Bab 4
Rangga mengantar Dewi dan menurunkan gadis itu di depan rumahnya, tetapi ia tidak ikut turun.
“Dewi, nanti malam ke rumah Om. Langsung masuk saja, pagernya gak ada pintunya, kan.”
Dewi mengangguk, “Liat nanti ya, Om. Kalo Bibi sudah tidur duluan, Dewi bisa pergi.”
Dan gadis itu melenggang masuk tanpa berkata apa-apa lagi. Rangga menatap kasihan ke punggung kurusnya sampai dengan hilang di balik pintu.
Rangga kembali ke tempat tinggalnya. Mulai membongkar barang belanjaan dari mobil dan langsung sibuk di dapur.
Ia memasak lauk cukup istimewa hari ini. Daging sapi terbaik yang ia beli tadi, ia masak semur. Lalu membuat nasi uduk dan menumis beberapa sayuran. Rangga juga menyiapkan buah segar.
Namun, sampai lewat pukul delapan, Dewi tak kunjung datang. Rangga terpaksa makan sendiri lalu menyimpan sisanya ke dalam lemari es.
Ia sedang rebahan di sofa ruang tengah sambil menonton televisi saat pintu rumahnya terbuka. Rangga terlonjak bangun.
Dewi menatapnya dengan wajah bersalah, masih memegang daun pintu, “Katanya masuk saja gak usah ketok pintu.”
Sepertinya gadis itu merasa bersalah sudah mengejutkan Rangga.
“Yaya, masuklah. Aku hanya terkejut karena kamu datengnya kok malam sekali.”
“Bibi baru tidur kena obat, jadi Dewi baru bisa kemari, Om.” Wanita itu menghempaskan pantatnya ke sofa di sebelah Rangga.
“Sudah makan?”
Dewi menggeleng, “Nasinya habis. Dimakan Bibi karena Dewi pulang kesorean, Bibi gak bikin banyak.”
Rangga menepuk lembut kepala Dewi. “Ayok makan. Tapi kita angetin dulu ya. Udah telanjur Om masukkan kulkas.”
Dewi ikut berdiri bersama Rangga menuju ke dapur. Wanita itu berceloteh ceria selama Rangga menghangatkan makan malam.
“Ini apa, Om?”
“Daging dimasak semur.”
“Ooo.”
“Pernah makan, kan?”
Dewi mengeleng. “Gak bisa beli daging. Palingan ayam sama telur.”
“Telur bukan daging.” Rangga bicara sambil mengangkat panci dari atas kompor untuk ia pindahkan ke meja makan.
“Kan nanti jadi ayam, jadi daging ayam.”
“Tetap saja bukan daging, duh. Duduk sini, Dee!” tukas Rangga. Dewi menurut.
Selama Rangga mengambilkan makanan untuknya, mata Dewi bersinar bahagia. Bola matanya mengikuti semua gerakan tangan Rangga.
Saat piring berisi nasi, potongan daging yang besar-besar tersaji di depannya, wajah Dewi hampir menyala seperti kembang api.
“Makanlah,” kata Rangga pelan. Dewi meraih sendok dengan sukacita.
“Om engga makan?”
“Sudah tadi. Makanlah.” Rangga hanya menemani Dewi dengan sekaleng bir. Selama Dewi makan, ia terus melakukan sambil bicara. Apapun diceritakan olehnya. Sepertinya wanita muda ini tak memiliki teman untuk mendengarkan ceritanya.
Kini, ketika Rangga memberikan telinganya, Dewi tak henti bicara. Hanya berhenti kalau sibuk mengunyah saja.
Sesekali Rangga menambahkan daging semur dari panci ke piring Dewi, yang diterima dengan sukacita oleh gadis itu sambil terus berceloteh.
Rangga akan tertawa kalau Dewi menceritakan kecerobohannya saat bekerja di ladang. Dan dia akan termenung dengan mata tajam ke arah lantai kalau Dewi menceritakan kebodohannya mengobral tubuh pada pria-pria tua desa ini.
“Jadi kata Mbah Ongko, tidak apa. Pijit saja katanya. Tidak akan terjadi apa-apa.” Dewi asyik menceritakan pengalamannya dengan pria tua pemilik ladang tempatnya terkadang membantu panen.
Rangga mulai mengeras wajahnya.
“Jadi Dewi jongkok di depan Mbah Ongko lalu mijitin itunya,” ujar Dewi seolah yang dipijit hanyalah sekedar lutut Mbah Ongko.
“Ih, jelek. Enggak kayak punya Om. Pas dipijit ama Dewi emang jadi gede, tapi masih jelek. Gak ganteng kayak punya Om. Terus gak lama muncrat, kena muka Dewi. Dan gak sebanyak punya Om,” tutur Dewi geli.
Rangga menenggak birnya lalu meremas kaleng kosong.
“Itu minuman apa?” tanya Dewi ketika melihat Rangga kembali membuka kaleng berikutnya.
“Ini? Bir. Kamu pernah minum ini juga?”
Dewi menatap ke arah kaleng di tangan Rangga sambil mengunyah suapan terakhirnya. Ia menelan. “Enggak. Dewi boleh coba, Om?”
Wanita muda itu mengulurkan tangannya dengan wajahnya yang polos. Rangga balas menatapnya lama. Ia memikirkan usia Dewi dan batasan alkohol. Tapi ia sungguh tak tega menolak wajah polos yang berharap itu.
Ia mengulurkan tangannya yang memegang kaleng dan Dewi menerima seperti anak yang diberi hadiah.
“Dikit aja, cicipi dulu—”
Terlambat, Dewi telah menenggak banyak-banyak. Rangga cuma bisa melongo dengan tangan masih terulur ke arah Dewi.
“Pueh! Ada paitnya, Om.” Dewi mengusap mulutnya dengan mata mengernyit. Sejurus kemudian wajahnya seperti menemukan harta karun.
“Eh, ada rasa biskuitnya!” serunya takjub. “Enak, Om!”
“Ya. Tapi kamu gak boleh banyak-banyak.” Rangga merenggut kaleng bir dari tangan Dewi dan kaget. Kalengnya sudah kosong.
“Kenapa?” tanya Dewi saat Rangga mengembuskan napas kesal atas keberanian gadis itu.
“Karena bikin mabok!”
“Dewi pernah mabok—”
“JANGAN BILANG KAMU PERNAH MABOK SAMA KAKEK-KAKEK!!” raung Rangga marah. Ia sangat marah membayangkan Dewi yang mabok digarap rame-rame.
Sementara Dewi berwajah polos tampak terkejut mendengar raungan Rangga, “Enggak, lho. Mabok pas naik bis. Apa rasanya sama?” tanyanya pelan.
Rangga memijit pelipisnya sekaligus mengusap wajah. Dia heran sendiri, mengapa jadi uring-uringan kalau mendengar cerita Dewi.
Melihat Rangga tidak menjawab, Dewi beranjak berdiri, membereskan bekas makannya lalu membawa semua yang kotor ke wastafel untuk dicucinya.
Rangga terus menatap sambil menikmati kaleng bir berikutnya.
Usai mencuci piring bekas makannya, Dewi mengeringkan tangan lalu berbalik kembali ke arah Rangga.
“Sekarang Dewi mau ucapin terima kasih,” katanya sambil tersenyum ketika berdiri di depan Rangga yang mendongak ke arahnya.
Dewi mengangkat bagian bawah daster, mempertontonkan pertigaan tubuhnya yang dibungkus kain segitiga sederhana. Rangga terpana. Sejurus kemudian konsentrasinya dibawa ke hal yang berbeda. Untuk wanita semuda Dewi, celana dalamnya kuno sekali.
“Eum, celana dalammu—”
“Kenapa? Dewi harus melepasnya juga?”
“Ha! tidak, bukan.”
Tapi Dewi tak mengindahkan keberatan Rangga. Ia sudah meloloskan celana dalamnya lepas melewati kaki dan sekarang berdiri dengan masih mengangkat dasternya sampai pinggang.
“Errr....” Rangga yang setengah mabok, menatap tak percaya karena Dewi membiarkan miliknya terekspos sempurna. Dewi memiliki inti kemerahan yang bersih dari rambut apapun.
Rangga mendongak, “Kamu enggak harus membayarku, Dewi.”
“Kenapa? Om gak suka karena Dewi gak cantik?”
“Bukaan.” Suara Rangga agak bergetar karena pemandangan di depannya.
“Dewi sudah mandi, kok. Jadi gak bau.”
“Astaga. Bukan ituu. Kamu seha—,” Rangga terlambat melarang karena Dewi dengan sigap naik lalu duduk mengangkang di atas pangkuannya.
Membuat sesuatu di antara kaki Rangga, mengeras dengan cepat.
