Bab 2 Warning Adult Content
“Ngapain dia keluyuran sampe kemari? Apa gak bahaya?” gumam Rangga sambil berkendara melewati Dewi begitu saja.
Di pinggir jalan, Dewi masih melambaikan tangannya, cuma bisa melongo saat mobil jeep itu terus melaju. Ia menurunkan tangan dengan wajah kecewa, lalu mulai berjalan lagi.
Tak disangka, mobil jeep berhenti beberapa ratus meter di depannya. Dewi tertegun sesaat, lalu berlari dengan wajah ceria menuju ke jeep yang sekarang berhenti di pinggir jalan dengan mesin menyala.
Ia berdiri di samping mobil yang kacanya masih tertutup. Benar dugaannya, pemilik mobil yang ia kenali sering parkir di depan rumah dekat sungai adalah pakde yang baru pindah beberapa minggu lalu. Maka Dewi tersenyum lebih lebar.
“Pakde, boleh Dewi numpang?”
Kaca bergerak turun dan Rangga menatapnya melalui sudut mata. “Apa kamu bilang?”
“Dewi mau numpang sampe ke desa, boleh?”
“Bukan itu, sebelumnya. Kamu panggil aku apa?”
“Pakde.”
Rangga mendengus, “Enak aja. Aku gak setua itu.”
Mata indah Dewi mengerjap bingung. “Paklik?”
“Gak keren.”
“Masa Mas? Atau Akang?”
Rangga kembali mendengus, kali ini ada jejak geli. “Panggil om, biar keren.”
Senyum kembali terkembang di wajah Dewi, “Om, Dewi boleh numpang sampe desa?”
Rangga kini menoleh ke arah Dewi, memastikan kepribadian wanita muda itu. Memastikan bahwa anggapannya dulu, salah. Ia mengangguk tak kentara setelah yakin.
“Naik!”
Dengan gembira Dewi naik. Tapi Rangga terkejut karena Dewi malah memanjat dari pintunya lalu melongokkan kepala masuk dari jendela. Untuk sesaat ia merasa penilaiannya bias.
“Waaaah segarnyaaa. Dari tadi Dewi kepanasan!” kata wanita muda itu sambil memejamkan mata, menikmati semburan pendingin udara.
Rangga yang terdesak karena Dewi melongok ke dalam melalui jendela, hanya bisa memundurkan kepala dan badan sampai menempel di jok.
“Masuk lewat pintu penumpang, Dee,” tegurnya.
“Iya, tahu. Dewi cuma mau ngase sebentar. Gini-gini Dewi juga sering naik mobil, kok,” ujar Dewi ceria, turun kembali dari pijakan pintu sopir lalu memutari mobil untuk menuju ke pintu penumpang. Rangga mendengus geli.
Dewi membuka pintu, melompat masuk karena ia bertubuh mungil sementara jeep cukup tinggi. Ia menarik sabuk pengaman dengan riang.
"Om, pasangin,” pintanya, nadanya manja seperti anak kecil minta diikatkan tali sepatunya.
Rangga menatap sekilas, lalu bergerak membantu memasangkan sabuk. Jemarinya tanpa sengaja menyentuh kulit Dewi yang sedikit panas. Ia terdiam.
Darah, bau mesiu, tubuh yang dingin terkapar di lantai....
Ingtan itu menyelinap begitu saja membuat napas Rangga sedikit tertahan. Jemarinya yang dulu terbiasa menggenggam senjata, kini malah sibuk mengunci sabuk pengaman untuk seorang wanita muda denhan mata polos.
“Kamu ini selalu senekad ini ke orang asing?” tanyanya, suaranya lebih dalam dari yang ia maksudkan.
Dewi terkekeh, tidak menjawab kalimat Rangga. Malah tiba-tiba saja mengelus rahangnya dengan lembut. Rangga tersentak. Sentuhan itu sederhana, tetapi terasa aneh.
“Apa yang—” Rangga mengerem mulutnya sendiri.
Dewi tidak langsung menjawab. Jemarinya masih di sana, di garis rahang Rangga. Biasanya ia yang sering disentuh seperti ini oleh pria-pria lain. Tapi kali ini entah kenapa berbeda. Ia yang menyentuh terlebih dahulu, ia juga yang merasakan sesuatu menggelitik di perutnya.
Buru-buru ia menarik tangannya. Lalu bersandar di jok sambil tersenyum.
“Engga apa-apa,” katanya sambil menatap ke luar jendela.
Rangga sungguh bingung. Sesaat tadi Dewi seperti wanita binal, sekarang dia kembali menunjukkan kepolosan yang suci. Ia menggelengkan kepala tak kentara lalu mulai menjalankan mobilnya lagi.
Rangga melirik ke arah wanita muda di sampingnya sambil berkendara. Dewi tampak mengusap keringat di wajah dan lehernya. Ia juga membuka kancing atasannya hingga tiga kancing, membuat Rangga bisa melihat ke arah belahan dadanya yang mempesona.
Kejantanan Rangga bergerak di luar kendali. Wanita ini benar-benar menggodanya. Sekarang Dewi agak membungkuk untuk mendinginkan wajah di depan pendingin udara. Membuat belahan kedua asetnya makin jelas menantang Rangga.
“Dewi mau minum?” tawarnya. Seketika wanita itu melonjak dan menghadap Rangga.
“Mau, Om.”
Wajahnya demikian polos dan tampak senang. Seperti anak-anak yang ditawari lolipop. Rangga meraih botol mineral lalu mengangsurkan ke arah Dewi yang menerima dengan sukacita.
“Nanti dibayar sama Dewi sekalian,” katanya senang. Wanita itu membuka tutup botol sambil bersenandung bahagia. Rangga menggelengkan kepala. Selain tak paham dengan kebrutalan Dewi, ia juga bingung dengan kekontrasan wanita itu. Kadang nakal, kadang polos.
Tapi satu yang jelas baginya, wanita ini tidak gila.
Dewi meminum airnya dengan sukacita, “Wuah! Segarnyaaa.”
Tidak ada ucapan terima kasih dari Dewi, sia-sia saja Rangga menunggu. Akhirnya ia memahami kalimat Dewi yang akan membayarnya. Senyum samar muncul di wajah Rangga. Wanita muda berpenampilan lusuh begini mau membayar dirinya yang perlente dan memiliki mobil. Sungguh lucu.
“Bayar pake apa, Dee?”
Wanita muda itu sibuk meletakkan botol yang sekarang kosong, lalu menghadapkan badannya ke arah Rangga. Ia membuka kedua kakinya lebar-lebar, menarik roknya ke atas, memamerkan kain segitiga pelindung miliknya yang paling pribadi.
“Ini.” katanya polos.
Rangga terkejut bukan kepalang. Ia sampai spontan menepikan jeep karena kepalanya mendadak berdenyut. Kepala atas bawah. Ia perlu menenangkan diri daripada tidak fokus nyetir berakhir tergelincir masuk jurang di tepi jalan ini.
Melihat mobil telah menepi meski mesin masih menyala, Dewi segera bergerak. “Sekarang, Om?” katanya sambil melepas sabuk pengaman lalu mulai memanjat jok supaya bisa mendekati Rangga.
Pria 35 tahun itu makin terkejut dengan tindakan Dewi yang mendadak mendekat ke arahnya lalu meraih resleting celana.
“Dewi, tunggu!”
Terlambat. Dewi telah meraih dan memegang panjangnya yang menekan dari dalam celana, mendesak minta dibebaskan. Rangga kerepotan menyingkirkan tangan mungil Dewi yang begitu terlatih menurunkan resleting.
“Ini sudah siap. Kenapa Om kayak bingung? Diam saja, Dewi mau bayar,” katanya dengan mata polos.
Rangga terpana menatap wajah cantik Dewi yang berbicara seolah ia akan melakukan hal yang lumrah dan wajar saja. Belum sempat Rangga melarangnya, Dewi telah menarik keluar panjangnya yang mulai menegang lalu mulai mencium pucuk dan mengulum tanpa ragu.
“Astaga!” Rangga mencengkeram kemudi, tak kuasa bergerak karena hasrat yang mendadak meninggi. Meski ia merasa ini bukan hal yang benar, tetapi logikanya telah mengabur akibat perbuatan Dewi. Sekarang Rangga hanya bisa menikmati layanan wanita muda itu.
Kepala Dewi bergerak maju mundur dalam usahanya mengakomodasi seluruh panjang Rangga ke dalam rongga mulutnya. Wanita muda itu demikian ahli dan berani menelan hingga pangkal lalu menghisap membuat Rangga sekali lagi kehilangan kewarasan.
Ia meleguh dan menggeram. Tangannya spontan meraih rambut panjang Dewi, mengenggamnya dalam satu tangan lalu menekan kepala Dewi ke arah perutnya.
Wanita muda itu tersedak dan Rangga merasakan kepuasan luar biasa.
“Dewi, awaass,” geramnya, berusaha mengingatkan Dewi karena ia segera menuju ke pelepasannya.
Tetapi wanita itu dengan bandelnya bertahan. Sia-sia Rangga mendorongnya menjauh karena Dewi menekan makin dalam hingga Rangga bisa merasakan tekak Dewi di ujungnya dan ia meledak seketika.
“Sial! Dewi!” gumamnya setengah keras, dengan mata terpejam, merasakan tarikan-tarikan nyaman dari punggung menuju ke intinya dan memuntahkan miliknya di dalam mulut Dewi. Rangga merasa puas luar biasa apalagi melihat Dewi dengan berani memamerkan semen di dalam mulutnya lalu menelan tanpa ragu.
“Astaga, kamu tidak jijik?” tanya Rangga bingung. Ia masih bersandar dengan nyaman karena baru saja mendapatkan pelepasan terbaik setelah bertahun-tahun tak merasakan itu.
Dewi menggeleng sambil tersenyum, ia mengusap sudut bibir dan pipinya yang sedikit terciprat semen Rangga. Pria itu tak tega, ia meraih tisu lalu membantu membersihkan wajah Dewi, padahal dirinya sendiri masih amburadul. Panjangnya masih menjuntai keluar dari resleting.
“Enggak jijik,” jawab Dewi sambil tertawa ceria. Ia pasrah saja dibersihkan wajahnya oleh Rangga.
“Burung Om keren, ih! Ganteng dan gagah. Enggak kayak burung mbah-mbah di desa,” tambahnya masih dengan wajah ceria.
Tangan Rangga berhenti di udara, matanya menatap tak percaya pada Dewi, “Ha?? Gimana, Dee??!”
