Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3

“Burung Om keren. Gak kayak—,”

“Bukan itu!” putus Rangga gusar, Ia meremas tisu kotor bekas membersihkan noda di wajah Dewi lalu membuangnya ke tempat sampah di belakang jok. Sambil berdecak sebal, ia memaksa memasukkan panjangnya yang luar biasa, kembali ke dalam boxer dan menutup resletingnya.

Dewi menatap semua perbuatan Rangga dengan wajah yang mendadak sedih.

“Bayaran Dewi gak cukup ya? Kurang? Dewi bisa bayar lagi, Om,” ujarnya murung.

“Enggak Tunggu! Diem di situ, Dewi!” hardik Rangga panik ketika Dewi akan menaiki jok setelah melepas segitiga pengamannya. Rangga sudah bisa menduga apa yang akan dilakukan wanita muda itu. Dewi menatap heran padanya.

“Kamuu....” Rangga sampai kehabisan kata-kata. Ia menangkupkan kedua tangan menutup wajah, hampir saja menghantamkan kepalan tangannya ke kemudi.

“Apa yang kamu lakukan, Nona?” tanyanya lembut setelah berhasil menguasai diri. Dewi menatap sedih ke arahnya.

“Membayar jasa Om yang ngasih tumpangan sama air minum,” jawab Dewi sedih.

“Itu bukan jasa! Aku nolongin kamu!” geram Rangga heran dengan kelakuan Dewi. “Kamu idiot apa gimana!” hardiknya lagi.

Rangga melakukan itu sekaligus beban rasa bersalah karena kurang kuat menolak Dewi bahkan menikmati service-nya.

“Kenapa Om marah? Para mbah di desa enggak marah kalau Dewi bayar begitu.”

“Siapa yang mengajarkanmu harus membayar dengan cara begitu, Deewii?” tanya Rangga, sangat putus asa dengan kelakuan Dewi.

Dewi menggaruk belakang kepala dengan bingung, “Kata Bibi enggak apa-apa. Kata Mbah-mbah juga enggak apa-apa.”

“Ya tentu saja mbah-mbah bangkotan brengsek itu bilang gak papa! Anjing memang! Terus bibi ini bibi siapa?! Orang tuamu tahu atau tidak?!”

Entah mengapa Rangga terpancing emosi. Padahal ia tidak mengenal Dewi secara pribadi, hanya beberapa kali melihat gadis itu di desa bahkan mengiranya gila. Itu sebabnya dia tadi agak ragu menerima permintaan tumpangan Dewi.

Tetapi, menyadari cara gadis itu bicara, sepertinya ia tidak gila. Polos iya, bodoh mungkin. Tetapi jelas tidak gila.

“Ibu Dewi sudah meninggal. Ayah gak tau kemana,” jawab Dewi pelan.

“Bibi ini, bibi siapa?” desak Rangga.

“Bibinya Dewi. Adiknya Ibu. Dewi tinggal sama Bibi Sutiyah.”

Mata Rangga membelalak selebar-lebarnya. “Dan bibimu bilang gak papa??!!”

Dewi mengangguk meski sedikit berjengit dengan suara keras Rangga.

“Astaga... kupikir aku sudah melihat semua hal gila di dunia ini. ternyata masih ada yang lebih gila. Dewi, mengapa bibimu bilang gak papa? Harusnya bibimu lapor polisi.”

“Polisi? Hansip maksudnya? Dewi juga pernah bayar sama Pak Hansip.”

Rangga melongo seketika. Apa yang sudah dialami oleh wanita muda berwajah polos di dekatnya ini. Tekanan hidup seperti apa, mengapa orang yang seharusnya melindungi Dewi malah membiarkannya seperti ini.

Mendadak Rangga merasakan ketertarikan aneh dengan kisah Dewi. Ia yang sudah berminggu-minggu menolak interaksi dengan warga desa lain, kini malah ingin menyelami kehidupan Dewi lebih dalam.

“Bibi Sutiyah ini... yang mana orangnya?” tanya Rangga setelah kembali lagi berhasil menguasai dirinya sendiri.

“Yang punya warung dekat sekolahan, Om.”

Rangga berpikir sejenak. Ah, wanita itu. Dia ingat. Gendut, pendek, wajah berminyak, sering bau bawang. Bicaranya kasar dan cenderung meledak-ledak. Wanita itu bibinya Dewi?

Sangat berbeda jauh. Dewi kurus dan mungil, meski besar di bagian dada dan pantat saja. Wajahnya bahkan lebih mungil lagi. Rangga yakin, ia sanggup meremas wajah Dewi dengan kepalan tangannya saking mungilnya wajah itu.

Dewi juga cantik. Meski berpakaian lusuh dan kebesaran serta tak memakai riasan, tapi Dewi cantik alami.

Bagaimana bisa wanita ini berakhir di kubangan kelam dan diabaikan keluarganya sendiri. Rangga menghela napas.

“Kita pulang saja. Nanti malam, kamu ke rumah Om,” kata Rangga. Ia perlu bertanya lebih detil. Setelah berkata seperti itu, Rangga melepas rem tangan lalu memasukkan gigi sekaligus melepas kopling. Mobil mulai melaju pelan.

“Dewi bayar di rumah Om?”

Rangga tersentak dengan jalan pikiran Dewi.

“Gak bayar! Duh! Aku mau kasih kamu makan. Badanmu kurus kayak belalang! Sumpek aku liatnya, njing!” umpat Rangga kesal.

“Lah kasih makan Dewi? Ya Dewi harus bayar.”

“GAK BAYAR! MAKAN AJA! GRATIS!” raung Rangga sebal membuat Dewi mundur lalu mengkeret di joknya. Rangga mengusap wajah dengan satu tangan.

“Datang aja, Dee. Aku buatkan makanan enak, gak perlu bayar. Tetangga kan harus saling tolong menolong,” katanya lebih pelan agar Dewi tidak takut.

“Oh. Tolong menolong.” Dewi menganggukkan kepala. Rangga menarik napas lega. “Kayak Mbah Pariman, pas dia nolongin Dewi. Akhirnya Dewi cuma ngasih pantat Dewi buat diremes-remes sama dia.”

Rangga menghantamkan telapak tangan ke jidatnya.

“Dewi. Usiamu berapa?” tanya Rangga tak bisa menahan trenyuh. Mobil kini berjalan dengan kecepatan sedang menyusuri jalan antar provinsi yang sepi.

“Sembilan belas tahun,” jawab Dewi.

“Enggak sekolah? E, sembilan belas tahun harusnya sudah lulus SMA ya?” Rangga bertanya dia sendiri juga yang menjawab.

“Dewi gak masuk SMA, Om. Gak kebagian tempat. Padahal sudah bayar,” jawab Dewi sambil menatap pemandangan di luar jendela. Rangga seketika menelan ludah. Perasaannya sungguh tidak enak.

“Bayar ini...?” Suaranya bergetar ketika bertanya pada Dewi. Ia memiliki pemikiran sendiri, tetapi menunggu Dewi menjawab agar lebih jelas.

“Sama Bibi disuruh menemui kepala sekolah yang di SMA. Kata Bibi, pokoknya Dewi diem aja pas disuruh bayar. Jadi ya Dewi diem pas bayar ke kepala sekolah. Bayarnya mahal, sampe masuk, Dewi sampe kesakitan. Eh, ternyata enggak ketrima karena sekolahnya penuh,” jawab Dewi polos.

Mata Rangga berubah sedih, “Sampe masuk,” ulangnya pelan tanpa ia sadari. Sementara Dewi di sebelahnya malah sudah mulai bersenandung mengikuti lagu yang diputar di radio.

Rangga menoleh, melihat ke arah Dewi dengan wajah kasihan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel