Berbohong
Aku berbaring di tempat tidur, sambil bermain hp. Aku sangat kesal dengan Mas Fahmi. Apa maksudnya dia seperti itu? Aku sangat penasaran, akhirnya aku mengirimkan pesan pada Efran.
[Assalamualaikum, Mas Efran. Apa Mas Fahmi masih bersama dengan Mas Efran ya? Soalnya tadi ia pamit mau pergi bersama Mas Efran.]
[Waalaikumsalam, Mbak. Aku seharian ini nggak pergi kemana-mana, Mbak. Anakku yang paling kecil sedang demam.]
[Oh, begitu ya. Semoga lekas sembuh untuk sikecil.]
[Amin makasih untuk doanya.]
[Sama-sama.]
Satu kebohongan terungkap. Jadi kemana saja Mas Fahmi pergi? Aku pusing memikirkannya.
Terdengar suara mobil Mas Fahmi. Aku tidak beranjak dari tempat tidur, kubiarkan saja. Kemudian ia masuk ke kamar, aku mendiamkannya. Ternyata dia cuek saja. Aku benar-benar kesal.
"Darimana Mas? Kok baru pulang? Padahal Mas pergi dari jam setengah satu siang," tanyaku pada Mas Fahmi. Aku duduk di tempat tidur.
"Ada urusan." Mas Fahmi dengan cueknya menjawab pertanyaanku.
"Urusan apa? Apa istrinya Efran nggak marah kalau Mas pergi dengan Efran dari tadi?" tanyaku.
"Enggaklah, istrinya Efran itu percaya dengan suaminya. Jadi nggak pernah nanya-nanya kalau suaminya pulang."
"Oh, jadi membandingkan ku dengan istrinya Efran ya?"
"Bukan begitu, Bu. Aku baru pulang, sudah ditanya-tanya. Aku kan jadi kesal."
"Apa pertanyaanku itu membuat Mas kesal? Seharusnya kami yang kesal. Mas janji mengajak kami makan ke rumah Ibu, tapi nyatanya Mas malah pergi sendirian. Kami dari jam lima sudah bersiap mau berangkat, eh malah Mas baru pulang jam delapan malam."
"Dari mana Ibu tahu."
"Wita, ia nanya aku sakit apa? Soalnya Mas ngomong kalau aku nggak bisa datang karena sedang sakit. Berarti Mas mendoakan aku sakit ya? Terus mati, gitu?" teriakku dengan kesal.
"Kalau Mas nggak mau ngajak kami, ngomong saja. Jadi kami nggak kecewa karena sudah bersiap-siap dari tadi, ternyata malah nggak jadi. Apa sih maksudnya Mas seperti itu? Terus dari siang sampai sebelum magrib Mas pergi kemana?" tanyaku.
"Sudah aku bilang kalau aku pergi dengan Efran."
"Kemana?"
"Sudahkan, Bu. Bukan urusan Ibu."
"Oh, bukan urusanku ya? Bukannya aku campur tangan dengan urusan Mas. Tapi aku ini istrimu Mas? Setidaknya kau tahu kemana Mas Pergi," jawabnya seenaknya jagi.
"Makanya kalau merasa menjadi istri harus patuh dengan suami. Kalau suami ngomong jangan ikut campur urusan suami, ya istri jangan membantahnya."
"Termasuk dibohongi? Kalau istri dibohongi suami harus diam saja? Begitu, ya?"
"Ibu mendapatkan berita dari mana kalau Mas bohong. Pasti ada yang mengirim berita nggak benar, biar Ibu emosi dan marah-marah dengan Ayah."
"Mas, aku sudah tahu kalau akhir-akhir ini mas sering membohongi aku. Tapi ingat Mas, kebohongan itu akan sambung menyambung dan berkesinambungan. Sekali berbohong, akan diikuti dengan kebohongan lainnya. Lama-lama hidup penuh dengan kebohongan, sampai tidak tahu lagi kebenaran yang sesungguhnya, karena sudah ditutupi dengan berbagai macam kebohongan. Makanya kalau mau berbohong itu, harus profesional, jangan setengah-setengah."
"Maksud Ibu apa?"
"Aku mau tanya Mas, sebenarnya Mas itu pergi kemana dan dengan siapa?" tanyaku dengan tegas.
"Aku pergi bersama Efran kemudian bersama Efran pergi ke rumah Nathan."
"Bohong! Apa sebenarnya yang Mas Sembunyikan dariku?"
"Nggak ada yang disembunyikan."
"Benar?" tanyaku lagi.
"Benar. Aku nggak bohong."
"Oke, kalau Mas bohong. Aku sumpahi Mas hidupnya akan menderita, karena sudah sering membohongi aku." Aku berteriak dengan lantang.
"Siapa takut?" tantang Mas Fahmi.
"Jujur saja Mas, kalau Mas pergi bersama dengan perempuan."
"Jangan menuduh sembarangan."
"Sudahlah Mas, lihat saja nanti hidup Mas akan menderita. Apalagi kalau sampai mengkhianati aku."
Mas Fahmi diam.
"Mas nggak pergi dengan Efran, kan? Anak Efran yang paling kecil sedang demam, jadi dia nggak kemana-mana. Aku tadi sudah chat dia."
Mas Fahmi langsung pucat pasi mendengar ucapanku.
"Makanya Mas, kalau mau berbohong itu persiapkan skenarionya secara matang. Jadi nggak ketahuan. Kalau kayak gini, malu kan? Sudah dosa karena berbohong, ditambah malu karena bohongnya ketahuan."
"Mas sekarang benar-benar berubah, aku bahkan sudah hampir tidak mengenali Mas. Sebenarnya apa maunya? Ngomong dong, Mas. Kalau Mas sudah bosan denganku, ingin mencari yang baru yang lebih fresh, aku akan berusaha ikhlas. Tapi kembalikan aku pada kedua orang tuaku. Dulu Mas memintaku dengan baik-baik, mengembalikan juga dengan baik-baik."
"Kok Ibu ngomong seperti itu, sih. Jangan-jangan Ibu yang sudah mulai bosan denganku."
"Nggak usah memutarbalikkan fakta. Yang mulai berubah siapa? Yang mulai suka berbohong siapa? Aku atau Mas? Aku tetap berusaha menjadi istri yang baik. Kalau ada kesalahan yang aku lakukan, dan itu membuat Mas tidak terima atau tersinggung, katakan! Nanti aku akan berusaha untuk memperbaikinya."
Mas Fahmi hanya diam.
"Terus apa maksudnya Mas berbohong dengan keluarga Mas, kalau aku sedang sakit. Padahal aku sehat walafiat. Mas nggak mikir sudah mengecewakan anak-anak. Mereka tadi sangat antusias mau ke rumah Ibu, ternyata malah ayahnya nggak pulang-pulang. Entah sibuk dengan siapa. Ingat Mas, kalau sampai Mas macam-macam, apalagi sampai selingkuh, aku akan melaporkan kepada atasan. Biar Mas dipecat dari PNS."
Mas Fahmi kaget dan kemudian terdiam. Aku segera merebahkan tubuhku dan berusaha untuk tidur. Mata terpejam tapi pikiran mengembara kemana-mana.
***
Minggu pagi suasana rumah sedang tidak bersahabat. Aku masih marah dengan Mas Fahmi. Sepertinya anak-anak juga sangat kesal dengan ayahnya. Aku tetap menyiapkan sarapan untuk keluarga kecilku. Karena itu merupakan tanggung jawabku sebagai seorang istri dan ibu.
Selesai semuanya, aku dan anak-anak segera makan. Aku sudah tidak mempedulikan Mas Fahmi lagi. Terserah ia mau melakukan apa.
Dari sarapan tadi, kulihat Adiva sangat pucat wajahnya. Mungkin ia kurang istirahat atau karena sedang sakit.
"Dek, masih pusing?" tanyaku pada Adiva.
"Enggak Bu, hanya lemas saja."
"Ya sudah, sekarang istirahat saja. Nggak usah bantu beresin meja makan ya?"
"Iya, Bu." jawab Adiva yang kemudian masuk ke kamarnya.
"Adiva itu kenapa, ya?" tanyaku pada Arya yang membantu membereskan meja.
"Nggak tahu, Bu. Kayaknya memang sedang sakit," jawab Arya.
"Dari kemarin selalu diam, nggak ceria sama sekali. Atau ia sedang ada masalah, ya? Adiva nggak ada cerita sama kamu, kenapa ia seperti itu?"
"Enggak, Bu. Hanya mengeluh pusing saja."
Selesai membereskan semuanya, aku segera ke kamar Adiva. Kuketuk pintu kamar, tidak ada jawaban, akhirnya kubuka pintunya. Tampak Adiva duduk termenung memandang ke arah jendela. Ia tidak menyadari kehadiranku.
"Adiva, kenapa, Nak? Kok sepertinya dari kemarin pendiam terus. Apa yang kamu pikirkan? Kalau sakit, kita berobat yuk?" tanyaku pada Adiva.
Adiva kaget, kemudian berusaha bersikap wajar. Aku segera duduk mendekatinya.
"Adiva hanya pusing saja, Bu."
"Sudah minum obat?" tanyaku lagi.
"Belum, nanti kalau dipakai untuk tidur, pasti sembuh," jawabnya seraya merebahkan diri di tempat tidur.
Kupegang dahinya, biasa saja, tidak hangat. Sepertinya ia pusing karena suatu masalah. Bukan pusing karena sakit. Ada masalah apa ya dengan Adiva.
"Kamu ada masalah di sekolah," tanyaku pada Adiva.
Ia hanya menggelengkan kepala.
"Masalah dengan teman?"
Adiva menggelengkan kepala lagi.
"Marah sama Ibu? Atau sama Ayah?"
Adiva diam saja.
"Kalau kamu marah sama Ibu atau Ayah, gara-gara tadi malam?"
Adiva diam. Aku jadi bingung bagaimana cara mengorek informasi darinya.
"Kalau kamu diam saja seperti ini, Ibu nggak tahu apa yang kamu inginkan. Ibu nggak memaksa kamu bicara sekarang. Ibu minta, kamu pikirkan apa yang kamu rasakan. Nanti bisa bercerita dengan Ibu. Ibu nggak mau melihat Adiva seperti ini terus, Ibu jadi sedih."
"Adiva nggak apa-apa, kok Bu. Hanya pusing sedikit."
"Ya sudah, tidurlah, biar pusingnya hilang. Dan Adiva anak Ibu yang biasanya cerewet kembali seperti semula."
Aku menyelimuti Adiva, kemudian beranjak dari kamar Adiva. Kulihat Mas Fahmi ada di ruang keluarga, menonton televisi terapi mata tetap fokus pada hp. Aku segera masuk ke kamarku. Terdengar dering npku berdering, ada panggilan dari ibuku.
"Assalamualaikum, Bu?" sapaku pada Ibu.
"Waalaikumsalam, Hanum. Lagi pada ngapain?" tanya Ibu
"Lagi santai, Bu."
"Begini, Hanum. Bapak tadi ngomong, kalau Bapak besok berencana mengajakmu menemui Kevin. Coba nanti kamu kabari dia dulu, ya?"
"O iya, Bu. Nanti kepastiannya aku kabari ya?"
"Oke."
Panggilan langsung dimatikan oleh Ibu. Ibuku memang seperti ini orangnya, to the point. Kalau ada perlu apa langsung berbicara, nggak pakai basa basi.
Aku segera mengirim pesan pada Mas Kevin.
[Assalamualaikum, Mas Kevin. Apa kabar? Insyaallah besok Hanum dan Bapak mau bertemu dengan Mas Kevin. Ingin bersilaturahmi. Bisa, Mas?]
[Waalaikumsalam, Alhamdulillah kabar baik. Oh, bisa. Besok jam berapa? Langsung ke rumah saja ya?]
[Sekitar jam sepuluh ya, Mas?]
[Oke.]
Alhamdulillah ia setuju bertemu dengan kami. Aku sangat penasaran dengan fakta yang sebenarnya akan kuketahui. Semoga aku tidak shock.
Mas Kevin yang aku kenal, orangnya baik. Mengayomi dan sangat bijaksana dalam berbicara dan bertindak. Sepertinya tidak masuk akal kalau ia sampai berselingkuh dan melakukan KDRT, seperti yang diceritakan Mbak Hani. Tapi, entahlah. Kesehariannya aku tidak tahu. Makanya Bapak ingin mencari informasi dari Mas Kevin, jadi tidak hanya informasi sepihak.
Sudah hampir tiga bulan Mbak Hani di rumah Bapak. Tidak pernah sekalipun ia pulang. Atau Mas Kevin dan Nadya datang ke rumah Bapak. Sepertinya sudah putus komunikasi Mbak Hani dengan keluarganya. Semoga saja masalah ini segera terselesaikan dengan happy ending.
Aku segera menghubungi Ibu. Memberitahu kalau Mas Kevin bersedia menemui kami besok.
Aku merasa pusing, aku sibuk memikirkan Mbak Hani, tapi rumah tanggaku sedang bermasalah juga. Tapi aku tidak berani memberitahu Bapak atau Ibu. Biar mereka fokus dengan masalah Mbak Hani dulu.
