Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 2 : My Hot Chili

"Kau belum bisa melepaskan diri, Laura?"tegur seorang pria yang keluar dari ruang bawah tanah, sembari memegang segelas sampanye.

"Bukan urusanmu Marvel, di mana Steven!"tandas nya selalu sarkas sembari mengedarkan pandangan.

"Entahlah!"balasnya sambil menaikkan kedua bahu cukup tinggi, membuat Laura memutar bola matanya malas.

"Kau terluka, Laura!"

Tap!!

Seketika, tangan gadis tersebut langsung menepis cepat sentuhan Marvel yang nyaris mengenainya. Ia menatap kilat, mengerutkan kening membuat suasana mendadak tegang. "Apa kau ingin aku patahkan tangan itu seperti teman mu kemarin, Marvel?"

"Santai lah Laura. Kau berlebihan!"

"Aku bukan pelacur yang mudah di sentuh siapapun!"balas Laura sembari mengeluh kasar dan menatapnya kilat.

"Okay, baiklah, aku minta maaf!"tukas Marvel sembari menyesap minumannya sembari tersenyum tipis. Seketika, Laura langsung mengalihkan pandangan, memutar haluan tubuh dan menjauhkan diri.

"Siapapun, pasti akan tertantang dengan mu Laura. Beruntung sekali Steven."pikir Marvel menatap keseluruhan tubuh gadis tersebut hingga hilang dari pandangannya.

"Laura, kenapa kau mematikan jaringan earphone?"tegur Steven saat menatap langsung wajah kekasih nya tersebut.

"Kau berisik!"balasnya singkat sembari mengikat rambut cukup tinggi, membiarkan bahunya terekspose.

"Laura aku mengkhawatirkan mu!"

"Ayolah Steven, aku bukan anak kecil lagi. Aku bisa jaga diri."

"Nyatanya, kau ketahuan! Berita mu di mana-mana, Laura. Bagaimana jika mereka-"

"Aku letih, keluarlah!"balasnya begitu datar, membuat Steven frustasi mengarahkan gadis tersebut.

"Laura, dengar! Aku tahu ambisimu, tapi kau tidak bisa melibatkan The Prinsphone atas masa lalu mu."

"Lantas, kau ingin aku bergabung bersama Golden Vogos? Pria yang tengah memeralatku?"

Seketika, Steven terdiam dan mengulum bibirnya cekatan sembari mengalihkan pandangan. "Artinya kau berkhianat, ingat, Golden Vogos musuh kita. Manfaatkan moment ini, itu saja!"terang Steven sembari melewati gadis tersebut.

"Itu artinya, kau yang ingin memperalat ku. Kenapa? Kau tertarik dengan Clan Blindberg yang tengah menyiapkan komputer Quantum itu?"tandas Laura menghentikan langkah Steven yang nyaris sampai pada bibir pintu.

"Laura!"

"Pria itu, meminta ku untuk berhubungan di ranjang. Kau setuju?"potong Laura sembari menaikkan satu alisnya. Ia tahu betul siapa Steven, tapi kali ini pria tersebut sedikit keterlaluan.

"Laura, aku letih bertengkar dengan mu!"balas Steven tidak ingin menjawab.

"Kalau begitu, kita putus saja. Aku akan menjadi partner ranjang Maxent dan mengajaknya bergabung untuk mewujudkan mimpi The Prinsphone. Kau Setuju?"

"Laura kau tidak paham kondisinya!"

"Baiklah, aku anggap kau setuju!"tandas Laura dengan suara parau. Ia mengepal tangan, menatap kilat ke wajah Steven yang tampak tidak beraturan.

Seketika, Steven menghela napas. Ia muak dengan hubungan ini, Laura tidak pernah sekalipun mendengarkannya. Faktanya, pria tersebut tulus, ia mencintai Laura tanpa alasan. Berharap, gadis tersebut berhenti melakukan tindakan kriminal.

"Harusnya, kau hanya diam dan berada di samping ku, Laura. Aku bisa memberikan mu segalanya, termasuk cinta!"ucap Steven pelan, ia menggelengkan kepala sedikit lalu beranjak setelah memastikan tidak ada satu katapun lagi yang keluar dari mulut gadis tersebut.

_____________________

Maxent membuka laptop pemberian Laura, menyambungkan benda tersebut dengan beberapa kabel pendukung. Ia tampak sibuk hingga semuanya siap, Maxent langsung menarik kursi dan duduk tegap di depan layar benda berisi data penting tersebut, mulai fokus.

"Ini dia,"keluh Maxent meneliti setiap layar penuh program yang ia pahami, semua di luar kepala. Bagaimana tidak, ia salah satu mahasiswa undangan pascasarjana yang mendapatkan nilai camlaude di Massachusetts Institute of Technology. Universitas yang mendapatkan predikat pertama terbaik dunia menurut Qs World University Rangkings.

Beberapa menit kemudian, Maxent masih berkutat penuh pada layar laptopnya. Meneliti banyak hal yang bisa ia lakukan. Seperti biasa, Ia akan menjual data-data tersebut ke darkweb, bahkan menembus Mariana's web yang masih menjadi perbincangan hangat dunia. Begitu banyak konspirasi terhadap web tersebut hingga saat ini.

"Selesai, aku tinggal menunggu notifikasi Paypal,"tukas Maxent sembari menaikkan kedua tangan ke atas tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun.

Maxent terdiam sejenak saat merasakan sesuatu melintas di benaknya, begitu tajam. "Mau ku patahkan milikmu, Hahh"

Mendadak, Maxent tersenyum kecil. Pikirannya hanyut pada Laura, gadis berani yang membuatnya begitu berusaha keras untuk mencari alasan, agar bisa menemuinya lagi dan lagi. Padahal, ia menjalin hubungan serius bersama Avril, sahabat Carolina, adiknya. Walaupun hubungan tersebut tertutup, Maxent ataupun Avril cukup menunjukkan sikap saling mencintai. Ah- entahlah. Pria tersebut masih terombang-ambing. Jika bisa, ia ingin memiliki keduanya.

Ddrrrttt!!

Lamunan Maxent buyar seketika, saat ponsel yang sempat ia letakkan di sisi laptop tersebut berdering lantang. Ia tersenyum kecil saat menatap nama yang tertera di layar ponsel tersebut seakan memanggilnya, CHILI, begitulah Maxent menyimpan nama Laura.

Tap!!

Maxent mengangkatnya, meletakkan benda tersebut di sudut telinga. "Kenapa? Kau tidak sabar dengan pekerjaan selanjutnya?"jawab Maxent sembari memundurkan tubuhnya menjauhi meja laptop.

"Kau di mana? Aku ingin menginap di tempat mu,"tukas Laura sembari mengulum bibir. Ia bosan dengan suasana markas, mungkin menjauh dari Steven sejenak mampu memulihkan hatinya.

"Menginap?"tanya Maxent memperjelas.

"Jemput aku di coffeeshop, sekarang!"tandas Laura sembari mematikan ponselnya cepat, lalu melempar sembarangan benda tersebut.

Lantas, Maxent bangkit dari tempat duduk. Ia mengedarkan pandangan di seluruh kamar dan masih berpikir keras.

"Menginap? Di sini? Apa dia ingin berkenalan dengan mommy atau daddy?"pikirnya sembari melangkah kemana-mana.

"Tidak bisa, Laura tidak bisa menginap di sini, Caroline bisa membuatnya jera!"Maxent kembali melebarkan senyuman. Ia mendekati laptopnya kembali, mematikan dan menggulung semua kabel seperti semula dan menyembunyikan semua peralatan di tempat aman, lantas, segera keluar dari ruangan tersebut.

"Maxen! Kau mau kemana?"tegur Lorna sembari mengusap rambutnya yang basah.

"Hm.. Aku ada keperluan. Mungkin tidak akan pulang malam ini."

"Kau mau menginap di mana?"tanya Lorna menaikkan kedua alisnya, memaku pandangan tegas ke arah Maxent tegang.

"Hm- aku ingin merefresh kan otak, mungkin menumpang di mansion daddy yang lain,"jawabnya sambil tersenyum. Seketika, Alexander langsung mengangkat pandangan sembari melipat koran yang ada di tangannya.

"Aku dengar, kau membeli properti di Hillsboro beach dua minggu lalu-"

"Ah tidak daddy. Itu hanya kabar bohong."

"Dari mana kau mendapatkan uang sebanyak itu?"balas Alexander membuat Maxent langsung terdiam di tempatnya. Ia menggaruk tengkuk dan memikirkan ribuan alasan yang bersarang di kepalanya.

"Dia mencuri dad,"potong Caroline masuk ke dalam pembicaraan sembari meraih sebuah apple dan langsung menggigitnya.

"Sial, ingin ku benturkan kepalanya,"batin Maxent menatap wajah Carol sambil mengepal tangan.

"Apa? Mencuri? Maxent-"

"Kau boleh pergi!"potong Alexander saat Lorna terprovokasi ucapan Caroline.

''Alexander, apa yang kau katakan?"

"Pakai black card mu dengan benar."sambung pria tersebut membuat Maxent semakin besar kepala. Ia menghina Caroline dan segera memutar tubuhnya sebelum Alexander berubah pikiran.

"Dad, kenapa kau membiarkan-"

"Caroline. Masuk ke kamar mu dan bersiaplah! Nanti malam aku akan mempertemukan mu dengan seseorang."

"Dad, jangan mulai lagi. Aku muak dengan perjodohan ini!"tandas Caroline parau.

"Aku akan mencari calon yang cocok untukmu, hingga kau setuju!"balas Alexander membuat Lorna memegang lengannya kuat.

"Yah! Siapkan sebanyaknya dad, itu tidak akan terwujud. Lihat saja nanti,"tandas Carol sembari melangkah menjauh membiarkan keduanya diam sembari saling memandang.

"Caroline masih muda, biarkan dia bersenang-senang,"protes Lorna sembari menelan ludahnya kuat.

"Aku harus cepat menikahkannya, sebelum Milla macam-macam!"

"Astaga Alexander, kau masih mengingat itu? Luiz bahkan tidak bicara pada Carol."

'Itulah sebabnya, kadang, pria diam karena suka!"balas Alexander membuat wanita tersebut diam.

"Lagipula, tidak ada salahnya. Aku senang jika Carol bisa bersama Luiz. Mereka pasangan yang pas dan-"

"Jangan mimpi!"potong Alexander dengan napasnya yang menggebu. Ia memutar pandangan, mendengar suara pintu kamar yang di banting Caroline sangat kuat. Entah, berapa kali ia harus mengganti pintu kamar gadis tersebut, yang jelas hampir setiap minggu pintu tersebut harus baru.

Chapter 3 : Last Mission

"Jadi ini milikmu?"tanya Laura yang mendudukkan dirinya di pinggir kolam, sembari memainkan ujung kakinya di dalam air. Sesekali sorot mata biru Laura beredar di seluruh backyard mansion tersebut, lantas kembali pada ujung kakinya yang terasa dingin.

"Yah! Aku membelinya satu tahun lalu. Kadang, aku bosan berada di mansion yang sama dengan keluargaku,"balas Maxent datar sembari membuka minuman soft drink nya.

"Itulah nikmatnya menjadi orang kaya, mereka bisa membeli apapun hanya dengan alasan sepele,"balas Laura tersenyum kecut sembari meraih soft drink yang ada di sampingnya. Membuka dan langsung menenggak minuman nyaris tandas.

"Seandainya, aku tidak di buang. Mungkin aku tidak akan menjalani hidup sesulit ini,"tandas Laura sembari membuang napasnya kasar.

"Di buang?"

"Ya! Aku tidak seberuntung kau. Hidupku rumit,"balas Laura mencoba bersikap santai. Entah kenapa, di saat bersama Maxent ia ingin terlihat lebih bebas tanpa ada beban sedikitpun.

"Hm! Aku tidak seberuntung yang kau katakan!"

"Ayolah Maxent, apa yang kurang dari mu? Kau punya keluarga yang selalu mendukungmu, di negeri ini, siapa yang tidak tahu keluarga Morgan? Kau bisa membeli apapun."

Maxent diam sejenak, ia memiringkan bibir lalu menatap tegas ke arah Laura sejenak. "Aku tidak pernah memiliki teman, Laura."

Deg!

Gadis itu menelan ludah, mengedarkan pandangannya lugas. Maxent tampak kesepian. Tercetak cukup jelas sekarang.

"Laura, apa kau ingin melakukan satu hal dengan ku?"tanya Maxent dengan suaranya yang sedikit serak, tanpa melepaskan pandangannya sedikitpun.

"Hm! Maybe!"

"Aku ingin kau menjadi teman ku dan begitupun sebaliknya, kita bisa berbagi kesedihan atau sedikit rahasia kecil, yang akan kita simpan bersama!"celetuk Maxent membuat Laura langsung menarik napasnya berat. Ia memalingkan pandangan sebisa mungkin.

"Daddy ku salah satu anggota Blindberg, pria itu, membuang mommy saat tidak berhasil membujuknya untuk menggugurkan ku. Pria itu, meninggalkan mommy di rumah sakit jiwa, agar bisa menutup rahasia ini rapat. Hingga akhirnya, ia menikah dengan gadis bangsawan Spanyol."

"Apa karena itu kau bergabung bersama The Prinsphone?"tanya Maxent memerhatikan Laura mulai mengulum bibirnya.

"Hm! Sebelum bertemu Steven aku menjalani kehidupan yang keras. Merampok, membunuh, kurir ganja, atau apapun itu hanya untuk bertahan hidup. Parahnya, daddy ku sendiri tidak ingin ada yang tahu bahwa aku putrinya. Karena itulah aku bergabung dengan The Prinsphone untuk menghancurkannya,"terang Laura sembari mengepal tangannya begitu kuat. Memikirkan begitu jauh semua yang ada di hadapannya.

"Apa kau tidak bisa mengeluarkan mommy mu dari-"

"Dia sudah tiada Maxent. Aku sendiri di dunia ini,"potong Laura sembari merapatkan giginya begitu kuat. Ia tidak pernah merasa begitu terbuka sebelumnya. Ia menyandarkan kepala di bahu pria itu, takut, jika Maxent menyadari kelemahannya sekarang. Laura menangis.

"Di dunia ku, orang-orang hanya mengenal Alexander Dalle morgan. Apapun yang aku lakukan, yang mendapatkan pujian, pasti pria tua itu. Aku tidak di beri kesempatan."

"Kau iri dengan daddy mu?"tanya Laura sedikit terhibur dengan ucapan Maxent. Jujur saja, tangisannya sedikit mereda.

"Ayolah Laura. Aku sedang berusaha untuk menceritakan kesedihan ku!"

"Kau tidak terlihat sedih, Maxent. Kau terdengar seperti memuji daddy mu itu, siapa? Pria tua katamu?"tukas Laura tertawa lepas di hadapan pria tersebut.

"Aku membayangkan bagaimana seorang Alexander tidak memiliki rambut dan membawa tongkat, sialan .... Kau....apa yang kau katakan, Maxent."Laura tidak berhenti bicara. Ia terlihat lebih baik dengan senyuman yang sangat lebar saat ini. Gadis tersebut bahkan berkali-kali memukul Maxent. Sungguh ia sudah begitu lama tidak tertawa sehebat itu.

Tap!!

Mendadak, Maxent menariknya lebih dekat dan membungkam mulut Laura dengan ciuman yang khas. Lantas, mata biru gadis itu membulat lebar saat menerima serangan yang sangat spontan. Ia terdiam beberapa detik, seakan sesuatu mematikan seluruh sarafnya. Laura menikmati ciuman Maxent. Ini lembut, mampu membuatnya lumpuh bahkan berniat membalasnya.

Tepat, enam detik kemudian Laura melingkarkan tangannya di leher Maxent. Memutar bibirnya bersama hingga ciuman mereka semakin dalam. Ia menerimanya, cukup jauh.

"Apa kau tidak menganggap ku sebagai pelaku kriminal yang kejam Maxent?"tanya Laura saat keduanya saling melepaskan ciuman. Masih dalam bingkai tatapan yang tajam.

"Aku melihat mu sebagai gadis yang berani, Laura. Kau cantik, seperti gadis lainnya bahkan lebih,"secepat kilat, wajah Laura merah. Ia tidak bisa menyembunyikan hal tersebut.

"For best friends,"ucap Laura sembari menggerakkan jari kelingking nya.

"Itu norak Laura, tidak cocok untukmu."

"Ayolah, sesekali kau harus lihat sisi lain ku. Tapi nanti, aku akan kembali menjadi gadis tangguh. Tidak ada di kamus ku cerita tentang seorang yang lemah."balas Laura mengedipkan mata.

"Okey. Best friends. Setelah ini kembalilah jadi gadis tangguh, dewi The Prinsphone,"ucap Maxent mengikat jari mereka cukup kuat, tanpa melepaskan pandangan mereka sedikitpun. Laura cantik dengan sikapnya tersendiri, tidak ada yang kurang bagi Maxent. Hatinya lemah, sepertinya akan mudah bagi pria tersebut untuk melepaskan Avril.

"Kau ingin bersenang-senang?"tawar Maxent sembari melepas ikatan tangan mereka.

"Senang-senang?"tanya Laura sedikit terbata. Ada ribuan pikiran kotor di kepala Laura saat ini.

"Yah! Akan penuh tantangan. Anggap hutang mu lunas."

"Semudah itu? Apa kau ingin menawarkan ku untuk berhubungan di ranjang, Maxent?"tanya Laura cukup polos. Ia menelan ludah, cukup takut. Ayolah, Ia masih trauma dan tidak akan melakukan hal tersebut sembarangan.

"Luar biasa. Baru di cium sekali, pikiran mu langsung berubah. Aku akan menunjukkan sesuatu padamu, Ayo!"Maxent mengulurkan tangan, membuat Laura langsung diam dan menatap jemari panjang pria tersebut. Tampak begitu menggoda.

"Ayolah, kau pasti suka."

Laura menahan napas, ia langsung mengangguk dan menyambut tangan Maxent erat, lalu bergerak mengikuti pria tersebut untuk memasuki kembali ruangan mansion.

Maxent melangkah pelan, mengeratkan jemari keduanya hingga mereka sampai ke sebuah elevator dan segera memasukinya.

"Kita turun?"tanya Laura membuat Maxent tersenyum tipis, tanpa menjawab apapun hingga akhirnya pintu terbuka lebar untuk mereka.

Tap!!

Laura membulatkan mata, meneliti sebuah secret room yang super mewah dan luas. "Aku melakukan banyak transaksi ilegal di dark web. Menghasilkan uang dan membeli semua ini,"terang Maxent menatap punggung Laura yang melangkah di depannya.

"Ayo!"mereka kembali melangkah, menyusuri lorong yang dominan dengan warna putih tersebut hingga sampai di sebuah gudang.

"Ya Tuhan, aku pikir ini asli. Kau menyukai iron man?"tanya Laura memerhatikan sebuah space replika Iron Man.

"Yah, sangat menyukai karakter tony Stark. Kau suka senjata kan? Ayo ikut, aku tunjukkan sesuatu,"tawar Maxent sembari menekan salah satu tombol rahasia yang ada di sudut tubuh patung Tony Stark.

Tap!!

Lagi, Laura ternganga, matanya membulat hebat. Sebuah hamparan senjata tersusun rapi, mungkin ribuan dalam segala jenis.

"Milik mu?"tanya Laura penasaran.

"Yah! Sejak kecil, daddy membelikan ku ratusan senjata mainan. Aku jadi terbiasa dengan hal itu dan mewujudkannya secara nyata, ah ya- aku membeli semua ini tanpa bantuan daddy,"balas Maxent penuh penekanan membuat Laura langsung tersenyum simpul.

"Ada lagi yang ingin kau tunjukkan?"tanya Laura dengan suara parau. Ia mulai bersemangat. Maxent mengangguk, ia menunjukkan galeri mobil, sebuah gitar listrik berwarna silver gold dan terakhir kejutan terakhirnya.

Mereka menaiki elevator kembali, menuju lantai enam dan berhenti di sebuah ruangan dengan interior mewah berdinding tiga dimensi.

"Kemarilah Laura!"ucap Maxent menangkap jemari gadis tersebut kembali, ia meraih ponselnya dan tampak menekan benda tersebut cukup lama.

"Ada apa?"

"Pintu ini hanya bisa di buka oleh ku, jika kau mencoba membobolnya, passcode akan masuk ke sini!"terang Maxent sembari menaikkan alis.

Beberapa detik kemudian, pintu besi tersebut terbuka lebar, menampilkan sebuah ruangan menjulang menuju danau, berbentuk seperti kapal dengan kolam gantung.

"Baiklah, sepertinya istirahat di sini akan nyaman."

"Ya! Sangat nyaman Laura. Tapi, kau harus ingat bahwa hutang mu belum lunas. Kita akan melakukan sesuatu hal malam ini, bersiaplah!"

"Maksud mu?"balas Laura sembari mengerutkan kening.

"Aku butuh sebuah data penting, hal ini memiliki nilai jual tinggi. Sangat berbahaya. Kita akan membobolnya nanti malam, aku tahu, kau menyukai tantangan Laura."

"Sepertinya terdengar menarik Maxent, aku perlu senjata mu!"

"Ambil berapapun yang kau butuhkan, Laura,"jawabnya sembari melempar senyuman yang sangat khas. Seketika, gadis tersebut kembali mendekat, menatap Maxent tanpa lepas dan membalas senyuman smirk yang ia miliki.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel