Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Puber Kedua?

Azan subuh berkumandang, aku terbangun dari mimpiku. Kulihat Mas Fahmi masih tidur di sebelahku. Segera aku bangun dan bersiap untuk menjalankan kewajiban sebagai umat muslim.

Aku menyiapkan sarapan untuk seluruh keluarga. Anak-anak juga sudah bangun. Mereka melakukan aktivitas wajib, yaitu membantuku membersihkan rumah. Arya menyapu dan mengepel lantai. Adiva mencuci pakaian.

Kulihat Mas Fahmi juga sudah bangun dari tidurnya. Seperti biasa, setiap pagi aku selalu menyiapkan kopi untuknya. Masih dalam kondisi diam tidak bertegur sapa, aku memberikan segelas kopi di meja. Aku melanjutkan lagi aktivitas pagi ini.

Anak-anak sudah selesai melakukan tugasnya, mereka mandi bergantian. Aku pun mandi dan bersiap untuk berangkat kerja.

Sarapan pagi kami lalui seperti tadi malam, tanpa ada percakapan. Benar-benar sepi dan sunyi rumah ini.

"Bu, kami berangkat, ya?" pamit Adiva.

"Iya, hati-hati ya?" jawabku. Arya sudah di atas motor bersiap mengantarkan Adiva sekolah, baru kemudian ia berangkat ke sekolahnya. Nanti pulangnya Adiva naik ojek atau bersama dengan temannya.

Drtt...drtt hp Mas Fahmi berbunyi. Ada panggilan dari Wita, adik perempuan Mas Fahmi. Aku biarkan saja, malas mengangkatnya.

Drtt...drtt

Drtt...drtt

Mas Fahmi tiba-tiba sudah ada di dekatku dan menerima panggilan itu. Entah apa yang dibicarakan, aku tidak mau tahu.

Mas Fahmi sengaja berbicara dengan suara yang keras, mungkin biar aku mendengarnya. Aku segera menyingkir ke dapur, supaya tidak mendengar pembicaraan mereka.

Aku asyik membuka sosmed, berselancar di dunia Maya untuk menghilangkan kejenuhan ku. Aku tertawa membaca komentar-komentar dari sebuah berita. Inilah yang aku suka, membaca komentar dulu, baru baca beritanya. Karena biasanya komentar lebih heboh dari berita. Aku tertawa sampai keluar air mata, benar-benar menaikkan imun tubuh. Tahu-tahu Mas Fahmi sudah ada di depanku. Aku segera bangkit dan bersiap untuk berangkat kerja. Tangannya menarik tanganku.

"Bu,...."

"Lepaskan tanganku, aku mau berangkat," jawabku. Tangannya tetap memegang tanganku. Aku berusaha menarik tanganku, tapi tenaganya lebih kuat.

"Sampai kapan kita akan berdiam diri seperti ini?" kata Mas Fahmi.

"Bukan aku yang memulainya," jawabku.

"Apa nggak malu sama anak-anak?"

"Malu, bukannya Mas yang sudah nggak punya malu?"

"Apa maksudmu?"

"Pikir saja sendiri."

"Kamu sekarang sudah berubah."

"Aku? Jangan memutarbalikkan fakta. Siapa yang sebenarnya mulai berubah? Aku atau Mas? Siapa yang setiap hari pulang sore, tidak ada lagi waktu untuk istri dan anak-anaknya. Setiap ditanya selalu marah. Mas tahu, bukan hanya aku yang merasakan perubahan Mas, tapi juga anak-anak. Mereka bahkan sudah tidak berani lagi mendekati ayahnya. Ayahnya sudah seperti orang asing bagi mereka. Apakah Mas menyadari itu semua?"

"Aku benar-benar sibuk."

"Sibuk atau sengaja menyibukkan diri?"

Mas Fahmi terdiam.

"Aku bisa saja menanyai teman-teman Mas di kantor. Benar nggak kalau Mas sangat sibuk. Tapi untuk apa? Malah nanti informasi yang kudapat semakin membuatku terluka. Sekarang mas introspeksi diri. Berpikirlah dengan jernih, apa yang sudah terjadi. Ingat Mas, keharmonisan dan keutuhan sebuah keluarga dipertaruhkan. Karena sang nahkoda hanya badannya saja ada disini, tapi pikirannya entah berada dimana."

Aku menghela nafas panjang.

"Sebenarnya, apa sih maunya Mas sekarang?" tanyaku.

Mas Fahmi hanya terdiam saja.

"Apa ini ada hubungannya dengan orang ketiga?" tanyaku.

"Apa maksudmu?"

"Mas, kelakuan Mas itu seperti remaja yang sedang puber. Dan aku yakin kalau Mas sekarang sedang mengalami puber kedua."

"Jangan sembarangan kalau ngomong."

"Sembarangan? Aku bisa menganalisa kelakuan Mas akhir-akhir ini. Sering bertelponan malam-malam. Lebih banyak menghabiskan waktu diluar, kalau ada di rumah tidak pernah terlepas dari hp. Selalu tampil lebih rapi dan wangi dari biasanya. Iya kan?"

"Kamu itu terlalu paranoid. Kamu pikir aku selingkuh?"

"Aku tidak bilang kalau Mas selingkuh. Tapi ada tanda-tanda menuju ke arah itu. Sadarlah Mas, sebelum semuanya terlambat. Ingat anak-anak sudah remaja, menuju ke dewasa. Mereka butuh figur Ayah yang hangat, mengayomi dan melindungi mereka. Bukan seorang Ayah yang pemarah dan otoriter."

"Mas, sebenarnya apa yang Mas sembunyikan? Tapi aku yakin, sepandai-pandainya menyimpan bangkai, pasti akan tercium juga. Apa mas sudah mulai jenuh dengan kami? Ingin mencoba suasana baru? Tapi ingat, Mas, dari coba-coba itu, akhirnya semua jadi berantakan."

Aku segera pergi dari hadapan Mas Fahmi, malas berdebat lagi. Kuambil tas dan aku berangkat ke sekolah. Setidaknya disana nanti banyak hiburan. Melihat anak-anak TK bermain dan belajar, merupakan kesenangan tersendiri bagiku.

Perjalanan ke sekolah kulalui dengan pikiran yang kacau. Keutuhan rumah tanggaku sedang dipertaruhkan. Semoga semuanya nanti baik-baik saja.

***

Hari ini Mas Fahmi pulang tepat waktu, ia berusaha memberi perhatian kepada kami.

"Bu, nggak usah masak. Nanti malam kita makan di luar," kata Mas Fahmi kepadaku, ketika berada di kamar.

"Alhamdulillah," ucapku. Semoga Mas Fahmi kembali seperti dulu, seorang Ayah dan suami yang perhatian.

Setelah selesai salat Magrib berjamaah, kami bersiap pergi untuk makan malam bersama. Kulihat anak-anak tampak ceria, terutama Adiva. Kalau Arya biasa saja, mungkin karena dia laki-laki, jadi berekspresi sewajarnya saja.

"Mau makan dimana?" tanya Mas Fahmi.

"Seafood saja, Yah," jawab Adiva.

"Arya?" tanya Mas Fahmi.

"Ngikut saja, yang penting makan," jawab Arya.

"Ibu juga ngikut saja," ucapku.

"Memangnya siapa yang menawari Ibu?" tanya Mas Fahmi sambil cengengesan.

"Ih, Ayah kok gitu sih. Nggak mau ngajak Ibu ya?" ucapku pura-pura cemberut.

"Ayah ngajak Ibu makan, tapi nggak meminta pendapat makan dimana. Soalnya Ibu selalu nurut, itu kan jawabannya."

Aku tertawa. Canda tawa mereka membuatku merasa sangat bahagia. Akhirnya keluargaku seperti semula lagi. Mungkin kemarin Mas Fahmi sedang khilaf saja.

Sampai juga kami di restoran seafood langganan. Kami mencari tempat yang masih kosong karena suasana restoran cukup ramai.

Pelayan datang memberikan menu kepada kami. Berbagai menu makanan kami pesan, sesuai dengan selera masing-masing. Sambil menunggu pesanan datang, kami mengobrol.

"Bu, itu kan Bude Hani," kata Adiva tiba-tiba sambil menunjuk ke arah ia orang yang sedang duduk.

Kami semua menoleh ke arah yang ditunjuk Adiva.

"Benar, itu Bude Hani," kataku pelan. Aku shock melihat Mbak Hani ada di restoran ini, karena ia bersama dengan Kak Rizal. Kak Rizal adalah mantan kekasih Mbak Hani waktu kuliah. Mereka merupakan pasangan yang sangat serasi waktu itu, tapi aku tidak tahu mengapa mereka sampai berpisah. Mbak Hani menikah dengan Mas Kevin dan Kak Rizal menikah dengan perempuan bernama Renita.

"Dengan siapa Bude Hani Itu, Bu?" tanya Adiva.

"Oh, mungkin temannya."

"Kok hanya berdua saja, apa nanti tidak menimbulkan fitnah? Kata Ibu, perempuan yang sudah menikah itu harus menjaga pergaulannya. Apalagi Bude Hani sedang bermasalah rumah tangganya. Nanti malah memperkeruh keadaan." Adiva tetap nyerocos saja.

"Sudah, Dek. Nggak usah banyak komentar. Itu bukan urusan kita. Kamu kebanyakan nonton sinetron ikan terbang sih, makanya kamu berpikiran seperti itu." Arya yang tadi diam, akhirnya mengeluarkan pendapatnya.

"Iya, benar kata Kak Arya." Mas Fahmi juga bersuara.

"Hanya penasaran saja, Yah," jawab Adiva sepertinya belum puas dan masih penasaran. Ternyata pemikiran Adiva sudah dewasa sekali.

Akhirnya pesanan makanan kami datang. Seolah melupakan apa yang baru saja kami lihat, kami makan dengan lahapnya. Dengan sedikit bercerita dan bercanda. Suasana begitu akrab, membuatku bahagia, walaupun pikiranku sedikit terganjal dengan keberadaan Mbak Hani tadi.

Selesai makan, kami keluar dari restoran. Tinggal Mas Fahmi yang sedang membayar di kasir. Ternyata Mbak Hani juga keluar dan ia melihat ke arahku. Ia tampak gugup.

"Halo Mbak," sapaku pada Mbak Hani dan Kak Rizal.

"Eh, Hanum. Sama siapa kamu?" tanya Mbak Hani dengan sedikit gugup.

"Sama Mas Fahmi dan anak-anak," jawabku.

"Ini Hanum adikmu ya, Hani?" tanya Kak Rizal.

"Iya Kak, apa kabar?" tanyaku.

"Alhamdulillah, baik," jawab Kak Rizal.

Belum sempat aku bertanya-tanya, tiba-tiba Mas Fahmi mendekatiku.

"Ayo, Bu," ajak Mas Fahmi, kemudian menoleh ke arah Mbak Hani dengan wajah yang terkejut.

"Eh, Mbak Hani. Sama siapa, Mbak?" tanya Mas Fahmi.

"Sama temanku, Rizal. Rizal, ini Fahmi suaminya Hanum," kata Mbak Hani memperkenalkan Kak Rizal pada Mas Fahmi.

"Rizal," kata Kak Rizal sambil tersenyum.

"Fahmi," jawab Mas Fahmi.

"Ayo pulang, kasihan anak-anak sudah menunggu," kataku sambil menunjuk ke arah anak-anak.

Akhirnya aku dan Mas Fahmi berjalan menuju ke mobil, anak-anak sudah berdiri di dekat mobil. Sepanjang perjalanan suasana diam dan kaku. Kulihat anak-anak sibuk dengan hpnya masing-masing.

***

"Sepertinya Ibu sudah sangat akrab dengan Rizal. Ibu kenal ya?" tanya Mas Fahmi ketika menjelang tidur.

"Dulu sangat akrab. Kak Rizal itu pacarnya Mbak Hani waktu masih kuliah. Entah kenapa mereka akhirnya berpisah, padahal mereka itu pasangan serasi lho. Tidak berjodoh," jawabku.

"Rizal sudah menikah?" tanya Mas Fahmi tadi.

"Sudah, kalau nggak salah punya dua anak. Ngapain ya Mas mereka berdua di restoran itu?"

"Nggak tahu. Kenapa tadi nggak nanya?"

"Ish, nggak mungkin lah nanya sama mereka. Mereka pasti nggak akan berkata jujur. Atau jangan-jangan mereka selingkuh?" tebakku.

"Hush, Ibu kok malah ngomongin kakaknya sendiri kayak gitu."

"Ya bisa saja, dia ngomong katanya Mas Kevin yang selingkuh. Padahal Mbak Hani mungkin yang salah, akhirnya Mbak Hani pulang ke rumah Bapak. Sampai sekarang Mas Kevin dan Nadya nggak nongol kesini. Dan kayaknya Mbak Hani cuek saja. Pusing aku memikirkannya."

"Siapa yang suruh kamu memikirkannya? Sudah malam, ayo tidur."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel