Baru Segini Saja Kamu Sudah Pucat Mas
Benar saja dugaanku, belum juga selesai aku menghabiskan makan siang, suami tercintaku itu telah masuk ke dalam ruangan ini.
Sepertinya dia kaget ketika melihat aku masih berada di ruangan ini. Dia terlihat kikuk sambil matanya menyapu seluruh ruangannya.
"Wah cepat banget nyampainya, Mas. Kenapa nggak jadi menginap di Malang? Katanya tadi emergency banget hingga harus menginap disana selama tiga hari, eh kok sekarang tiba-tiba nongol disini," kataku sambil terus mengunyah makananku.
"Rekan kerjaku yang sesama sub kontraktor, pada berhalangan hadir, jadi ditunda minggu depan. Dan pengerjaan proyek pun dimundurkan dulu Dek. Ada sedikit masalah dengan penduduk di sekitar lokasi proyek." Teryata suamiku ini adalah seorang pembohong besar, pintar sekali ber alibi.
"Sudah makan siang belum sih Mas? Kok kelihatannya wajah kamu pucat banget gitu. Atau mau aku suapin? Atau kamu mau pesenin minuman?," kataku pada Mas Chandra yang dari tadi kelihatan gelisah dan pucat.
"Eh iya tadi memang belum sempat makan Dek, langsung meluncur ke sini tadi. Kamu makan saja dulu, aku belum lapar kok. Mana ada wajahku pucat, mungkin tadi kepanasan saja di jalan."
Haduh baru segini aja kamu sudah pucat dan kelimpungan Mas, di puncaknya nanti, semoga kamu nggak mati berdiri oleh kejutan yang kuberikan.
"Ya sudah, aku habisin kalau gitu, enak banget ini loh," kataku sambil melanjutkan makan.
Sementara itu, netra Mas Chandra masih tetap meneliti ruangannya. Saat aku meliriknya diam-diam, matanya tertuju pada meja kerjanya.
"Kamu pasti cari pigora yang ada di meja kerjamu kan, Mas?" tanyaku tanpa menoleh pada Mas Chandra.
"Eh nggak kok, Dek. Cuma lagi lihat berkas yang ada di meja itu, kok masih menumpuk. Apa saja kerjaan Linda seharian ini, sampai semua masih numpuk gitu," ucapnya ngeles.
"Itu berkas punyaku kok, Mas. Barusan aku minta dari semua manager divisi. Ya sudah kalau kamu tak cari pigora itu, karena tadi pagi sudah aku bakar bersama tempat sampah yang ada di bawah mejamu itu," kataku enteng.
Mendengar perkataanku barusan, sontak Mas Chandra menoleh kearahku, sambil melongo.
"Apaan sih, Mas? Ekspresimu kayak orang kesambet saja. Emang ada yang salah ya dari perkataanku barusan?"
"Eh, nggak kok, enggak Dek," jawabnya dengan gugup.
"Ya sudah kalau begitu, aku mau pulang dulu Mas. Kamu mau bareng sama aku apa nggak?" kataku yang sudah selesai menghabiskan makananku tadi.
"Aku pulangnya nanti sore saja ya, Dek. Masih ada yang perlu ku selesaikan. Kamu cepat pulang saja sekarang gih. Ingat jangan ngebut-ngebut nyetirnya." Kali ini Mas Chandra kelihatan semangat.
"Iya Mas. Lain kali jangan jorok dong, masak dibawah meja banyak sekali sampah bekas ingus kayak gitu," kataku sambil memunguti berkas-berkas diatas meja.
"Oh iya sampai lupa, foto siapa sih yang tadi itu? Kenapa kamu taruh di meja kerja? Sepertinya kok spesial banget sih."
"Itu-itu tadi fotonya... sepupuku, iya sepupu jauhku Dek. Dua hari yang lalu dia kesini dan bawa foto itu, aku lupa menaruhnya di laci saja itu. Biasanya juga kan foto pernikahan kita yang kutaruh di meja. He-he," ucapnya sambil nyengir.
Alasan kok nggak masuk akal sama sekali sih Mas. Makin muak aku melihat kamu. Gitu kok sok hebat dan kaya di luaran tapi di depanku kamu keok.
"Oh, seperti itu. Kapan-kapan kenalin aku sama sepupumu itu ya. Soalnya selama tiga tahun kita nikah, belum pernah kamu cerita tentang sepupu kamu itu. Ya sudah aku pulang dulu ya, Mas."
"Kuantar sampai kebawah ya, Dek. Kasihan kamu bawa banyak barang berat seperti ini," kata Mas Chandra.
"Tak usahlah, Mas. Aku akan minta tolong sekertarismu saja, siapa tadi namanya? Emm Linda ya?"
Kulihat lagi kegelisahan di wajah Mas Chandra. Mangkanya jadi laki-laki itu jangan macam-macam, kalau istri sudah bertindak bakalan mati kutu deh kamu.
"Iya, Linda namanya Dek. Tapi sepertinya tadi dia lagi banyak kerjaan, jadi mending kubantu saja ya. Aku kan suami yang SIAGA, he-he," kilahnya sambil langsung mengangkat semua berkas yang masih ada diatas meja.
Aku pun tak bisa lagi menolak, akhirnya kuturuti saja kemauannya. Dia mengantarku hingga aku sampai ke parkiran.
"Oh iya, Dek. Bisakan kamu kembalikan lagi ATM yang kamu ambil tadi pagi?" Mas Chandra bekata seperti sambil menunjukan deretan gigi putihnya, persis seperti anak kecil yang minta di belikan permen.
Ternyata punya nyali juga ya suamiku ini, menanyakan hal ini. Padahal jelas-jelas itu milik pribadiku, tapi dia tetap memintanya kembali. Bernyali besar atau bermuka tembok sih?
"Maaf, Mas. Mulai sekarang aku yang pegang ATM perusahaan ya. Aku nggak ingin kamu terbebani dengan banyak urusan. Kan kamu sekarang juga lagi ada proyek di luar kota kan? Kamu urusi itu dulu saja. Aku tak ingin keuangan tercampur aduk, bisa pusing nanti," ucapku sok cuek.
"Emmmm. Iya juga sih. Tapi kan aku butuh duit juga Dek. Untuk proyek ini juga, kalau tak ada uang kan proyeknya juga mandek," kilahnya.
Selama ini aku tak pernah menanyakan perihal proyek yang selalu dikatakan oleh Mas Chandra empat bulan terakhir ini. Bodohnya aku yang terlalu percaya padanya. Bisa jadi proyek yang dimaksudnya adalah menikah dengan Raisa itu. Awas saja kamu, Mas!.
"Sebenarnya itu proyek pembangunan apa sih Mas? Kok udah beberapa bulan nggak mulai-mulai, padahal uang mengalir terus lho kesana. Aku nggak mau ya perusahaan yang telah dirintis oleh Papaku selama bertahun-tahun akan bangkrut hanya karena uangya dialirkan untuk proyek yang tidak jelas. Begini saja deh, Mas. Aku minta kamu tunjukan padaku dengan jelas RAB dari proyek tersebut, dan juga lokasi persisnya dimana. Jika proyek itu benar-benar menjanjikan, maka uang akan kualirkan kesana."
"Memang belum mulai Dek, masih banyak kendala-kendala dari berbagai pihak, tentang perijinan juga. Masak sih Dek kamu itu nggak percaya sama aku? Kita ini kan suami istri masak harus kirim-kirim bukti segala sih?" ucapnya merayu.
"Kita memang suami istri kalau di rumah Mas. Tapi disini beda, aku tetaplah pemilik tunggal dari perusahaan ini, dan kamu sebagai CEO yang merupakan karyawanku. Dan semua hal yang menyangkut perusahaan harus dengan keputusanku, apalagi kalau masalah keuangan. Tunjukkan apa yang kuminta, maka uang akan segera mengalir Mas."
"Oke deh, aku akan tunjukkan kebenaran proyek itu. Tapi bisakan kamu kirim aku uang sepuluh juta saja Dek? Buat pegangan dan buat keperluanku diluar," katanya kali ini dengan wajah memelas.
"Loh kok banyak banget sampai sepuluh juta? Bukanya tiap bulan Mas juga dapat gaji sebesar itu dari kantor, kemana saja uang itu? Padahal aku tak pernah sekalipun meminta uang belanja padamu selama tiga tahun ini. Ini masih pertengahan bulan kok sudah habis sih? Masak iya, Mas kamu nggak punya tabungan pribadi?"
"Yah sudah habislah, Dek. Untuk transport dan lain-lain, juga untuk proyek itu Dek. Kan tiap bulan juga aku selalu mengirim uang untuk orang tuaku. Boleh ya Dek. Tak apalah keuangan perusahaan ini kamu yang pegang, toh memang ini punyamu. Sepuluh juta saja, plissss," katanya memohon.
"Oke, akan kukirim sekarang uangnya. Mangkanya Mas, nanti kalau sudah gajian jangan boros-boros lagi ya. Tuh sudah terkirim uangnya," kataku sambil menunjukkan bukti transfer uang sepuluh juta ke rekeningnya.
"Terima kasih Dek, kamu memang istri paling baik dan pengertian, makin sayang deh aku kepadamu," katanya sambil cengar-cengir.
Baik, pengertian dan juga bodoh tentunya, hingga bisa kamu bohongi terus. Tetapi itu dulu, ketika negara api belum menyerang.
"Oh iya, Mas. Tolong bukain mobil kamu dong. Aku mau ambil sandal aku yang ketingagalan kemarin itu," kataku.
"Kuambilkan ya Dek, kamu disini saja," katanya sambil mengeluarkan kunci dari saku celananya.
"Biar kuambil sendiri, tolong kamu taruh berkas-berkas ini dibelakang saja Mas, soalnya nanti rencananya aku bakalan shoping," kataku sambil merebut kunci dari tanganya.
Aku pun kemudian menuju mobilnya. Sebenarnya sandal itu barang yang tak penting. Namun bisa jadi alasan yang tepat untuk menaruh kamera pengintaiku itu.
Saat mobil kubuka, wangi kopi langsung menyeruak dari pewangi mobil yang digantung. Langsung kuletakkan kamera imut itu ditempat yang aman dan strategia tentunya. Setelah itu kucari keberadaan sandalku itu. Tetapi ternyat tak ada di dalam sini.
"Mas, kok nggak ada sih?" teriakku.
Mendengar teriakanku itu, Mas Chandra langsung datang, "ada apa sih, Dek?"
"Sandalku kamu taruh dimana sih, Mas? Kok nggak ada? Apa jangan-jangan kamu buang ya? Itu sandal aku beli di Amerika lho!" omelku sambil mendelik.
"Sebentar Dek, kucarikan ya."
Mas Chandra kemudian membuak bagasi mobil dan aku pun ikut berdiri di belakangnya. Dia membuka ikatan sebuah palstik hitam, dan benar saja sandal yang kucari ada disana. Saat akan menutup bagasi kembali, plastik itu tersengol dan menumpahkan seluruh isinya, karena tadi tidak diikat oleh Mas Chandra.
Barang yang berserakan itu beraneka ragam, bahkan ada sampah bekas bungkus makanan juga disana. Namun ada satu barang yang menarik perhatianku. Sebuah celana dalam wanita berenda berwarna pink, ikut jatuh ke lantai parkiran. Milik siapa itu? Padahal aku tak pernah merasa memilikinya.
***** ******
Terima kasih sudah berkenan membuka kunci. Semoga kita semua selalu sehat dan dilancarkan rejekinya. Amiiin
