Pustaka
Bahasa Indonesia

Oh, My Ex!

81.0K · Tamat
Nona Lacey
59
Bab
8.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Peringatan 21+ Mohon bijak dalam membaca Darren menyesal setelah melepas kekasihnya.Tiga tahun berlalu, mereka pun berjumpa lagi. Sosok cantik dan anggun itu tampak menarik perhatian. Namun, Darren harus memendam kekecewaan karena ternyata, dia telah dilupakan. Senyuman sinis sang mantan kekasih mampu membuat Darren merasakan gejolak yang tak bisa dia kendalikan lagi. Tekadnya membara, berkobar penuh semangat akan menarik perempuan itu dalam pelukannya. Namun, ketika sudah hampir mencapai finish, tiba-tiba saja perempuan itu membatalkan rencana pernikahan mereka.

DokterWanita CantikRomansaSweetKeluargaSalah PahamCLBKplayboyDewasaBaper

Bab 1 Akhir Hubungan

3 Tahun yang lalu

Rasa lelah kian mendera setelah ia membuka mata. Waktu istirahat yang hanya satu jam jelas sangat kurang untuk memulihkan kembali tenaganya. Namun, ia merasa sangat senang dan terpuaskan setelah melewati malam panjang bersama wanita yang dicintainya.

Sebelum Darren turun dari ranjangnya, dia menyempatkan untuk mencium singkat bibir kekasihnya. Rencananya hari ini Darren hanya akan menghabiskan waktunya bersama Alika, kekasihnya. Sebab itulah dia memutuskan untuk libur bekerja.

Keduanya sama-sama berprofesi sebagai dokter, awal pertemuan mereka yang menimbulkan benih-benih cinta pun terjadi di rumah sakit tempat mereka bekerja.

Mereka belum lama menjalin hubungan, namun mereka sudah lama saling mengenal sejak zaman kuliah. Alika merupakan juniornya, karena itulah mereka cepat akrab sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk saling mencintai dan menjalin sebuah hubungan percintaan.

Setelah menghubungi rekan sesama dokternya untuk menginformasikan kalau dia libur khusus hari ini, laki-laki itu pun berkeliling memerhatikan pajangan foto yang menempel di dinding kamar kekasihnya.

Diam-diam Darren tersenyum ketika menemukan foto Alika yang tampak cantik. Kegiatannya terus berlanjut sampai dia merasakan sepasang tangan memeluknya dari belakang.

Begitu berbalik, Darren tersenyum lebar.

"Kamu udah bangun?"

Alika cemberut. "Aku pikir kamu hilang."

"Mana mungkin aku hilang?" Darren mencuri ciuman dari kekasihnya. "Kamu cantik."

Pipi Alika bersemu merah. "Dasar gombal!"

"Serius!"

"Oh!"

"Hanya itu?"

Alika melengos pergi, sebenarnya dia merasa malu sekaligus berbunga-bunga. Maka dari itu dia memilih untuk kabur sementara. "Kamu mau mandi sekarang atau nanti?"

Darren memerhatikan reaksi kekasihnya. "Kenapa? Kamu mau mandi?"

"Aku mau buat sarapan dulu."

"Oke, kalau gitu aku mandi."

Setelahnya mereka pergi dengan urusan masing-masing. Tak membutuhkan banyak waktu bagi Darren untuk membersihkan dirinya, dia keluar dari dalam kamar dengan penampilan yang tampak lebih rapi daripada sebelumnya. Darren mendapati Alika yang sedang menyusun makanan di meja makan.

"Biar aku bantu," tawar Darren.

"Eh, nggak perlu."

"Nggak apa-apa, Sayang. Cuma menata aja kan? Mudah kok. Menata hati kamu pun aku sanggup."

Pipi Alika kembali bersemu merah. "Jangan gombal terus dong, aku malu."

Darren tertawa melihat sikap malu-malu Alika. "Kenapa? Kamu nggak suka?"

Alika menggeleng imut.

"Pacar siapa sih, ini? Lucu banget." Darren mencubit pipi Alika dengan gemas. "Aku malah kepengin makan kamu."

"Aku bukan makanan," jawab Alika malu-malu.

"Aku tau. Makanya kamu jangan terlalu cantik."

"Apaan, sih?"

Darren kembali tertawa, tak lama dia menghentikan tawanya. "Kamu mandi aja, biar aku yang urus ini."

"Bener?"

"Iya."

"Oke, aku mandi. Tunggu aku, kita sarapan bareng."

"Siap, Sayang."

Darren kembali fokus menyusun piring dan sendok pada tempatnya, kemudian dia menyiapkan air minum dalam gelas. Tak lupa, Darren memindahkan masakan Alika ke dalam mangkok berukuran besar.

Selagi masih ada waktu, Darren mencuci peralatan masak yang sudah kotor. Kurang baik apa dia sebagai seorang pacar?

Laki-laki itu duduk menunggu sambil memainkan ponselnya, sudah lebih dari sepuluh menit dia berdiam diri, akhirnya Darren pun memutuskan untuk berkeliling melihat-lihat isi apartemen kekasihnya.

Sebenarnya ini adalah kali pertamanya dia datang ke sini. Makanya Darren merasa penasaran dengan isi di dalamnya.

Laki-laki itu kembali menjumpai deretan foto di dinding dan di atas meja. Kebanyakan dari foto itu adalah foto Alika bersama mamanya.

Alika terlahir sebagai anak tunggal, perempuan itu juga pernah bercerita kalau dia sangat dekat dengan sang mama. Mungkin karena itulah kebanyakan foto yang dipajangnya adalah fotonya bersama mamanya.

Tiba pada foto di ujung meja, Darren menyipitkan matanya. Di foto tersebut terdapat Alika kecil yang sedang dipangku oleh papanya, namun yang membuat Darren terkejut adalah laki-laki yang berada di samping papa perempuan itu.

"Kamu lagi liat apa?" Tiba-tiba saja Alika datang dengan tampilan yang jauh lebih segar. 

Darren menunjuk foto yang sejak tadi dia perhatikan baik-baik. "Foto ini ...."

"Oh, ini?" Alika meraih foto itu, dan memandanginya dalam jarak dekat. "Menurut kamu, aku di foto ini usia berapa?"

Darren mengernyit bingung, maka dari itu Darren menggelengkan kepalanya.

"13 Tahun, kamu percaya?" Alika kembali meletakkan foto itu sambil terkikik geli. "Mungil banget, ya, aku? Di usia segitu aku masih digendong papa. Orang-orang bilang dulu aku memang mungil, pendek juga. Tapi, sekarang tinggiku bisa dibilang di atas rata-rata. Iya, kan?"

Darren mengangguk asal. Sebenarnya dia bukan ingin bertanya perihal usia Alika. "Laki-laki yang gendong kamu ini papa kamu?"

"Itu papa. Mirip aku nggak?"

"Yang di samping papa kamu itu siapa?"

"Oh, ini? Aku lupa siapa namanya. Pokoknya dia teman papaku. Bisa dibilang teman dekat, karena setiap kali aku ulang tahun, oom ini selalu datang dan kasih aku hadiah. Tapi, sampai sekarang aku nggak tau siapa dia."

"Dia temannya papa kamu?"

Alika mengangguk.

"Teman akrab?"

"Mungkin."

Darren menghela napas dalam-dalam. Menatap kekasihnya dengan ekspresi rumit. "Alika ...."

"Hm? Iya?"

"Kita putus, ya."

***

Saat Ini.

Suara tangisan anak kecil membuat tidur Darren terganggu. Setelah lembur beberapa hari untuk menjalani operasi besar, baru hari ini Darren bisa memejamkan matanya. Namun, disaat dia memiliki waktu untuk tidur selalu ada saja gangguannya.

"Karren! Berisik!"

Tak lama setelah dia berteriak, pintu kamarnya terbuka. Suara tangisan anak kecil semakin terdengar dan memekakkan telinganya.

"Mas, gantian dong!"

Darren tak membalas, namun sebuah tepukan halus di pipinya membuat dia membuka mata. Sepasang mata mungil dan jernih menatapnya dengan sisa air mata.

Seorang bayi laki-laki yang bahkan baru menginjak usia 1 tahun tengah menahan tangisnya.

Meskipun malas-malasan, Darren tetap bangkit dari tidurnya untuk memangku bayi laki-laki itu. "Kenapa, Sayang?"

"Aku mau ke toilet dulu, Mas Darren gantian jaga Zayyan." Karren buru-buru kabur dari kamar kakaknya.

Bayi laki-laki itu menatap bingung Karren, kemudian menatap Darren dengan ekspresi yang sama. "Kenapa, Zay? Tante Karren aneh, ya?"

Bayi laki-laki bernama Zayyan itu mengangguk pelan seakan setuju dengan pertanyaan pamannya.

"Kita keluar yuk, Zay. Mau makan nggak? Om Darren lapar nih, Zay lapar juga nggak?"

Darren masih mengajak Zayyan berinteraksi, namun namanya juga bayi, terkadang bayi hanya akan merespon apa yang membuat mereka tertarik.

Darren menyiapkan susu hangat dan juga roti dengan selai nanas. Sesekali lelaki itu memerhatikan Zayyan yang aktif berkeliling dapur, maklum saja, Zayyan baru lancar berjalan.

"Eits! Jangan, Zay!"

Darren buru-buru menghalangi Zayyan yang berniat meraih gelas dari meja. Untungnya gerakan Darren cepat dan tangkas sehingga gelas tersebut bisa dijauhkan dari  jangkauan Zayyan.

"Hey, Boy. Nggak boleh, nanti gelasnya jatuh terus pecah, nanti Zay bisa luka," jelas Darren kepada bayi itu. Pasalnya, Zayyan malah merengek dan matanya sudah berkaca-kaca.

"Kenapa sih, Mas?" 

Darren mendongak menatap adiknya. Namun, dia tidak berniat untuk menjawab.

"Zay, aduh, duh, ponakan Tante kenapa nangis?" Karren menatap Darren dengan mata memicing tajam. "Mas, kamu apain Zayyan?"

"Apaan? Kenapa kamu nuduh Mas?"

"Lah, terus siapa lagi?" sungut Karren. Perempuan itu lantas menggendong Zayyan untuk menenangkannya.

"Makin nangis itu, Karren."

"Diem dululah, Mas."

"Eh, eh, ini kenapa sih, pada ribut di sini?" Tiba-tiba saja Juwita datang bersama Keyra. Nyonya besar itu menatap anak-anaknya sambil berkacak pinggang.

Melihat putranya menangis, Keyra segera mengambil alih. "Zayyan, kenapa nangis?"

"Kalian apain cucu Mama sih?" sewot Juwita sambil menghibur cucu sulungnya.

"Mas Darren nih, Ma. Aku tinggalin bentar padahal," adu Karren.

"Eh, sembarangan sih, kalau ngomong!" protes Darren tak terima.

Pertikaian itu masih berlangsung, sedangkan Keyra harus memberikan ASI untuk Zayyan. "Ma, aku ke kamar dulu. Kayaknya Zayyan mau minum susu," pamit Keyra.

"Iya, iya. Kasian itu cucu Mama nangis mulu." Kini Juwita menuju anak-anaknya yang masih saja ribut. "Berisik! Bisa diam tidak?"

"Dia tuh, Ma."

"Mas Darren tuh, Ma."

"Kamu masuk kamar, Karren. Dan, kamu ikut Mama!" ucapnya sambil melototi Darren.

"Mau ngapain, Ma?"

"Mama mau bicara serius."

"Bicara apa?"

"Kamu ikut dulu, di depan ada Farren. Dia yang mau bicara sama kamu."

"Ada Mas Farren? Mau apa?" Darren mengernyitkan dahinya. Farren adalah kakak laki-lakinya. Si anak sulung.

Juwita memandang Darren dengan lekat. "Mama kurang tau, tapi kayaknya Farren kesel gitu."

"Hah? Kok bisa? Emangnya aku buat salah apa?"

"Mama dengar kamu buat masalah sama anak rekan bisnisnya Farren."

"Ya? Rekan bisnis? Apa urusannya sama aku? Mama serius?"

Tiba-tiba saja Juwita melotot horor. "Kamu apakan lagi anak orang, Darren?! Kamu tuh ya! Kalau Mama kasih nasihat harusnya didengar!"

Darren mendadak dilanda rasa ngeri melihat amukan mamanya, ini sih belum seberapa, karena biasanya Juwita sering menggunakan otot untuk membuat jera anak-anaknya.