SEJARAH KELUARGA
Carla—yang masih di perpustakaan nasional— terserang bersin-bersin hebat sampai hidungnya memerah dan matanya berair. Mendongakan kepala agar cairan dari hidung berhenti keluar.
"Ah, flu ini benar-benar menghambat pekerjaanku!" maki gadis itu sembari berusaha fokus membaca beberapa berkas dan buku. "Ah, ini menarik!" serunya saat membaca sejarah keluarga Vlad.
"Mereka melakukan ini hanya karena untuk mempertahankan darah murni kebangsawan, juga demi harta dan kekuasan." Carla membaca pelan.
Sedarah? Kelainan genetik?
“Perkawinan sedarah. Pasti itu penyebabnya, sehingga banyak keluarga Vlad yang mengalami kelainan genetik,” gumamnya yakin.
Dengan cepat merapikan catatan dan bukunya, lalu pergi ke bagian buku medis dan mulai mencari tahu tentang perkawinan sedarah dan penyebab kelainan genetik. Dalam buku-buku referensi itu terdapat wajah-wajah rupanya yang sangat mirip dengan wajah-wajah di keluarga Vlad.
"Mati karena kelainan genetik?" pikir Carla lagi. "Lalu, jika begitu mayat-mayat yang akhir-akhir ini ditemukan, siapa pelakunya?"
Hampir semua mayat yang ditemukan itu dinyatakan meninggal karena kehilangan darah sebanyak 40 persen, sehingga membuat organ-organ tubuh gagal berfungsi.
Sementara itu, Carlton juga masih menyelidiki kasus ini. Ditemukan luka arteri utama terpotong di bagian leher dan arteri di bagian pinggul. Terbukanya dua arteri ini bisa menyebabkan kematian dalam hitungan menit.
Di ruang bagian forensik, pria itu masih memandangi salah satu mayat yang baru saja ditemukan. Gadis muda berusia 19 tahunan dengan paras cantik sempurna.
Anehnya tidak ditemukan jejak kekerasan secara seksual, hanya kehilangan banyak darah saja.
"Motif, motif!" gumam Carlton sembari berpikir. "Jika bukan kejahatan secara seksual, maka ini karena motif dendam."
Melihat korban yang dipilih acak, lelaki tersebut berkesimpulan jika para korban tidak mengenal pelaku, karena pelaku yang memilih mereka secara acak.
"Pembunuh berantai," pikirnya.
Carla juga memikirkan hal yang sama. Setelah mengetahui bahwa keanehan keluarga Vlad hanya karena perkawinan sedarah yang mengakibatkan kelainan genetik yang merusak hemoglobin, sehingga mudah membuat mereka menjadi sakit atau cacat. Salah satunya tidak bisa terkena cahaya matahari ataupun terjadi kebengkokan tulang- tulang pada tubuh.
"Ah, tak tahan lagi!" serunya pelan, seraya memegangi kepala yang mendadak terasa pusing.
Dengan segera membereskan tas dan buku-buku, lalu bergegas meninggalkan perpustakaan. Sungguh, hari ini sangat melelahkan, sehingga ingin cepat pulang dan tidur. Namun, baru saja jalan beberapa langkah ke luar dari perpustakaan.
Di rumah sakit, Carlton duduk di sisi ranjang Carla. Gadis itu pingsan, ketika dia baru saja selesai makan siang di restoran yang berada dekat dengan perpustakaan.
Berpikir untuk menggeledah tas gadis yang belum sadarkan diri tersebut dan alisnya mengernyit ketika melihat catatan-catatan tentang keluarga Vlad. Kemudian, mengecek ponsel Carla, mengambil jari telunjuknya untuk memindai ke ponsel dan kunci pun terbuka.
Carlton melihat isi galeri foto Carla dan menatap curiga pada kamar yang digembok dengan rantai besi.
"Kau ...," ucap Carla yang baru saja terbangun.
"Kau pingsan," jawab Carlton seraya meletakkan ponsel gadis itu di atas nakas dan menunjukan buku catatannya. "Kau masih menyelidiki keluarga Vlad?"
Carla memasukan barang-barang yang telah Carlton keluarkan dari tasnya dan karena merasa sudah sedikit lebih baik, dia mencabut sembarang infus di tangan dan segera saja bangkit berdiri beranjak dari tempat tidur pasien.
"Mau ke mana?" Carlton bersuara.
"Menghindarimu!" jawab Carla kesal.
"Aku akan mengantarmu."
Carlton menarik lengan gadis itu, lalu langsung menggenggamnya kuat dan tidak ada penolakan, karena masih sedikit lemas, sehingga terpaksa menuruti lelaki tersebut.
Begitu sampai di tempat tinggal Carla yang berdesain minimalis dengan kombinasi warna monokrom. Carlton masuk sambil memapah sang pemilik masuk, Carlton memperhatikan sedikit tumbuhan hijau di sudut ruangan dan juga bunga di atas meja.
"Desain yang anggun, tapi mengapa pemiliknya adalah seorang wanita yang bar- bar?" ujarnya sambil duduk di salah satu sofa sambil menyilangkan kedua kaki, lalu dia mulai menasehati gadis itu lagi. "Hentikan semua yang sedang kau selidiki ini!"
"Kasus yang mana maksudmu?” Carla menatap lelaki itu dengan tajam. “Count dracula atau kasus tentang ibuku?"
"Keduanya," jawab Carlton sambil menyeringai.
"Memangnya kau ini siapanya aku? Mengapa selalu menentang saja dan mau mengaturku?" Carla menaikan nada bicaranya.
"Dengar, Carla! Ini semua demi kebaikan dan keselamatanmu," ujar Carlton dengan nada dan ekspresi yang sangat serius.
Mengingat para korban pembunuh berantai yang sedang diincar dan ditargetkan kebanyakan adalah gadis-gadis muda sebagai korban. Sebenarnya, lelaki tersebut sangat mengkhawatirkan keselamatan gadis yang kini ada di hadapannya, hanya saja tidak bisa mengungkapkan hal itu.
"Tuan Carlton," panggil Carla. "Terima kasih sudah mengantarku. Silakan Anda pulang," ujarnya seraya membuka pintu motel selebar-lebarnya.
Mendengar Carla memanggil dengan embel-embel 'Tuan’ kepadanya, Carlton memahami bahwa gadis itu sedang marah. Dia pun berdiri dari sofa dan bergegas keluar.
"Sebaiknya kau tidak perlu mengetahui tentang kasus ibumu. Ini demi kebaikanmu," ujarnya sebelum berlalu.
Ada kekuasaan yang kuat di balik kematian ibu Carla, yang bahkan sampai saat ini belum bisa tersentuh, termasuk oleh Carlton sekali pun. Dalam perjalanan kembali ke kantor, pria itu menerima laporan bahwa ditemukan lagi satu korban yang kehabisan darah. Hal ini benar-benar merepotkan Direktorat Reserse Kriminal. Dia pun segera mengumpulkan timnya, untuk meeting untk melakukan pemetaan tempat kejadian dan analisa pola perilaku pembunuhan, agar dapat mengetahui perkiraan langkah selanjutnya dari si pembunuh berantai tersebut.
“Korbannya seorang gadis berusia di bawah dua puluh tahun," Dituliskan data itu di papan tulis. “Lima belas tahun sampai sembilan belas tahun," ucapnya lagi sambil bersedekap. "Ciri utama semua korban adalah gadis muda yang memakai seragam sekolah dan dilihat dari penampilan korban yang sempurna dan cantik, maka bisa aku simpulkan bahwa pelaku memiliki cacat bawaan!"
Carlton menghela napas pelan, lalu memanggil salah satu anggota di timnya. "Gregory!"
Gregory langsung maju, lalu memberikan analisanya dan memperlihatkan foto para korban semasa hidup dan juga foto baju seragam sekolah yang berbeda tersebut, dan menemukan bahwa jarak antarsekolah itu hanya berjarak beberapa kilometer saja.
Gregory menjelaskan hasil analisa dan menandai sekolah-sekolah tersebut di atas peta yang di bentang di atas meja. Kemudian, dia juga menandai beberapa sekolah lain yang berdekatan dengan sekolah para siswi yang telah menjadi korban pembunuhan tersebut.
"Jika aku tidak salah mengasumsikan, maka semua tempat yang kutandai adalah tempat selanjutnya pelaku mencari korban baru," jelas Gregory.
"Kerja bagus!" puji Carlton, yang tidak lama langsung menyebar anggota timnya ke semua tempat yang Gregory telah tandai tadi dan memerintahkan untuk mengawasi seseorang yang telihat mencurigakan dengan ciri-ciri memiliki cacat bawaan.
