Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Masa Lalu yang Kembali

Masih dengan langkah santainya Darren menghampiri kakaknya, kemudian dia duduk tepat di samping Farren. Alangkah sialnya dia, baru saja bokongnya mendarat di sofa empuk, dengan penuh emosi Farren menendangnya hingga tersungkur ke lantai. Matanya sontak menyipit tajam dan tangannya mengelus-elus bokongnya.

"Kamu duduk di bawah!" titah Farren mutlak, masih dengan ekspresi menahan diri.

"Tap-"

"Di bawah," ulang Farren dengan setiap penekanan kata.

Merasa tak punya pilihan, Darren menoleh kepada mamanya yang berada di ujung sofa. "Ma, lantainya dingin."

Ekspresi tidak tega tiba-tiba saja muncul pada Juwita. Wanita paruh baya itu lantas menatap putra sulungnya. "Ren, lantainya dingin."

Farren mengangguk-angguk paham. "Tau kok, Ma."

"Ma, bilang sama Mas Farren, kalau mau ngobrol ijinkan aku duduk di sofa," ucap Darren lagi, "lantainya benar-benar dingin, Ma."

"Ma, bilang sama anak Mama itu. Kalau lantainya dingin dia boleh pake alas," sahut Farren langsung.

"Tuh, kamu boleh duduk pake alas," terang Juwita kepada Darren.

"Alas keset maksudnya atau alas kaki." Farren buru-buru menambahkan, "taukan? Kalau nggak paham Mas perjelas lagi."

Darren berdecak sebal. Pasalnya, apa yang diucapkan Farren hanyalah omong kosong. Untuk mempercepat proses penyiksaannya Darren langsung mengalah saja. Toh, Farren hanya akan memarahinya. Entah untuk apa. Yang jelas Darren terima saja, duduk anteng, dan dengarkan baik-baik. Masuk telinga kanan lalu keluar telinga kiri. He he he.

"Silakan, Mas. Proses eksekusinya sudah bisa dimulai."

"Sudah bosan hidup?" Farren tersenyum sinis, "pantas saja kerjaan kamu hanya membuat masalah."

"Mas, langsung bilang intinya bisa? Aku malas dengar sindiran Mas itu. Lebih baik Mas ceritakan duduk permasalahannya langsung."

"Bagus deh kalau kamu sangat peka. Mas juga malas lama-lama ngobrol sama kamu."

Darren memutar bola matanya dengan ekspresi malas yang dibuat-buat.

"Darren, sebenarnya Mas nggak peduli dengan aktivitas kamu, kebiasaan kamu, tingkah kamu, dan perilaku kamu selama kamu nggak merugikan orang lain, papa, mama, apalagi Mas. Tapi, urusannya sudah berbeda karena kamu merugikan orang lain. Lebih tepatnya merugikan Mas."

"Memangnya aku merugikan apa?"

"Apa yang kamu lakukan dua minggu kemarin?"

Darren mengernyit. "Hah?"

"Mas dapat laporan bahwa kamu pergi ke Raja Ampat untuk liburan. Benar itu?"

"Iya, aku ke sana. Tapi, aku sama sekali nggak pakai uang Mas, jadi merugikan Mas yang bagaimana maksudnya?"

Farren mendadak emosi. Dia menunjuk Darren dengan telunjuknya. "Itu, tuh! Kamu ke sana dengan anak rekan bisnis Mas. Kamu tau apa akibatnya?"

"Anak rekan bisnis? Aku ke sana bareng Fedrick, Mas. Ada Aden, dan Fikri. Apa salah satu dari mereka itu anak rekan bisnis Mas?"

"Bukan! Tapi perempuan yang bernama Frissa."

"Frissa? Oh, maksudnya Ica?"

"Frissa, Darren! Bukan Ica!"

"Ya, begitulah. Kalau nggak salah Ica itu memang panggilannya."

"Sekarang kamu mengakui kalau kamu pergi ke Raja Ampat dengan perempuan itu?"

Darren menggeleng cepat. "Aku bertemu dia di sana, Mas. Aku juga baru kenalan dengan dia."

Farren tersenyum sinis. "Di hotel maksud kamu?"

"M-mas! Aku nggak begitu, ya!"

"Terus apa?"

Tiba-tiba saja Darren merasa bingung harus menjelaskan dengan cara seperti apa dan dari mana.

"Jawab!"

"Mas, aku nggak tau apa yang menyebabkan aku merugikan Mas hanya karena aku ada di Raja Ampat dan bertemu Ica. Tapi, aku berani bersumpah aku bertemu dia di hotel bukan untuk ... bukan seperti ... intinya kami hanya tinggal di hotel yang sama."

"Lalu, bagaimana dengan ini?" Farren mengeluarkan selembar foto. "Bisa dijelaskan?"

Mata Darren sontak melotot. "Aku nggak sengaja cium dia, Mas. Sumpah!"

"Nggak sengaja?"

"Malam itu kami lagi senang-senang dan suasananya romantis. Di sana Ica gabung bersama kami. Dia cerita banyak tentang kehidupannya. Lama-kelamaan aku tersentuh dan aku nggak sadar siapa yang lebih dulu mencium," cicit Darren di akhir kalimatnya.

"Demi Tuhan kalian berciuman di depan umum, Darren! Bahkan, di sana ada teman-teman kamu. Dan kenapa harus kamu?!"

"Mas! Aku nggak sengaja. Sumpah!" Darren buru-buru menghadap mamanya. "Ma, anak Mama sudah dewasakan? Kalau sekadar ciuman bolehkan?"

"Sekadar ciuman?" Farren kembali menarik perhatian Darren. "Orang tua perempuan itu datang ke kantor, dan mereka menuntut untuk menikahkan kalian. Gara-gara foto sialan ini mereka meminta pertanggungjawaban. Dan mereka mengancam akan membatalkan kerja sama kami kalau Mas nggak menuruti apa kemauan mereka."

"Batalin aja. Mas nggak akan rugi-rugi amat. Lagian mana berani mereka melawan keluarga Argadinata. Iya, kan, Ma?" Darren kembali meminta pendapat Juwita.

Tentu saja Juwita mengangguk. "Kamu bisa bicarakan baik-baik dengan mereka, Ren. Masa hanya karena ciuman saja mereka menuntut untuk dinikahkan. Apa itu nggak keterlaluan?"

Farren menghela napas dalam-dalam. "Meskipun perempuan itu hamil?"

"Hah?!"

"Apa, Mas?!"

Farren menyandarkan kepalanya, mendadak saja dia merasa pusing. "Urusannya nggak semudah yang kamu pikirkan, Darren. Kalau perempuan itu tidak hamil, Mas nggak akan kepusingan seperti ini. Taruhannya bukan hanya harga diri, tapi, juga nama baik keluarga Argadinata. Untuk sementara ini papa belum tau, tapi, setelah papa tau Mas nggak menjamin kalau kam-"

"Aku nggak menyentuh Ica sama sekali, Mas!" Darren menatap kakaknya cemas. "Yang aku sentuh cuma bibirnya, aku nggak menyentuh yang lainnya, sumpah!"

Farren terheran-heran. "Terus dia hamil anak siapa?"

"Mana aku tau!"

Farren tersentak gara-gara bentakan Darren. "Kenapa kamu emosi? Seharusnya Mas yang emosi."

"Maaf."

"Serius dulu, perempuan itu hamil anak siapa? Bukan gara-gara kamu?"

"Bukan, Mas! Yaelah! Sama adik sendiri kok nggak percaya?"

"Beneran kamu nggak tau? Anak siapa dong?"

Darren refleks menyentak, "Mana aku tau, Mas! Anak monyet paling!"

Sekali lagi Farren tersentak. "Heh! Kamu kenapa sih malah bentak-bentak? Kamu mau durhaka?"

"Maaf, Mas. Aku nggak bermaksud bentak-bentak. Seharusnya Mas cari tau dulu kebenarannya. Bukan asal nuduh aku begitu aja. Sekarang masalah ini justru buat kita semua jadi pusing."

Farren memicingkan matanya, dia tak terima dengan ucapan adiknya. "Terus maksud kamu Mas yang harus pusing sendiri?"

Darren tak menjawab, jujur saja dia merasa kehilangan kata-kata. Dan rasanya tidak adil kalau hanya Farren yang menanggung akibat dari perbuatannya.

"Kamu seriusan? Kamu bukan sedang berbohong?" tanya Farren lagi.

"Darren serius, Ren. Mama yakin anak Mama nggak akan sebejat itu," sahut Juwita.

"Kalau memang kamu nggak bersalah, Mas bisa usut masalah ini secara hukum." Farren mengangguk-angguk senang. "Berani-beraninya mereka membodohi Mas."

"Mas memang gampang dibodohi," sahut Darren kalem.

"Eh, diam kamu! Semua ini gara-gara kamu!"

"Ya, maaf. Salah aku banget ini mah."

"Ck! Mas mau pulang. Masalah seperti ini harus segera ditangani." Farren beranjak menuju kamar bujangnya dulu, mendatangi istri dan anaknya. "Sayang, pulang yuk!"

Juwita memerhatikan anak sulungnya yang berlalu menuju kamarnya sebelum dia beralih kepada Darren dengan tatapan serius. "Kamu seriusan nggak menghamili anak orang, Dar?"

"Nggak ada, Ma. Darren anak baik kok."

Juwita mengangguk setuju. "Mama khawatir Dar. Kamu kan, sudah dewasa. Mama berharap kamu bisa menyelesaikan masalah kamu sendiri. Kasihan Farren, setiap ada masalah dia yang selalu turun tangan."

"Mama tenang aja. Darren sudah dawasa kok."

Juwita tersenyum mendengarnya. Kemudian, keheningan itu tergantikan dengan suara getaran ponsel Darren.

"Halo, kenapa Den?"

"Gila. Lo kapan balik kerja?"

"Lah, emang kenapa? Baru juga gue libur."

"Ada pegawai baru, Bro. Cakep, bening banget orangnya."

"Cewek?"

"Iyalah, gue normal kali. Masa iya cowok gue bilang cakep sama bening?"

"Ya, kali aja lo belok."

"Jadi, kapan lo kerja lagi?"

"Masih lama. Emang kenapa?"

"Lo harus liat pegawai baru itu, Dar."

"Perawat?"

"Bukan. Tapi, dokter."

"Widih, mantap tuh."

"Namanya Alika Saras Wijayana. Keren, kan?"

"Siapa?"

"Alika Saras Wijayana. Widih, gue sampe hapal namanya. Halo? Dar? Lo masih hidup kan?"

Darren buru-buru mematikan sambungan telepon. Dirinya masih merasa linglung dengan informasi yang disampaikan Aden.

"Alika?"

Ya, nama itu jelas saja tidak asing. Meskipun sudah tiga tahun mereka tak saling bertemu, namun nama Alika masih tersemat di dalam pikiran Darren hingga saat ini.

Well, sepertinya mereka ditakdirkan untuk bertemu kembali. Darren tersenyum miring, untuk ke depannya Darren yakin hari-harinya akan sangat berwarna.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel