Bab 1
“Kemaren aku liat dia gak pake baju! Cuman pake celana pendek, lagi benerin genteng! Rejeki banget mataku iniiii!” Mak Onah bergosip heboh dengan sesama mak-mak.
“Beruntung banget Mak Onah. Aku cuma sekali papasan pas dia baru dari warung Bu Bini. Ya ampun, baunya harum, Mak!” seru Kustini. Janda kembang karena ditinggal suami kabur buat ngejar janda laen.
“Iya bener! Padahal dia lagi pake kaos yang lengennya digulung sampe ketiak. Itu bulu ketiak kemana-mana, tapi kok ya gak bau asem? Baunya lakik tapi seger!” tambah Mbak Kenes yang suaranya kenes sesuai namanya.
“Aku, dong. Disapa sama dia,” kata Bu Bariah bangga.
“Halah baru disapa. Aku?? Diajak ngobrol!” Kali ini Bu Bini yang bicara.
“Ya jelas diajak ngobrol! Kan dia beli di warung situ!” tukas Mak Onah sebal karena pengalaman dia yang paling gak enak. Cuman liat dari jauh walaupun obyeknya buka dada alias gak pake kaus.
Desa Goprak mendadak gempar karena kedatangan sosok baru yang menghuni salah satu rumah di tepi sungai yang sudah lama kosong.
Rumah yang hampir runtuh itu kini dihuni oleh pria tampan dengan perawakan perkasa.
Rangga Adhitama. Kabarnya ia sudah berusia 35 tahun, badannya besar dan kekar. Jelas terlihat merupakan hasil tempaan olahraga dan kerja keras. Ia memiliki wajah tampan yang kekanakan, berbanding terbalik tubuhnya yang seperti bodyguard.
Rangga pindah sendiri. Tak ada keluarga menemani. Tak ada istri, apalagi anak.
Itulah yang membuat Desa Goprak gempar. Desa yang kebanyakan dihuni oleh para wanita dengan status janda atau ditinggal suami kerja di luar pulau, bahkan luar negeri. Sementara pria yang tersisa sudah tua, keriput, kisut dengan napas yang berat kalo diajak ngobrol sebentar.
Rangga menjadi penghibur di kala para wanita warga Desa Goprak kekurangan kasih sayang sekaligus kurang hiburan mata.
Tak jauh dari para emak-emak yang menggosip, sesosok wanita muda yang berwajah cantik walau tanpa polesan make-up, hanya mendengarkan para wanita dewasa bergosip. Ia mengenakan atasan kemeja yang kedodoran. Dua kancing teratasnya terbuka, entah sudah rusak atau memang sengaja dibuka. Bawahnya, memakai rok yang sama kedodoran dan sama lusuhnya.
Dewi Karmini, baru berusia 19 tahun, keponakan Sutiyah. Pemilik warung yang menjadi saingan Bu Bini. Mana warung Sutiyah kalah melulu.
Dewi berhenti sejenak ketika mendengar pembicaraan ibu-ibu itu lalu kembali melanjutkan langkahnya. Dewi tidak memiliki kecerdasan memadai. Ia hanya lulusan SMP dan sering kali diabaikan oleh Sutiyah, bibinya. Yang merasa Dewi adalah beban hidup yang terpaksa ia terima karena ibu Dewi meninggal dunia sementara ayahnya kabur.
Dewi sedang menuju jalan luar desa. Ia harus ke kota terdekat untuk membeli obat asam urat untuk sang bibi. Sementara Desa Goprak, hanya dilewati bis antar kota sebanyak dua kali setiap hari. Itu sebabnya Dewi berangkat pagi-pagi.
“Semoga kebagian bis,” gumamnya pelan, berjalan sambil memeluk tas di depan tubuhnya.
“Dewi, mau ke mana?” tanya Paryatmo. Pria tua yang sering membantu Sutiyah.
“Ke kota, Mbah Parya,” jawab Dewi sopan.
“Mau Mbah anter? Naik mobil biar dingin. Gak capek juga.”
Dewi melirik ke arah mobil pickup tua milik Paryatmo, setua pemiliknya dengan karatan di bagian bawah mobil.
Selama Dewi melirik ke arah sana, Paryatmo mendekati dan merangkul wanita itu. Tangannya turun terlalu rendah dan agak kurang ajar menyentuh pucuk payudara Dewi yang memang membusung indah.
Biasanya Dewi tidak keberatan tubuhnya dijamah sana-sini. Karena sudah terbiasa sejak kecil. Hanya saja kali ini ia sedang tidak enak badan. Kepalanya pusing sejak semalam tetapi Sutiyah tetap memaksanya pergi ke kota.
Ia mau saja naik pickup Paryatmo. Tetapi, pria itu nanti pasti minta yang aneh-aneh. Dewi pernah disuruh memegang dan memijit anunya. Sampe muncrat kena muka Dewi. Sekarang, karena sedang tidak mood dan masih pagi, ia enggan kalau Paryatmo minta gitu lagi. Maka Dewi menolak.
“Ndak, Mbah. Dewi kepingin jalan aja.”
Ia segera menepis tangan Paryatmo lalu melanjutkan jalannya.
Dewi beruntung, di tapal batas desa, bus antar provinsi kebetulan lewat. Dengan cepat Dewi berlari sambil melambaikan tangannya, menarik perhatian kernet karena melihat wanita muda dengan kecantikan alami plus badannya mungil tapi membesar di bagian-bagian khusus, membuat pria meneguk ludah.
“Penumpang, Kang!” Kernet itu dengan cepat mengebrak pintu bus agar supir menangkap kodenya.
Bus menepi dan Dewi melompat masuk.
Ada hal yang membuat Dewi suka disuruh pergi ke kota. Selain kesempatan menjauh dari Sutiyah yang selalu menyuruhnya dan ringan tangan. Dewi berkesempatan cuci mata. Walo dia tidak dibawakan uang lebih sehingga bisa berbelanja. Tapi dengan melihat-lihat saja, Dewi sudah suka. Paling enggak bisa membayangkan kalo dia pake baju-baju baru yang digantung di pedagang pasar, bakalan seperti apa.
Sebab, baju-baju yang dipakai Dewi adalah baju-baju bekas Sutiyah yang terlalu lusuh dan kuno untuk wanita seusianya.
Dewi yang terlampau senang berjalan-jalan cuci mata setelah membeli obat, membuatnya tak sadar waktu sudah beranjak sore. Tidak ada lagi bus antar provinsi yang lewat tapal batas desanya.
Ia celingukan berusaha mencari tumpangan. Siapa tahu ketemu Mbah Paryatmo. Tapi, sampai pegal lehernya bergerak ke sana kemari, nihil. Tak ada satupun yang ia kenal.
“Apa jalan kaki aja, ya?” gumamnya sambil mendongak ke langit. Sudah sore, tapi matahari masih menyisakan sinarnya yang garang. Kalo jalan kaki ya lumayan panas dan pegel.
Dewi tak punya pilihan. Daripada meratapi nasib dan resiko kemalaman. Lebih baik segera jalan saja. Kalo kemalaman, dia bisa dipukuli Sutiyah yang terlambat mendapat obatnya.
Maka Dewi mulai menapakkan kakinya, melangkah menyusuri jalanan sepi antar provinsi. Matahari sore yang masih terasa menyengat tak dirasakannya. Yang ada di kepala kosong Dewi cuma bagaimana agar bisa secepatnya sampai rumah.
Setengah jam berjalan di bawah panas tak tertahankan, mata Dewi mulai berkunang-kunang dan kepala keliyengan. Keringat membasahi kening dan lehernya, hingga ke kemeja bagian belakang yang kuyup.
Di saat genting seperti itu, pandangannya menangkap sebuah mobil jeep yang belakangan ini sering wara-wiri di jalan desanya. Mobil jeep itu juga sering terparkir di rumah kosong dekat sungai.
Pikiran Dewi menggelap, ia segera berteriak sambil melambaikan tangan dengan wajah putus asa. “Pakde! Boleh Dewi numpang?!”
**
Rangga berkendara sendiri dalam jeep-nya. Ia bosan berdiam di rumah. Setelah menyelesaikan separuh bagian rumah yang hampir roboh, Rangga perlu sesuatu untuk menyenangkan diri sendiri.
Ia memang memilih menyingkir dari kota dan tinggal di Desa Goprak setelah berhasil lolos dari masa lalunya yang kelam.
Ia berkendara menuju kota terdekat dari Desa Goprak. Makan di beberapa tempat yang menyajikan menu sehat lalu mencari tempat untuk berolahraga yang bisa dia capai setiap hari dari desa.
Sayangnya tidak ada.
“Ya sudahlah. Untuk sementara jogging di sekitar desa saja,” gumamnya malas.
Kenapa malas? Karena ia selalu merasa dirinya menjadi obyek tontonan maupun gunjingan emak-emak di kampung. Ya paham sih, desa kecil yang isinya sebagian besar wanita dewasa. Prianya selain lebih sedikit juga banyakan sudah tua.
Rangga sendiri memilih menyepi ke desa itu karena letaknya yang tersembunyi di lereng bukit dan dikelilingi sawah maupun kebun.
Setelah puas berbelanja kebutuhan sehari-hari, berkeliling sendiri di kota, ia bermaksud pulang kembali ke desa. Cuaca cukup panas meskipun sudah sore, jadi ia menutup rapat-rapat kaca jendela mobil karena lebih memilih menyalakan AC.
Ketika berkendara dengan kecepatan rendah di jalan antar provinsi, matanya terpaku pada sosok wanita memakai pakaian lusuh yang sedikit kebesaran, berjalan sambil memakai ransel.
Kening Rangga berkerut, sepertinya ia mengenali wanita itu. Wanita paling muda di desa dan ia pikir gila. Kok keluarganya berani melepas sejauh ini?
Di saat itu, sang wanita menengok ke arahnya lalu melambaikan tangan. Rangga bisa membaca gerak bibirnya, “Pakde, boleh Dewi numpang?”
