapi dengan ranjang king-size yang empuk, dilapisi sprei putih bersih. Lampu kamar yang redup menambah suasana romantis.
Begitu mereka masuk, Rayner dengan cepat berbaring di atas ranjang, tangannya terentang lebar. Seraya berkata kepada istrinya
“Nah, sekarang giliranmu untuk memanjakan pedang panjangku, Sayang.
Ayo ke sini, Baby. Aku mau kamu yang naik,” ucapnya dengan nada yang dalam, tapi penuh godaan.
Deborah meletakkan kedua tangannya di pinggang, menatap suaminya dengan tatapan setengah geli, setengah kesal.
“Rayner! Kamu itu memang nggak ada kapoknya, ya? Kita lagi di atas pesawat, Sayang!” Namun, senyum di bibirnya tetap hadir menunjukkan jika dia menikmati perkataan suaminya yang selalu saja menggodanya.
“Yah, namanya juga suami istri, Deb. Harus terus bermesraan untuk memupuk rasa cinta dan saling memiliki yang hakiki! Lagi pula, kita punya waktu sampai malam tiba sebelum pesawat ini mendarat untuk transit di Dubai,” jawab Rayner sambil mengedipkan satu matanya.
Deborah terlihat menghela napasnya, tapi kemudian menyerah dan ikut berbaring di samping Rayner.
“Kamu memang selalu tahu cara untuk merayuku,” tuturnya lagi.
Rayner tertawa lagi, lalu dengan lembut menarik Deborah lebih dekat.
“Karena aku tahu apa yang terbaik untuk kita, Sayangku!”
“Yes! Baby! Lagi, Sayang! Oh!” desah Rayner yang mulai kewalahan saat istrinya sedang memainkan alat tempurnya di bawah sana. Membuat dirinya semakin melayang di udara padahal mereka juga sedang berada di dalam pesawat.
“Terus, Deborah! Do it again! Kamu sangat jago, Sayangku!” seru Rayner lagi, yang semakin tertutupi aura kabut hasrat yang semakin berkobar.
Dengan lihai, Deborah terus memanjakan senjata keramat milik Rayner. Mengulumnya, menjilat ujungnya dan memasukkannya ke dalam mulutnya.
Lidah Deborah juga ikut memainkan bola-bola kembar milik suaminya. Yang semakin membuat Rayner terbalut hasrat yang semakin naik.
“Baby! Kamu hebat, Sayangku! Teruskan, Deb! Oh!” desah Rayner tak tertahankan.
Sementara Raynard yang baru ke luar dari dalam toilet pesawat, terlihat geleng-geleng kepala saat melihat bangku Rayner dan Deborah yang kosong. Dia pun curiga jika pasangan sejoli itu sedang asyik bermesraan di dalam kamar.
“Ya ampun Rayner! Lo benar-benar tak tahu tempat! Kita sedang dalam pesawat, berani-beraninya Lo melakukannya!” seru Raynard dalam hatinya.
Waktu berlalu dengan cepat. Di luar, matahari perlahan mulai tenggelam, menggantikan siang dengan malam. Suasana di dalam pesawat masih tenang, hanya terdengar percakapan ringan antara Tuan Zay dan Nyonya Olivia, sementara Raynard tetap tenggelam dalam pikirannya, duduk sendirian di kursi pojok.
Di dalam kamar, Rayner dan Deborah masih menikmati momen-momen romantis mereka dengan penuh kehangatan. Rayner memeluk Deborah erat-erat, memberikan ciuman lembut di keningnya. “Aku mencintaimu, Deb. Selalu. Terima kasih untuk servis singkatnya, Sayang”
Deborah menatapnya dengan mata berbinar.
“Aku juga mencintaimu, Rey. Iya, sama-sama, Sayang.”
Mereka berdua akhirnya tertidur dengan damai, terhanyut dalam kebersamaan yang hangat dan penuh cinta, sementara jet pribadi mereka terus melaju di bawah langit malam, membawa keluarga Brett menuju ke Dubai untuk transit dan mengisi bahan bakar.
