Berdebat
Anak-anak sudah berangkat sekolah, pekerjaan rumah juga sudah selesai. Waktunya untuk santai, menikmati libur. Hari ini hari Sabtu, aku dan Mas Fahmi libur. Karena kami lima hari kerja. Biasanya waktu libur seperti ini aku gunakan untuk menekuni hobiku. Mencoba resep makanan. Tapi Hari ini aku sedang malas, hanya ingin santai dengan membaca novel online. Mungkin efek kejadian tadi malam, jadi pikiranku tidak fokus untuk mengerjakan sesuatu.
Mas Fahmi biasanya sibuk dengan membersihkan kendaraan yang ada. Atau mengutak-atik laptop, mencari hiburan di dunia maya. Entah sekedar main game atau membaca berita online.
Klunting... klunting. Hpku berbunyi menandakan ada pesan yang masuk. Aku buka pesan itu, ternyata dari Mbak Hani.
[Hanum, kamu nggak usah ikut campur urusanku. Jangan pernah ceritakan kejadian tadi malam pada Bapak dan Ibu.]
[Mbak, walaupun kalian berteman, tapi yang kalian lakukan itu salah. Pergi jalan berdua, padahal kalian sudah punya pasangan masing-masing. Nanti bisa menimbulkan fitnah. Apalagi kalau sampai istri Kak Rizal tahu.]
[Itu urusanku, bukan urusanmu.]
[Memang bukan urusanku. Aku hanya peduli dengan Mbak, jangan bikin malu keluarga, Mbak. Kasihan Bapak dan Ibu.]
[Urus saja suamimu itu. Nanti kalau direbut pelakor baru tahu rasa kamu.]
[Mbak mendoakan yang jelek untukku ya? Mbak senang kalau rumah tanggaku berantakan?]
[Makanya nggak usah ikut campur urusanku. Kalau sampai Bapak dan Ibu tahu, berarti sumbernya kamu.]
[Mbak kemarin kan bertemunya di tempat umum. Berarti bukan hanya aku saja. Siapa tahu dari sekian banyak orang, ada yang mengenal keluarga kita dan melaporkan pada Bapak Ibu.]
Pagi-pagi sudah dibuat badmood sama Mbak Hani. Berbalas chat dengan Mbak Hani, yang ujungnya setengah mengancam. Berarti ada hubungan spesial antara Mbak Hani dan Kak Rizal.
"Kenapa Bu, kok cemberut saja?" tanya Mas Fahmi yang tiba-tiba sudah ada di dekatku.
"Ini lho, Mbak Hani memintaku untuk tidak memberitahu tentang tadi malam. Berarti ada hubungan spesial antara Mbak Hani dan Kak Rizal," jawabku.
"Ibu tuh jangan suudzon dulu dengan Mbak Hani. Nggak ada hubungan antara Mbak Hani dan Rizal, mereka hanya teman," kata Mas Fahmi.
"Kok Mas Fahmi yakin mereka hanya berteman?" selidikku.
"E...e...mungkin saja. Aku cuma menebak," jawab Mas Fahmi dengan gugup.
"Kalau menurut Mas, seandainya ada perempuan bersuami dan laki-laki beristri, makan malam berdua di restoran, apakah mereka hanya teman saja? Adiva yang masih remaja saja sudah bisa berpikir kritis tentang Mbak Hani. Masa Mas yang sudah dewasa tidak bisa berpikir seperti itu? Aku bukannya tidak percaya dengan Mbak Hani. Tapi kondisi rumah tangga Mbak Hani kan sedang di ujung tanduk, nanti Mas Kevin bisa menuduh kalau Mbak Hani yang selingkuh." Aku menjelaskan panjang lebar.
"Seandainya Wita seperti Mbak Hani, apa yang akan Mas lakukan?" tanyaku.
"Kok merembet ke Wita?" sahut Mas Fahmi.
"Aku ingin tahu pendapat Mas, kalau misalnya Mas berada di posisiku. Apa Mas akan diam saja, seolah-olah tidak terjadi apa-apa? Mas tahu? Kalau Mbak Hani mendoakan suamiku direbut pelakor," kataku dengan kesal.
Mas Fahmi tampak terkejut.
"Masa Mbak Hani berbicara seperti itu?" tanya Mas Fahmi.
Aku tunjukkan chat percakapanku dengan Mbak Hani. Mas Fahmi membacanya dengan mengerutkan keningnya.
"Kok dia sampai berbicara seperti itu ya?" kata Mas Fahmi.
"Mungkin Mbak Hani berniat merebut Mas dariku."
"Hush, Ibu kok ngomongnya kayak gitu sih?"
"Habis aku kesal sekali dengan Mbak Hani. Aku tidak akan menceritakan dengan Bapak dan Ibu, tapi Mbak Hani berjanji tidak akan seperti itu lagi. Selesaikan dulu masalah rumah tangganya, baru mikir kalau mau mencari pengganti Mas Kevin. Jangan juga mencari yang sudah beristri, kasihan istrinya. Kok Mbak Hani nggak berpikir sampai kesitu?"
"Sudah, nggak usah mencampuri urusan Mbak Hani."
"Bukannya mencampuri urusannya. Tapi ini menyangkut nama baik Bapak dan Ibu. Kalau misalnya sampai ada orang yang nggak suka dengan Mbak Hani, kemudian melaporkan hal ini pada istrinya Kak Rizal. Terus istri Kak Rizal melabrak Mbak Hani didepan Bapak dan Ibu, apa nggak kasihan dengan Bapak dan Ibu. Mereka pasti akan sangat shock."
"Kok sampai berpikir sejauh itu sih, Bu?"
"Kan memang sering kejadian seperti itu, istri sah melabrak pelakor."
"Ibu kebanyakan nonton sinetron ikan terbang, makanya berimajinasi sejauh itu."
Aku jadi kesal dengan Mas Fahmi, kok dia nggak berpikir sampai kesitu. Dia sepertinya menganggap enteng masalah ini.
"Ah sudahlah, nggak usah dipikirin. Biar aku yang mikir sendiri," ucapku dengan kesal.
"Kok jadi Ibu yang kesal sih, itu kan urusannya Mbak Hani. Biarkan saja, dia kan sudah dewasa, sudah tahu yang benar dan salah."
"Iya, sudah tahu salah, masih saja dilakukan. Ya kejadian tadi malam itu. Itu kan salah, tapi ia masih saja melakukannya. Aku nggak tahu gimana pola pikir Mbak Hani."
"O, ya. Kemarin Wita menelpon kalau nanti malam mengajak makan bersama di rumah Ibu," kata Mas Fahmi mengalihkan pembicaraan.
"Ada acara apa?" tanyaku.
"Nggak ada, hanya makan bersama saja."
"Ya nanti sebelum magrib kita kesana."
***
Pulang sekolah, Adiva langsung masuk ke kamar. Tanpa senyum dan sapa padaku. Entah kenapa dia seperti itu. Tidak biasanya dia seperti itu. Mungkin dia sedang ada masalah di sekolah atau masalah dengan temannya. Kubiarkan saja, nanti dia juga akan kembali seperti semula.
Tadi Mas Fahmi pamit keluar sebentar, katanya mau bertemu dengan Efran teman akrabnya di kantor. Entah urusan apa, aku malas mau bertanya. Aku masih kesal dengan Mbak Hani.
Sudah setengah jam, Adiva belum keluar dari kamar. Apa ia nggak lapar ya? Segera aku ke kamarnya untuk mencari tahu.
"Adiva…. Boleh Ibu masuk?" tanyaku pada Adiva sambil mencoba membuka pintu kamarnya. Tumben dikunci pintunya.
Tok...tok… kuketuk pintu kamarnya. Cukup lama akhirnya Adiva keluar dari kamarnya. Kemudian membuka pintu.
"Masuk saja, Bu," jawab Adiva. Kulihat ekspresi wajahnya terlihat sedih. Walaupun ia bersikap biasa sewajarnya saja, tapi aku tahu kalau ia sedang bermasalah.
"Kamu kenapa? Sakit ya?" tanyaku sambil memegang kening Adiva.
"Hanya pusing saja kok, Bu. Nanti habis tiduran pasti pusingnya hilang," sahut Adiva.
"Atau mau minum obat?"
"Nggak usah, Bu. Nanti juga Hilang dengan sendirinya."
"Nggak makan, dulu?"
"Nanti saja,"
"Ya sudah, nanti kalau lapar, makan ya? O ya, nanti malam kita makan di rumah Nenek."
"Ada apa disana, Bu."
"Hanya makan-makan saja, kok. Sekarang kamu istirahat saja, ya. Biar cepat sembuh pusingnya."
"Iya, Bu."
Aku segera keluar dari kamar Adiva.
"Assalamualaikum, Bu." Arya mengucapkan salam.
"Waalaikumsalam." jawabku.
"Adiva kemana, Bu? Belum pulang ya? Biasanya kalau pulang langsung nongkrong di kursi makan," kata Arya.
"Katanya pusing, makanya mau istirahat dulu."
"Iya sudah, Arya ke kamar dulu ya, Bu. Mau ganti baju."
Aku mengangguk.
***
Sudah jam lima sore, Mas Fahmi belum pulang juga. Padahal katanya mau makan di rumah Ibu. Aku sudah siap, begitu juga dengan Arya dan Adiva. Tadi aku sudah bilang dengan Mas Fahmi kalau ke rumah Ibu sebelum magrib. Biar bisa membantu menyiapkan makanan. Tapi kok tidak ada kabar berita sama sekali.
Aku mengirim pesan pada Mas Fahmi.
[Mas, jadi nggak ke rumah Ibu?]
[Iya, jadi. Tunggu ya, sebentar lagi pulang.]
Kulihat Arya dan Adiva sudah tampak kesal. Biasanya Adiva cerewet, tapi sore ini ia tampak pendiam. Mungkin masih merasa pusing.
"Masih pusing, Dek?" tanyaku pada Adiva.
"Sedikit pusing, Bu. Jadi nggak ke rumah Yang Ti? Kok Ayah belum pulang?" tanya Adiva.
"Sebentar lagi Ayah sampai ke rumah," jawabku.
Kami sibuk dengan hp masing-masing, tanpa saling berbicara. Aku mulai kesal menunggu Mas Fahmi. Akhirnya azan Magrib berkumandang, kami segera bubar menuju ke kamar masing-masing.
Selesai salat, Mas Fami belum pulang juga.
"Bu, jadi nggak kita pergi?" tanya Arya yang terlihat mulai kesal.
"Iya nih, sudah nunggu dari tadi malah Ayah belum pulang-pulang," gerutu Adiva.
"Kita tunggu sebentar lagi, kalau Ayah tidak juga pulang, kita pesan go food saja," jawabku memberi solusi.
Aku mulai kesal, menunggu Mas Fahmi yang belum pulang juga.
"Arya, pesan go food saja," kataku pada Arya.
"Oke, Bu. Mau pesan apa?" tanya Arya.
Adiva menyebutkan makanan yang ia inginkan, Arya juga. Sambil menunggu pesanan datang, aku segera berganti pakaian rumah.
Tak berapa lama, makanan pun datang. Kami makan bersama di meja makan. Sambil asyik bercerita dan bercanda, melupakan kekesalan hati. Sampai kami selesai makan, Mas Fahmi belum juga pulang. Kekesalanku sudah sangat memuncak. Kemana sebenarnya Mas Fahmi pergi ya?
Klunting….klunting, hpku berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Wita.
[Mbak Hanum sakit apa? kok nggak datang ke rumah Ibu?]
Kulihat jam sudah menunjukkan pukul delapan malam.
[Sakit? Aku sehat-sehat saja. Kami dari sebelum Magrib tadi menunggu Mas Fahmi, sampai sekarang belum pulang juga.]
[Oh, kata Mas Fahmi, Mbak Hanum sedang sakit, makanya nggak bisa datang. Anak-anak menunggui ibunya. Mas Fahmi sudah disini setelah Magrib tadi. Makanya aku tanya sama Mbak Hanum, sakit apa?.]
Apa? Berarti Mas Fahmi sudah ke rumah Ibu? Kenapa ia nggak mengajak kami? Katanya kami diundang makan ke rumah Ibu. Aku jadi kesal dengan Mas Fahmi. Ada apa sebenarnya dengan Mas Fahmi.
[Ooo, ternyata Mas Fahmi mendoakan aku sakit. Padahal kami sudah menunggu, sampai anak-anak sangat kesal, ternyata Mas Fahmi sudah kesitu duluan ya? Mungkin Mas Fahmi sengaja nggak mau mengajak kami. Ya sudah, nggak apa-apa.]
Awas kamu, Mas. Aku menjadi sangat kesal dengan Mas Fahmi.
